Rencana PP Penempatan TNI dan Polri di Jabatan Sipil, Imparsial: Jokowi Seperti Kembalikan Dwifungsi ABRI

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri. (Foto: Imparsial)

JAKARTA -- Dalam waktu dekat pemerintah berencana mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). PP tersebut merupakan aturan pelaksana dari revisi UU ASN yang pada tahun 2023 lalu berhasil disahkan.

Dilansir siaran pers dari laman resmi Kemenpan RB RI, Selasa (12/3/2024), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas, menyatakan, Aturan ini juga membahas jabatan ASN yang bisa diisi oleh prajurit TNI dan personel Polri, serta sebaliknya.

"Kami memandang bahwa jika pengaturan teknis tentang penempatan TNI dan Polri aktif benar diakomodir dalam PP tersebut, jelas hal itu akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik Dwi Fungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru," ujar Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, dalam keterangan tertulisnya kepada tim redaksi gebrak.id, Jumat (15/3/2024).

Menurut Gufron, TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menghadapi ancaman perang. Sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan penegakan hukum. Kedua lembaga itu, lanjut dia, sepatutnya dan seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik dan menduduki jabatan-jabatan sipil karena itu bukan fungsi dan kompetensinya. "Dengan demikian penempatan TNI dan Polri di jabatan sipil merupakan sesuatu yang menyalahi jati diri mereka."

Gufron melanjutkan, Imparsial memandang salah satu amanat reformasi adalah mencabut peran TNI dan Polri dalam urusan politik, dan mengembalikan fungsi mereka menjadi militer dan aparat penegak hukum yang profesional. Dengan rencana penyusunan PP itu, sambung dia, maka hal tersebut semakin membuktikan bahwa kebijakan pemerintah pimpinan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat ini sudah melenceng jauh dan telah bertolak belakang dengan semangat reformasi.  

"Penting untuk dicatat, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi pada tahun 1998," kata Gufron menjelaskan. "Oleh karena itu, kalangan elite politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan pelan pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru."

Penting untuk diingat, kata Gufron, penghapusan Dwi Fungsi ABRI (TNI dan Polri) merupakan bagian dari agenda demokratisasi tahun 1998. Penghapusan tersebut tidak hanya sebagai bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian, tapi juga untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia.

Gufron menambahkan, salah satu praktik Dwi Fungsi ABRI yang dihapuskan adalah penempatan anggota TNI dan Polri aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara maupun pemerintah daerah (gubernur, bupati, walikota). Kendati demikian, terdapat pengecualian yakni bagi militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung (Pasal 47 ayat 2 UU TNI).

"Kami menilai dalam upaya menjaga dan mendorong pemajuan sistem dan praktik demokrasi di Indonesia, peran sosial-politik ABRI (TNI dan Polri) yang telah dihapuskan pada tahun-tahun transisi politik 1998 menjadi penting untuk dijaga dan dipertahankan," kata Gufron menegaskan.

Pada konteks ini, lanjut Gufron, penting bagi elite politik untuk tidak membuka ruang dihidupkannya kembali praktik politik era otoritarian tersebut karena sekali ruang tersebut dibuka dan apalagi dilegalisasi melalui UU, maka sama saja membalikkan kembali peran TNI-Polri seperti di masa otoritarianisme Orde Baru.  

Lebih dari itu, sambung Gufron, Imparsial menilai wacana perwira militer dan kepolisian aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian dan lembaga, diragukan hal tersebut bertujuan untuk pembangunan dan penataan TNI dan Polri.

Jika masalahnya adalah adanya penumpukan perwira non-job di kedua institusi tersebut, cetus Gufron, upaya lain untuk menyelesaikan hal tersebut dapat dilakukan dengan cara lain, seperti melalui perbaikan proses rekrutmen anggota, pendidikan, kenaikan karier, dan kepangkatan. "Berbagai agenda tersebut jauh lebih penting untuk dilakukan, bukan membuka ruang penempatan mereka pada jabatan-jabatan sipil yang hanya akan memunculkan masalah baru di kemudian hari."

Gufron mensinyalir wacana penempatan TNI-Polri dalam jabatan sipil adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI-Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kemenhan RI mencatat pada tahun 2019 terdapat 1.592 prajurit TNI menjabat jabatan sipil dan 29 di antaranya ilegal karena di luar dari yang dibolehkan oleh UU TNI. Hal itu masih belum ditambah dari Ombudsman RI yang mencatat setidaknya terdapat 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Bahkan, belakangan ini sudah ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat. Data-data tersebut belum ditambah dengan jumlah anggota Polri di jabatan sipil dan BUMN yang tidak diketahui jumlah pastinya.

"Kami menilai, sudah seharusnya TNI-Polri fokus menjadi alat pertahanan dan keamanan yang profesional, terlebih dengan berkembangnya kondisi lingkungan strategis yang pesat serta perkembangan generasi perang menjadi generasi perang ke-4 yang kompleks menuntut adanya kefokusan dan spesialisasi prajurit TNI untuk menghadapi ancaman spesifik," kata Gufron menegaskan. "Polri juga sudah seharusnya difokuskan untuk menghadapi ancaman keamanan yang juga semakin kompleks seiring dengan perkembangan perbuatan kriminal yang tidak lagi konvensional."

(nnn)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.