Kejujuran Berdemokrasi dan Ancaman Kediktatoran Konstitusional

Imam Shamsi Ali. (foto: dok. times indonesia)

Oleh Imam Shamsi Ali *)

Ada ungkapan lama yang masih sering didengungkan dan relevan sepanjang masa. Bahwa kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Dan, kekuasaan absolut itu bentuk penyelewengan yang pasti (power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely).

Di masa-masa lalu dan sebagian kecil masa kini ungkapan ini masih terus menjadi sebuah realita. Di beberapa tempat di belahan dunia, memang kekuasaan cenderung menuju kepada korupsi atau menyeleweng. Satu hal yang paling dominan adalah kekuasaan kerap kali menjadi alat “memperkaya” diri dan keluarga, bahkan kelompok kecil.

Di beberapa negara non-demokratis, ambillah kawasan Timur Tengah sebagai misal, kekuasaan mungkin tidak nampak korup atau menyeleweng secara ekonomi. Walaupun kenyataannya para raja dan keluarganyalah yang menguasai perekonomian. Rakyat berada dalam genggaman penguasa tanpa ada daya (kebebasan) hampir dalam segala lini kehidupan.

Di sìnilah sejatinya teori demokrasi seharusnya hadir sebagai solusi. Bahwa negara-negara demokrasi seharusnya lebih baik dan fair dalam mengelola kehidupan publik. Di negara-negara demokrasi rakyat (seharusnya) memilki kekuasaan untuk mengontrol dan meluruskan kekuasaan jika keluar dari jalan kebenaran (kontitusi).

Satu contoh terdekat yang masih terasa bagi kami di Amerika Serikat adalah bagaimana di saat kekuasaan negara itu ada di tangan seseorang yang anti imigran dan Muslim khususnya. Demokrasilah yang kemudian menjadi solusi (berlebihan kalau saya memakai kata salvation atau penyelamat). Konstitusi menjadi rujukan. Rakyat pun punya kebebasan melakukan koreksi bahkan resistensi kepada kekuasaan yang korup itu.

Memang benar bahwa negara-negara non-demokrasi itu cenderung korup. Korupsi terbesar dari negara-negara non-demokrasi adalah minimnya bahkan tiadanya kontrol kekuasaan oleh rakyat. Sehingga semua kebijakan dikeluarkan oleh penguasa tanpa konsultasi publik (musyawarah).

Situasi di atas sebenarnya justru boleh jadi tidak berbahaya dan merusak jika kekuasaan itu ada di tangan orang-orang yang memiliki kesadaran tanggung jawab. Bukan kepada rakyat sebagaimana dalam konteks demokrasi. Tapi kepada hati nurani dan yang terpenting kepada penguasa langit dan bumi, Allah SWT. Qatar saat ini mungkin salah satu negara bercirikan ini.

Sebenarnya baik sistem demokrasi maupun non-demokrasi, atau tepatnya selain sistem semokrasi, apapun itu bentuknya akan banyak ditentukan oleh realita yang dibangun di atas kejujuran dan rasa tanggung jawab tadi. Alhasil, sistem pemerintahan itu “evolve” atau mengalami perubahan. Bahkan dalam sistem yang satu juga akan mengalami perubahan internal sesuai dengan konteks realita yang terkait di masing-masing bangsa dan zamannya.

Saya justru ingin mengingatkan kita semua bahwa yang paling buruk dan jahat bahkan menakutkan itu adalah ketika sistem yang ada dibangun di atas ketidakjujuran dan berbagai manipulasi. Akhirnya terjadilah kejahatan yang terpoles oleh pengakuan nilai-nilai positif (positive values) seperti demokrasi, bahkan agama sekalipun. Pengakuan demokrasi bahkan agama bisa disikapi secara tidak jujur dan penuh manipulasi.

Ketidakjujuran dan manipulasi yang terjadi dalam kekuasaan itu menghasilkan berbagai keresahan (walaupun tidak rusuh) dan kecurigaan bahkan kebencian. Hal itu disebabkan oleh korupsi kekuasaan terjadi secara terbuka (nakedly), tapi masyarakat tidak bisa dan seolah naif untuk berbuat apa-apa. Karena berbagai penyelewengan itu seolah biasa saja, bahkan terbalik seolah itulah yang benar dan konstitusional.

Yang terjadi kemudian adalah “intended corruption” (penyelewengan yang disengaja) dengan memanipulasi aturan-aturan yang pada akhirnya melahirkan “constitutional corruption“ atau penyelewengan-penyelewengan konstitusional”. Sebuah kenyataan paradoks dalam kehidupan publik yang sangat-sangat mengkhawatirkan.

Penyelewengan konstitusional ini sangat berbahaya karena pertama pastinya mendapat dukungan mayoritas “stake holder” di kekuasaan. Dan karenanya dengan sangat mudah meloloskan (mengubah) perundang-perundangan yang ada sesuai kepentinganya. Tapi lebih jahat lagi, resistensi kepada bentuk korupsi atau penyelewengan konstitusional ini akan dianggap sebagai ancaman atau perlawanan kepada negara. Dan kalau ini pasti memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan (undesirable consequences).

Karena itu, saya ingin mengajak kita semua untuk konsisten dan jujur pada nilai-nilai positif yang kita anut dan banggakan. Tentu dalam konteks Indonesia sistem yang dianut adalah demokrasi dengan nilai Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Mari berhati-hati dengan para pecundang atas nama demokrasi….istafti qalbak (tanya nuranimu)!

Jakarta City, 23 November 2022

 

*) Presiden Nusantara Foundation,

Imam Islamic Center of New York, Amerika Serikat 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.