Jogja 'cen' Istimewa (6): Kuliner, Memanjakan Manusia dan Mahluk Halus
Oleh Anif Punto Utomo *)
Cobalah ketik ‘kuliner Jogja’ di Google, maka kita akan menemukan ribuan tulisan tentang kuliner yang tersebar di Jogja. Ribuan tulisan itu seolah meneguhkan bahwa kuliner di Jogja sudah menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kuliner telah menjadi produk budaya yang berkembang menjadi wisata.
'Angle' tulisan di media 'mainstream' dan medsos (media sosial) macam-macam. Mulai dari kuliner tradisional sampai kekinian. Mulai dari kuliner yang disajikan untuk Generasi Baby Boomers sampai Gen-Z. Mulai dari warung pinggir jalan sampai resto mewah. Mulai dari harga yang sangat ramah dengan kantong sampai yang membobol dompet. Mulai dari kopi hitam sampai black coffee yang rasanya sama tetapi beda harga.
Di berbagai tulisan itu ada yang menyorot kuliner legendaris yang sudah berdiri sejak awal abad 20; ada yang menulis khusus tentang soto, khusus gudeg, atau khusus bakmi; ada yang mengupas angkringan dan café baru yang langsung ngehits; ada yang menyajikan tulisan resto makanan barat dan oriental; sampai pada tulisan yang mengulas tumbuh-tumbangnya café di Jogja.
Generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964) dan sebagian Gen-X (1965-1980) masih dimanjakan dengan beragam kuliner otentik yang sudah eksis sejak dulu maupun yang relatif baru. Penggemar gudeg misalnya, Gudeg Bu Tjitro yang sudah ada sejak 1925 dan terkenal di periode 1960-1970 masih bisa disambangi. Gudeg Mbah Lindu yang jualan sejak 1940 juga masih ada. Generasi yang lebih baru ada Gudeg Bu Achmad, Gudeg Sagan, dan Gudeg Yu Djum yang sudah berekspansi ke luar Jogja.
Selain itu banyak warung relatif baru yang menggali nostalgia Baby Boomers. Warung ini menyediakan masakan ‘lama’ seperti lodeh, mangut, sego megono, berikut minumannya wedang uwuh, jahe, teh panas, kopi tubruk, dll.
Tempat makan biasanya joglo dengan halaman luas, ada pula berupa rumah pedesaan. Di daerah utara yang terkenal ‘Kopi Klotok’, dan yang tampilan modern ada House of Raminten. Bagi penggemar ingkung ada spesialisnya seperti Ingkung Grobog, Kandang Ingkung, dan sebagainya.
Baby Boomers penggemar soto juga masih dimanjakan dengan soto legendaris yang masih otentik maupun soto pendatang. Soto legendaris yang masih bertahan di antaranya Soto Pak Sholeh (soto sapi), Soto Sawah (soto ayam), dan Soto Kadipiro (soto ayam). Kemudian untuk soto pendatang kebanyakan dari soto seger Boyolali yang juga banyak ditemui di kota lain.
Jenis kuliner tersebut lebih untuk menservis para alumni yang dulu kuliah di Jogja yang sekarang menjadi ‘orang berada’ untuk bernostalgia. Baik bernostalgia tentang Jogja maupun bernostalgia dengan makanan rumah di zamannya.
Jutaan alumni Jogja yang sudah sukses di rantau dipandang sebagai pasar menggiurkan. Meskipun pada akhirnya tetap banyak yang bertumbangan karena hanya ramai di kala libur panjang.
Di sisi lain, dalam tiga dekade terakhir telah terjadi evolusi pergeseran selera. Kehadiran Gen-Milenial dan Gen Z, telah melengkapi jenis kuliner yang disantap. Pada generasi ini selera makan telah terpengaruh oleh makanan dari barat dan kontinental. Mie godog sudah diganti spageti atau ramen, ayam goreng menjadi chicken katsu, daging bakar diganti bulgogi, nasi diganti sushi, dsb. Wajar jika generasi sekarang tidak kenal ingkung.
Meski begitu, spageti, chicken katsu, dan sebagainya itu, kita bisa temui di tenda pinggir jalan sebagai warung kaki lima. Makanan keren itu tidak lagi monopoli restoran kelas atas. Mahasiswa yang kirimannya pas-pasan, bisalah sesekali menikmati makanan asing itu. Bahkan sejak tahun 1980-an sudah ada yang jualan burger kaki lima, sebutlah burger ‘Monalisa’ yang bertempat di jalan yang membelah kampus UGM.
Buat yang ingin makan sehat, juga ada warung dan resto vegan. Resto yang sudah cukup dikenal adalah Jejamuran yang menyediakan jamur dan vegan. Selain itu tumbuh resto baru yang memang khusus vegan, seperti warung padang vegan, Padang Vegan Damai. Kalau mau vegan orisinil Jogja ya Lotek Teteg yang berlokasi di dekat teteg (pintu kereta) sebelah timur stasiun Lempuyangan.
Kuliner tradisional dan milenial tumbuh bersama melengkapi keistimewaan Jogja. Terjadi transformasi yang menggabungkan tradisi, kreativitas, dan adaptasi tren modern. Kuliner Jogja tetap mempertahankan akar tradisionalnya, tetapi juga terus berinovasi mengikuti selera masyarakat, terutama generasi muda dan wisatawan. Transformasi membuat kuliner Jogja semakin beragam dan tetap relevan di era modern.
Keistimewaan kuliner Jogja dilengkapi dengan resto yang menghidangkan makanan yang disukai raja-raja Mataram. Resto Bale Raos, berada di seputaran Kraton Jogjakarta, menyajikan hidangan khusus dari kegemaran raja-raja zaman dulu dari Sri Sultan HB VIII sampai dengan Sri Sultan HB X. Bale Raos adalah gagasan GKR Hemas (istri Sri Sultan HB X) yang bertujuan melestarikan kebudayaan kraton khususnya kuliner.
Ketika mau mengakhiri tulisan sampai di sini, tiba-tiba…wuiiiss, ada angin berhembus di belakang tengkuk. Isyarat apa ini? Ternyata ada yang hampir kelewat, kuliner roh halus belum ditulis. Ya, ini yang lagi-lagi menambah keistimewaan Jogja, yaitu hadirnya warung makan untuk roh halus.
''Roh halus itu juga butuh makan seperti manusia,'' ujar Bambang Siswanto, 51 tahun, pemilik Warung Makanan Roh Halus di bilangan Wirobrajan, Yogyakarta (travel.okezone.com). Cuma tidak seperti manusia, yang makan setiap hari, 'roh halus hanya makan di hari-hari tertentu seperti Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, malam Jumat Legi'.
Menu warung makan tak hanya sebatas bunga, melainkan juga ke perlengkapan sesaji untuk keperluan ritual ‘caos dahar’ (dalam bahasa Jawa artinya memberi makan). Pada bulan-bulan tertentu seperti Ruwah, Syawal, atau Suro, warung ini kebanjiran pembeli. Saat ramai-ramainya, bisa menjual hingga 100 kg-150 kg bunga setaman.
Siapa pelanggannya? Bambang mengaku pelanggannya mulai dari warga biasa, artis, politisi hingga Keraton Yogyakarta. "Artis banyak yang ke sini. Kalau politisi, pas mau pilkada atau pileg itu bisa beli banyak, sampai jutaan rupiah.’’
Begitulah keistimewaan kuliner Jogja. Manusia dan roh halus sama-sama diservis secara Istimewa.
*) Jurnalis Senior, Peneliti Moya Institute
Post a Comment