JAKARTA -- Banjir bandang, pada pekan terakhir November 2025, yang menerjang sejumlah daerah di Pulau Sumatra, yakni Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara, memantik nalar berpikir untuk mengetahui pemicu utama kenapa bencana alam itu muncul. Air berwarna cokelat kehitaman hingga kayu gelondongan yang hanyut terbawa arus banjir memperlihatkan secara gamblang seberapa parah kerusakan lingkungan di bagian hulu sungai.
Kawasan Bukit Barisan yang membentang dari Lampung, hingga Aceh, merupakan hulu bagi banyak sungai yang mengalir di sepanjang Pulau Sumatra. Ketika lingkungan berubah sedikit saja, maka alam langsung memberikan respons melalui banjir atau tanah longsor agar semua sadar bahwa kegiatan ekstraktif dan eksploitatif tak lagi relevan, mengingat kondisi bumi yang kian rapuh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana hidrometeorologis yang disebabkan aktivitas cuaca selalu menduduki posisi puncak setiap tahun, dengan porsi lebih dari 98 persen. Letak Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan dikelilingi oleh laut, mendukung proses pembentukan awan. Matahari bersinar setiap hari, ditambah stok air melimpah dari laut adalah perpaduan yang sempurna untuk menciptakan hujan.
Lantas, apakah layak menyalahkan hujan yang turun secara alamiah dari proses penguapan sebagai faktor utama pemicu bencana banjir dan tanah longsor?
Banyak jurnal ilmiah membahas lahan hutan yang gundul menyebabkan daya serap air jauh lebih rendah dibanding lahan berhutan. Bahkan, saat mengenyam pendidikan di sekolah, semua mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ihwal manfaat hutan dalam mengendalikan limpasan air hujan agar tidak menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor.
Degradasi lingkungan akibat deforestasi memperburuk bencana hidrometeorologis, sekaligus meningkatkan laju erosi dan sedimentasi. Warga yang bermukim di bagian hilir sungai adalah kelompok paling terdampak saat terjadi bencana alam berupa banjir.
Wajar bila aktivis lingkungan dan penulis muda Balqis Humaira kembali membuat gaduh jagat maya setelah mengunggah kritik keras yang ditujukan langsung kepada Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Dalam unggahan bernada marah itu, Balqis menuding kebijakan kehutanan era Zulkifli Hasan sebagai salah satu biang kerok kerusakan hutan di Sumatra, terutama kawasan penting Taman Nasional Tesso Nilo.
Balqis membuka kritiknya tanpa basa-basi, menyebut nama Zulkifli Hasan (Zulhas) secara langsung sambil menyoroti apa yang ia sebut sebagai “jejak tinta perusak ekosistem” dari izin-izin kehutanan di masa lalu. Ia menyinggung praktik pencitraan pejabat yang dinilainya kontras dengan dampak kebijakan yang merusak.
“Gue udah bosen liat pejabat senyum manis di depan kamera, tapi di balik senyum itu ada tanda tangan yang bikin hutan Sumatera jungkir balik kayak digilas truk tambang,” tulis Balqis dengan nada geram, Minggu (30/11/2025).
Balqis menggarisbawahi Taman Nasional Tesso Nilo sebagai contoh kerusakan paling mencolok. Ia menyebut kawasan yang dulunya mencapai 83 ribu hektare itu kini tinggal serpihan karena pembukaan sawit ilegal dan perambahan yang tak terkendali—kondisi yang menurutnya tak lepas dari izin-izin pelepasan kawasan di era Zulkifli Hasan saat menjabat sebagai Menteri Kehutanan RI.
“Gue nggak bilang lo yang nebang pohonnya sendiri. Tapi setiap izin itu adalah lampu hijau. Setiap tanda tangan itu mengubah ekosistem.” cetus Balqis.
Unggahan Balqis juga menyinggung laporan-laporan lembaga lingkungan yang mencatat agresivitas pelepasan kawasan hutan pada masa tersebut. Ia menilai dampak kebijakan itu kini dirasakan langsung oleh masyarakat Sumatra yang kerap terdampak banjir, longsor, hingga konflik satwa liar. “Ini bukan bencana alam, ini bencana kebijakan,” tegasnya.
Balqis secara terang menolak narasi bahwa banjir di Sumatra adalah fenomena alam semata. Ia menegaskan kerusakan hutanlah yang memicu air bah dan bencana hidrometeorologi yang kini semakin sering terjadi.
“Air deras turun tanpa rem karena nggak ada lagi akar pohon yang nahan. Ini bukan marahnya bumi, ini imbas tanda tangan pejabat. Termasuk tanda tangan lo, Zul,” tulis Balqis.
Balqis menambahkan bahwa masyarakat seringkali menjadi korban, sementara pejabat justru sibuk melakukan pencitraan dan menyalahkan faktor-faktor alam.
![]() |
| Data perizinan pembukaan hutan oleh Menteri Kehutanan RI sejak 2004-2017. (Foto: pinterpolitik.com) |
Menutup kritiknya, Balqis memberikan pertanyaan moral yang ditujukan bagi Zulhas terkait konsekuensi kebijakan masa lalu. “Berapa banyak nyawa lagi yang harus rusak sebelum pejabat mengakui bahwa kebijakan salah arah itu punya konsekuensi?”
Senada dengan Balqis, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut bencana ini bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem, tetapi hasil dari kerusakan ekosistem yang sudah berlangsung lama.
Adapun respons pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, menegaskan bahwa saat ini pemerintah fokus menangani evakuasi, pemulihan akses bantuan, dan kebutuhan mendesak warga. Soal penyebab ekologis, termasuk dugaan alih fungsi lahan, akan ditelusuri setelah fase darurat selesai.
Namun di tengah isu ini, publik kembali mengangkat salah satu momen paling kontroversial terkait deforestasi: wawancara aktor Hollywood Harrison Ford dengan Menteri Kehutanan era itu, Zulkifli Hasan, pada 2013. Cuplikan video dokumenter Years of Living Dangerously kembali viral di media sosial X dan Instagram.
Dalam video berdurasi empat menit itu, Ford tampak emosional usai melihat langsung kerusakan hutan di kawasan Tesso Nilo, Riau. Ia berkali-kali menggelengkan kepala sebelum berkata lantang: “I can't wait to see the minister of forestry! I can’t wait!”
Percakapan Ford dan Zulhas berlanjut di kantor Kementerian Kehutanan. Berikut cuplikan dialog yang kini kembali ramai dibahas:
Ford membuka percakapan: “In the last 15 years, 80 percent of the forest has been commercially exploited. Indonesians say there is strong connection between business and politics. What do you say?” (Dalam 15 tahun terakhir, 80 persen hutan telah tereksploitasi secara komersil. Banyak orang Indonesia yang menyebut adanya hubungan kuat antara bisnis dan politik, bagaimana pendapatmu?")
Zulhas menjawab dengan tenang: “Kita baru belajar berdemokrasi. Saya yakin dalam waktu panjang akan terjadi titik seimbang.”
Ford lalu bertanya soal persetujuan proyek perlindungan gambut: “Will you sign the paper to preserve this critical natural resource?” (Akankah Anda menandatangani surat tersebut untuk melestarikan sumber daya alam yang penting ini?)
Zulhas menjawab: “Kalau mereka setuju, saya minggu depan bisa.”
Namun bagian paling viral adalah ketika Ford menyinggung kondisi Tesso Nilo. Ford berkata dengan nada tegas: “Only 18 percent remains. New roads, illegal logging, trees cut and burned. It’s heartbreaking. What have you done?” (“Yang tersisa hanya 18 persen. Ada jalan baru, pembalakan liar, pohon ditebang dan dibakar. Ini menghancurkan hati. Apa yang sudah Anda lakukan?”)
Zulhas menanggapi: “Ini bukan Amerika. Kami baru mengalami reformasi. Kadang-kadang kami surplus demokrasi. Karena itu kami buat program memindahkan masyarakat dan mencari lahan pengganti.”
Ford lalu memotong: “So you're willing to lose the battle?” (“Jadi Anda siap kalah dalam perjuangan ini?”)
Zulhas menjawab pendek: “Ya.”
Momen tersebut menutup percakapan yang kini kembali menjadi refleksi keras di tengah bencana yang terjadi. Isu kerusakan hutan kembali menjadi sorotan publik. Kini pertanyaan yang dulu diajukan Harrison Ford kembali mengemuka: Apakah Indonesia siap menjaga hutan, atau kembali "kalah dalam pertempuran" karena tekanan bisnis dan politik?
(berbagai sumber/end)


Posting Komentar untuk "Sumatra Banjir dan Longsor: Telunjuk Kini Mengarah ke Kebijakan Menteri Kehutanan Era Zulkifli Hasan "