Guru Besar IPDN Minta MK Anulir Hasil Pilpres 2024

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan. (Foto: rm.id)

JAKARTA -- Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan, menyatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menganulir hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 karena unsur dugaan kecurangan terstruktur dan sistematis terpenuhi. Salah satunya dugaan keterlibatan pejabat (pj) kepala daerah untuk memenangkan pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran).

Menurut Djohermansyah yang juga menjadi saksi ahli pada persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di MK, kemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 yang dicapai melalui kecurangan terstruktur dan sistematis terlihat jelas sehingga dapat dianulir MK.

"Unsur kecurangan terstruktur dan sistematis itu, antara lain penunjukan pj gubernur, wali kota, dan bupati oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, rangkaian rapat koordinasi yang dilakukan dengan kepala desa hingga babinsa," ujar Djohermansyah dalam acara “Speak Up,” di YouTube Channel Abraham Samad, beberapa waktu lalu.

Djohermansyah menjelaskan, penggunaan aparatur sipil negara (ASN) sebagai pj kepala daerah membuat Presiden Jokowi dapat mengarahkan atau mengendalikan dukungan yang harus diberikan kepada paslon yang berkontestasi di Pilpres 2024.

"Apalagi Presiden Jokowi secara terang-terangan menunjukkan dukungan kepada paslon nomor urut 02. Hal itu antara lain dengan melakukan makan bersama Prabowo di masa kampanye, dan hasil perolehan suara Pilpres 2024 rata-rata di atas 50 persen di daerah-daerah yang kepala daerahnya merupakan pj yang ditunjuk presiden," jelas Djohermansyah.

Djohermansyah membeberkan, sebanyak 271 pj kepala daerah atau hampir 90 persen jumlah penduduk Indonesia di bawah kepemimpinan para pj kepala daerah gubernur, bupati, dan walikota.

"Kalau pj ini nyata sekali bahwa ucapan, perbuatan, tindakan Presiden Joko Widodo untuk bisa mengontrol pj. Jadi ada teori saya: mendongkrak suara dalam pilpres. Paslon 02 kan lama sekali suaranya sekitar 30-40 persen (selama kampanye pilpres-Red), tidak sampai 50 persen. Harus ada cara mendongkrak, men-triggernya suara itu bisa meloncat tinggi," cetus Djohermansyah.

Dengan keterlibatan Presiden Jokowi dalam membantu paslon 02, maka bisa dibilang Pemilu 2024 fraud. Karena itu, seperti wasit di pertandingan bola, kata Djohermansyah, MK bisa menganulir dengan menganulir golnya, dan memberikan kartu kuning bahkan kartu merah kepada paslon yang meraih kemenangan dari kecurangan.

"Dengan menganulir hasil kemenangan paslon nomor urut 02, maka harus dilakukan pilpres ulang. Paslon 2 bisa tetap ikut jika hanya mendapatkan kartu kuning dari MK. Tetapi jika mendapat kartu merah, maka Prabowo-Gibran tak bisa ikut kontestasi Pilpres 2024," tukas Djohermansyah.

Djohermansyah berpendapat, kartu kuning dan kartu merah yang diberikan MK bukan hanya kepada paslon tetapi juga kepada pihak-pihak yang ikut terlibat, seperti presiden dan para menteri yang mendukung paslon.

Hal itu layak dilakukan karena preferensi dari presiden dan para menteri yang menjadi ketua umum (ketum) partai atau berasal dari partai pendukung paslon di Pilpres 2024 sudah ketahuan.

“Karena ada unsur nepotisme dan bisa menabrak konstitusi yang harus dihindari, maka MK bisa memberikan kartu kuning dengan mengistirahatkan atau meminta pejabat negara mengambil cuti karena tak dapat dimungkiri preferensi mereka mendukung calon tertentu sudah terlihat,” ujar Djohermansyah.

Mantan Dirjen Otonomi Daerah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengungkapkan, sangat mungkin untuk melakukan pilpres ulang, meskipun ada jadwal pilkada serentak pada 27 November 2024.

Jika MK membuat putusan PHPU yang sesuai jadwal berakhir pada 26 April 2024, maka pilpres ulang dapat dijadwalkan pada Juli 2024, tanpa mekanisme kampanye. Jika tidak ada paslon yang mencapai 51 persen suara, maka pilpres tahap II dapat dilakukan di September 2024 bersamaan dengan pilkada.

“Jangan bilang waktu sudah mepet. Itu enggak benar, sebab kita sudah punya pengalaman menyelenggarakan pemilu dengan tahapan yang pendek sejak 2004-2009," tegas Djohermansyah. "Yang perlu diperhatikan itu pemilu harus jujur dan adil, bukan apapun hasilnya diterima saja sehingga mengabaikan rasa keadilan di masyarakat, masih ada yang mengganjal, terus memicu konflik berkepanjangan, dan gerakan-gerakan protes yang bisa mengarah pada ketidakstabilan pemerintahan, maka lebih baik pemilihannya dibenerin.”

Djohermansyah berharap Hakim MK memiliki sikap kenegarawan untuk dapat membuat putusan terkait PHPU yang didasarkan pada kepentingan bangsa ke depan, dan keberlangsungan demokrasi yang bermartabat.

Djohermansyah mengungkapkan saat menjabat sebagai Dirjen Otonomi Daerah di era Presiden SBY, ia sempat mengajari Presiden Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Walikota Solo tentang tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Hal itu juga berlangsung saat Jokowi menjadi Gubernur DKI.

DJohermansyah mengaku, mengenal sosok Jokowi sebagai pemimpin yang populis, dekat dengan rakyat, namun ada kekurangannya, yaitu pragmatis. Sifat inilah yang membuat Jokowi dapat melakukan upaya mengatasi persoalan sesuai kebutuhannya, termasuk membuat kebijakan padahal belum ada anggaran dan payung hukumnya.

“Padahal enggak bisa begitu karena birokrasi itu harus tertib dan teratur. Setiap pejabat harus ikut itu enggak bisa politisi, memaksa birokrasi mengikuti kebutuhannya atau keinginannya karena akhirnya birokrasi itu berjalan tidak profesional,” tandas Djohermansyah.

 

(nnn)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.