Pengelolaan Perbatasan Myanmar-China: Antara Koordinasi dan Ketegangan

Hamidin. (Foto: BNPP RI)

Oleh Hamidin *)

Sejalan dengan dinamika kawasan Asia Tenggara, pengelolaan perbatasan antara Myanmar dan Republik Rakyat Tiongkok (China) mencerminkan kompleksitas multidimensi. Tidak hanya menyangkut aspek geografis, batas negara ini juga sarat dengan isu keamanan, sosial budaya, ekonomi lintas batas, serta dinamika politik domestik di kedua negara.

Dengan garis perbatasan panjang mencapai 2.129 kilometer perbatasan telah terbentang dari Negara Bagian Kachin dan Shan di Myanmar hingga ke Provinsi Yunnan di Tiongkok.

Sebagian besar wilayah perbatasan tersebut merupakan medan berat, berupa pegunungan, lembah, dan hutan lebat yang menyulitkan pengawasan dan pengendalian aktivitas lintas batas negara secara menyeluruh.

Beberapa Pos Lintas Batas Negara (PLBN) resmi telah dibentuk, di antaranya Muse–Ruili Border Gate, Lweje, Chinshwehaw, dan Kanpiketi. PLBN ini telah menjadi jalur utama bagi perdagangan bilateral dan perlintasan orang, di bawah pengawasan ketat oleh otoritas bea cukai, imigrasi, dan perkuatan militer di kedua negara.

Sangat disayangkan bahwa sampai saat ini, konflik internal yang masih sering terjadi di Myanmar—khususnya yang melibatkan kelompok bersenjata seperti Kachin Independence Army (KIA), Ta’ang National Liberation Army (TNLA), dan United Wa State Army (UWSA) yang selama ini telah meningkatkan ketegangan keamanan di kawasan perbatasan.

Akibatnya, baik Tiongkok maupun Myanmar sama sama telah menempatkan kekuatan militer tambahan untuk mencegah penyebaran konflik yang berupaya melintasi batas wilayah negara.

Bagi Tiongkok, stabilitas perbatasan dengan Myanmar memiliki nilai strategis tinggi. Selain berperan sebagai jalur penting dalam inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) menuju Samudera Hindia.

Kawasan ini juga menjadi benteng terhadap ancaman lintas batas seperti; Penyelundupan barang dan narkotika, Arus pengungsi akibat konflik, dan Potensi eskalasi konflik bersenjata

Namun semua menyadari bahwa stabilitas kawasan tidak sepenuhnya bergantung pada kekuatan pengawasan oleh Tiongkok saja melainkan lebih pada dinamika internal Myanmar yang belum sepenuhnya kondusif.

Secara kelembagaan, Myanmar dan Tiongkok telah menjalin forum kerja sama terkait persoalan perbatasan negara.

Namun, kekuranganya bahwa karakter kerja sama lebih bersifat taktis dan reaktif—yang bertujuan untuk memadamkan krisis sesaat, bukan untuk mencegah potensi dalam jangka panjang.

Tiongkok menjalankan strategi “stabil dari luar, netral dari dalam”, yang berarti menjaga keamanan di wilayah perbatasan tanpa melakukan intervensi terbuka ke dalam urusan politik Myanmar. Pendekatan ini cukup efektif secara teknis, namun belum menjamin keberlanjutan stabilitas jangka panjang.

Perbatasan Myanmar–China juga menjadi bagian dari wilayah yang dikenal sebagai “Segitiga Emas”, pusat produksi dan distribusi narkotika di Asia Tenggara.

Jalur lintas batas sering dimanfaatkan untuk menyelundupkan: Heroin, ataupun Metamfetamin (shabu).

Meskipun operasi penindakan terus digencarkan oleh kedua negara, akar permasalahan seperti konflik bersenjata dan kemiskinan di wilayah perbatasan membuat persoalan ini terus berulang dan berulang

Persoalan antara Myanmar–China telah memberikan sejumlah pelajaran penting bahwa Manajemen perbatasan memerlukan pendekatan multidimensi, bukan hanya militer atau teknis.

Selain itu - Stabilitas internal negara tetangga akan sangat memengaruhi situasi lintas batas. Koordinasi regional dan diplomasi preventif juga sangat perlu ditingkatkan, termasuk melalui peran aktif ASEAN.

Dalam konteks ini, posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki perbatasan darat dan laut dengan beberapa negara, perlu terus memperkuat pendekatan kolaboratif, damai, dan berbasis pembangunan wilayah perbatasan.

Perbatasan bukan hanya soal garis batas administratif. Ia adalah refleksi hubungan antarnegara dan kondisi internal masing-masing negara.

Selama konflik etnis, kekerasan, dan ketidakpastian masih mengelilingi Myanmar, maka perbatasan dengan Tiongkok akan terus berada dalam kondisi siaga tinggi.

Situasi ini berbeda dengan Indonesia, yang relatif lebih stabil dalam hal pengelolaan batas negara. Hal ini perlu terus dijaga melalui sinergi BNPP, instansi terkait, dan pendekatan humanis dalam pembangunan kawasan perbatasan.


15 Juli 2025


*) Kelompok Ahli/Pokahli BNPP-RI


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.