IKN, Kritik Bloomberg, dan WTO

Amir Uskara. (foto: dpr.go.id)

Oleh Dr. H.M. Amir Uskara *)

Media massa internasional digital Bloomberg.com, Senin (5/12/022) lalu menyoroti Indonesia terutama proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Bloomberg menulis laporan berjudul “Ambitious Plans to Build Indonesia a Brand New Capital City Are Falling Apart”.

Di situ Bloomberg menulis: Rencana ambisius Pemerintah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun ibu kota negara berantakan. Jokowi terlalu ambisius membangun IKN di saat ekonomi dunia sedang terpuruk pascapandemi. Ekonomi Indonesia pun tengah melorot. Di tengah ekonomi yang terpuruk, sulit mencari investor untuk membangun IKN.

Media Singapura, Strait Times, ikut-ikutan melambungkan laporan Bloomberg tersebut. Strait Times menulis, proyek IKN adalah ambisi Presiden Jokowi yang sulit dilaksanaakan. Biayanya sangat besar. Sulit ditangani Indonesia tanpa investor.

Laporan nyinyir Bloomberg ini langsung viral. Kaum oposisi pun langsung menjadikan laporan Bloomberg untuk mengritik Jokowi perihal IKN. Mereka tak percaya pada pernyataan Jokowi di forum G-20 Bali, bahwa kini sudah banyak investor yang akan ikut membangun IKN. Di Forum G-20, Jokowi menyatakan, minat investor IKN naik lebih dari 25 kali lipat dari semula, sejak deklarasi ibu kota baru, tiga tahun lalu.  

Banyak pihak, baik di dalam maupun luar negeri, menuduh proyek IKN adalah ambisi Jokowi. Mereka tidak tahu, proyek ibu kota baru, jauh hari telah digagas dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang dipimpin proklamator Bung Karno. Presiden RI pertama itu punya visi yang jauh.

Indonesia tidak hanya Jawa dan Sumatera. Tapi juga Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pulau Kalimantan dipilih Bung Karno untuk tempat ibu kota baru karena, pertama, aman dari gempa bumi. Ring of Fire – jalur cincin api yang membentang dari Samudera Pasifik ke Atlantik – tidak “menembus” Pulau Kalimantan. Itu dari aspek geografis dan geologis. Dengan demikian, ibu kota baru nanti aman dari guncangan gempa baik tektonik maupun vulkanik.

Gambaran Indonesia masa depan seperti dilukiskan Bung Karno kira-kira sebagai berikut. Ibu kota Indonesia di Palangkaraya, Kalimantan. Pulau yang besarnya 4 x Jawa ini, aman dari gempa bumi. Di Kalimantan banyak sungai besar yang bisa dilalui kapal besar dari hilir ke hulu. Borneo dekat dengan Kepulauan Maluku, wilayah yang kaya ikannya dan strategis secara global security. Jepang misalnya, menjadikan Pulau Morotai di Maluku sebagai basis Angkatan Laut (AL)-nya di Pasifik dalam mempersiapkan penyerangan ke Pearl Harbour, markas AL Amerika Serikat di awal Perang Dunia II.

Kedua, Bung Karno ingin menjadikan Maluku sebagai center of excellence dunia kemaritiman Indonesia. Di Kepulauan Maluku akan dibangun pusat AL, pendidikan kemaritiman, galangan kapal, dan sekolah-sekolah yang fokus pada pendidikan kelautan. Di samping itu, Maluku dekat dengan Papua, sebuah pulau besar yang menyimpan bongkahan emas terbanyak di dunia.  

Di Papua kini sedang dibangun Trans-Papua sepanjang 4.600 Km. Untuk membangkitkan ekonomi Papua, Jokowi menetapkan harga BBM di pulau paling timur ini, sama dengan di Jawa. Tak boleh ada diskriminasi harga kebutuhan pokok (energi) penduduk Indonesia.

Bayangkan: Jika Kalimantan, Maluku, dan Papua terintegrasi secara geoekonomi, lalu menyatu dengan Sulawesi yang telah lebih dahulu eksis, betapa hebatnya Indonesia masa depan. Ingat Kerajaan Gowa di Sulawesi dulu sangat disegani dunia karena angkatan lautnya sangat kuat. Jika Palangkaraya (bergeser sedikit ke Kalimantan Timur dengan IKN-nya) ibu kota administratif Indonesia, maka Makassar adalah kota dagang Indonesia terbesar di Timur. Seperti halnya Jakarta sebagai kota dagang terbesar di Barat.

Kira-kira seperti inilah imajinasi sang visioner: Jalan tol Trans-Sumatera, terhubung langsung ke tol trans-Jawa Jakarta-Surabaya. Lalu konektovitas itu berlanjut dengan tol laut Surabaya-Makassar, IKN, Ambon, Jayapura. Di Selatan, dari Surabaya ke Bali, Lombok, dan Kupang. Lanjut, di Kalimantan ada Trans-Kalimantan yang menghubungkan Palangkaraya, IKN, Balikpapan, dan Pontianak.

Sedangkan di Papua ada trans-Papua yang menghubungkan Sorong, Jaya Pura-Marauke. Kemudian di sepanjang jalan raya trans-trans itu, juga di sepanjang tol darat dan laut akan tumbuh pusat-pusat perekonomian baru. Betapa hebatnya Indonesia sebagai negeri maritim dengan “men-start up” IKN sebagai motor penggeraknya. Karena itu, apa pun yang terjadi, bagi Jokowi IKN harus berdiri. Ini untuk mendorong kemajuan Indonesia keseluruhan.

Gagasan Bung Karno yang kini sedang dilaksanakan Jokowi, tampaknya membuat sebagian negara tetangga dan sahabat khawatir dan cemas. Indonesia akan menjatuhkan ekonomi mereka. Sebab Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam. Bila sumberdaya alam ini dikuasai Indonesia sepenuhnya, ada negara-negara yang terancam ekonominya.
Seperti Singapura, Jepang, dan Eropa Barat yang selama ini menikmati keuntungan besar dari “indusri nikel” yang bahan bakunya dari Indonesia.

Kata Jokowi, nikel yang berasal dari bumi Indonesia, dulu “dipaksa diekspor” ke luar negeri (LN). Indonesia hanya mendapatkan 15 miliar dolar AS dari ekspor biji nikel. Begitu eskpor dilarang, lalu biji nikel diolah dalam negeri, Indonesia mendapat 300 miliar dolar AS. Luar biasa. Dampaknya, Eropa Barat marah. Mereka mengadukan kasus nikel ke WTO (World Trade Organization). Di pengadilan WTO, Indonesia kalah.

Jokowi tidak mau kalah. Tapi negara-negara penggugat pun tak mau kalah. Dengan memanfaatkan media massanya, antara lain Bloomberg.com dan Strait Times -- mereka mulai mendiskreditkan Indonesia, dan hal yang mudah “dinyinyirin” mereka adalah perihal IKN di atas.

Dengan demikian, patut diduga degradasi media massa tersebut terhadap IKN adalah salah satu bentuk kemarahan mereka atas larangan ekspor nikel tadi. Dan WTO adalah   gongnya


*) Anggota DPR RI/Ketua Fraksi PPP

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.