Jogja 'cen' Istimewa (8): Hari Ini, Mengenang Gempa Jogja 27 Mei 2006
Anif Punto Utomo.
Oleh Anif Punto Utomo *)
27 Mei 2026. Pagi itu, alam baru saja berhenti menabur embun. Saya sedang ‘ngobrol-ngobrol cantik’ dengan Suwidi Tono di kampung saya, Temanggung, Jawa Tengah.
Tiba-tiba tanpa ba..bi..bu bumi bergetar. Mobil yang terparkir di carport tergoncang keras, sampai berbunyi ‘glodak-glodak’. Kami yang tadinya duduk santai secara reflek langsung berdiri.
‘’Gempa…gempa…gempa,’’ teriak kami nyaris serempak merespons goncangan hebat tersebut.. Bapak dan ibu yang ada di dalam rumah langsung keluar. Goncangan itu terasa cukup lama kami rasakan.
‘’Wah… Gunung Merapi njeblug,’’ gumam saya. Tetapi sebagai alumni Teknik Geologi (meskipun menjadi ‘geolog murtad’) gumaman tersebut saya ralat sendiri. Merapi memang sedang ‘batuk-batuk’, tetapi goncangan tersebut teramat besar untuk ukuran Merapi.
Goncangan akibat letusan besar seperti itu mungkin dirasakan ketika dulu Gunung Tambora di Sumbawa meletus tahun 1815. Letusan itu menyemburkan abu vulkanik sampai 100 kilometer ke atas, dan kemudian menyebar sampai ke Eropa-Amerika. Langit tertutup debu sehingga terjadilah apa yang dinamakan ‘tahun tanpa musim panas’. Letusan itu diyakini menyebabkan Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte kalah dalam Pertempuran Waterloo.
Bumi bergoyang selama 57 detik. Langit serasa berputar. Untuk memastikan bahwa gempa itu bukan dari letusan Merapi, segera setelah goncangan selesai saya ke alun-alun yang berjarak hanya 30 meter dari rumah. Ketika melihat Gunung Merapi yang berada di sebelah timur, tak ada semburan abu yang membumbung tinggi dari gunung itu.
Tak lama kemudian seluruh stasiun televisi menyiarkan kejadian gempa tersebut. Dan benar, gempa yang menggoncang dahsyat tersebut bukan disebabkan letusan Merapi, melainkan gempa tektonik yang disebabkan oleh pergeseran massa bumi (sesar) dan berpusat di Provinsi Yogyakarta.
(Kelak diketahui gempa itu berkekuatan 5,8 Skala Richter, berpusat di darat pada kedalamanan 33 kilometer. Gempa terjadi akibat pergeseran Sesar Opak, sesar geser aktif sepanjang 45 kilometer yang membelah Bantul, Sleman, dan Klaten. Gempa menewaskan 5.782 jiwa, korban luka 36.299, dan 390.077 rumah rusak, ribuan di antaranya hancur).
Di televisi diberitakan bahwa masyarakat Jogja yang tidak akrab dengan kejadian gempa panik luar biasa. Muncul isu akan terjadi tsunami sehingga terjadi pergerakan massa secara sporadis ke utara. Ada yang memakai mobil, ada yang memakai motor, ada yang naik sepeda, tak sedikit yang berlari kesana-kemari.
Saya kebetulan hari itu rencananya memang mau ke Jogja. Maka segera setelah sarapan kami berangkat ke Jogja. Tujuan perjalanan dari Jakarta ke Jawa Tengah (Jateng) dan Jogja ini sebetulnya menemani karyawan Vision03 yang menagih hasil penjualan buku yang dipasarkan di restoran dan rumah makan sepanjang lintas Jawa dan kota-kota besar di Jawa.
Sekitar pukul 09.00 kami berangkat dari Temanggung. Di sepanjang perjalanan dari Temanggung sampai memasuki Sleman jalanan yang biasanya ramai menjadi sepi. Mungkin masih banyak masyarakat yang ‘syok’ sehingga memilih tingal di rumah daripada bepergian.
Ketika memasuki Jogja, waduh…suasana jauh dari biasanya. Jalanan sepi. Terlihat beberapa rumah atapnya sebagian ambruk, beberapa gedung terlihat temboknya retak, ada beberapa bagian yang runtuh, puing-puing berserakan.
Beberapa orang lalu lalang entah mau kemana, sebagian yang lain tampak membersihkan puing-puing rumah. Toko-toko praktis tutup. Warung, restoran, dan rumah makan, susah ditemui, hampir semua tidak berjualan.
Saya yang saat itu masih bekerja di Republika sebagai wartawan, langsung kontak ke Jakarta. Saya mengajukan diri untuk ditugaskan mengkoordinasi pemberitaan mengingat peristiwa tersebut begitu menggetarkan hati. Sekaligus nanti jika ada bantuan dari pembaca melalui Republika, saya bisa kontak beberapa teman untuk koordinasi.
Maka mulai tengah hari itu juga saya berkantor di Republika Jogja yang berlokasi di belakang Masjid Syuhada. Segera kami lakukan koordinasi dengan kepala biro dan reporter. Malamnya ketika mau makan, susahnya minta ampun. Setelah berkeliling di sekitar Jalan Solo akhirnya ada warung buka, itupun tinggal tersisa nasi dan sayur. Saat itu yang penting perut terisi.
Pagi hari berikutnya saya membonceng wartawan Republika di Jogja, Heri Purwata, meliput akibat gempa. Kami berkeliling di beberapa tempat terutama di daerah Bantul yang tingkat kerusakan terparah dan korban jiwa terbesar. Tak sedikit rumah yang benar-benar luluh lantak, tak kuasa menahan goyangan gempa.
Saya sempat menyaksikan masyarakat sedang mengangkat korban meninggal yang masih tertimbun reruntuhan. Keluarganya yang selamat menunggu proses evakuasi jenazah tersebut dengan muka tertunduk dan sesekali mengusap air mata yang mengalir di pelupuk matanya. Tragis.
Republika yang membuka dompet peduli korban gempa Jogja, mendapat respons luar biasa dari pembacanya. Pada hari ketiga, Republika bekerja sama dengan IDI mengirim dokter dan perawat ke Jogja. Pada hari yang sama pula bantuan sembako dikirim dari Jakarta. Saya berkoordinasi dengan teman-teman di gelanggang UGM untuk menyalurkannnya.
Alumni di hampir seluruh perguruan tinggi di Jogja juga bergerak untuk turut meringankan penderitaan korban. Ada yang mengkoordinasikan lewat alumni tingkat jurusan, tingkat fakultas, maupun tingkat universitas. Ada yang mengirim sembako, ada yang mengirim ahli untuk membangun kembali rumah, ada yang mengirim tim medis, dan sebagainya.
Entah seberapa besar kontribusi alumni Jogja dalam membantu korban gempa. Tetapi kata orang bukan nilainya yang penting, melainkan kepedulian yang ditunjukkan.
Kepedulian serupa juga diperlihatkan ketika selama April-Juni 2006 Gunung Merapi menyemburkan awan panas yang memaksa ribuan masyarakat mengungsi. Begitu pula pada musibah letusan 10 Oktober 2010 yang merenggut nyawa Mbah Marijan dan 16 penduduk lereng Merapi. Para alumni turut membantu ribuan masyarakat yang selamat dari musibah.
Jogja bukan hanya ‘ngangeni’ bagi alumni, tetapi juga mampu mengikat kepedulian untuk berbuat sesuatu bagi Jogja dan masyarakatnya. Mereka yang telah bertahun-tahun minum dari air Jogja selalu terusik kepeduliannya ketika Jogja terkena musibah. Di sinilah istimewanya.
*) Jurnalis Senior, Peneliti Moya Institute
Post a Comment