Menyikapi Musibah

Shamsi Ali. (foto: dok.times indonesia)

Oleh Shamsi Ali *)

Ada satu kebiasaan yang barangkali kurang, bahkan tidak pantas, dari sebagian orang di saat terjadi sebuah musibah di sebuah tempat. Kebiasaan itu adalah mengumbar atau mengekspose kesalahan-kesalahan (walau itu benar adanya) dari orang-orang yang tertimpa musibah.

Musibah gempa bumi yang memporak porandakan Cianjur, Jawa Barat, misalnya saat ini banyak dikaitkan dengan berbagai (apa yang dianggap) kesalahan dan dosa-dosa penduduk setempat. Ada dua kemungkinan yang terjadi di sini. Pertama, apa yang disebut-disebut itu memang benar. Kedua, apa yang disebut-sebut itu tidak benar atau minimal tidak semuanya benar.

Mana pun dari dua kemungkinan itu, benar atau tidak, menyebarluaskan kesalahan dan dosa-dosa orang lain adalah kesalahan itu sendiri. Apalagi ketika orang-orang itu sedang berada dalam situasi yang sulit dan menyedihkan.

Menyikapi musibah dengan cara mengumbar kesalahan orang-orang yang sedang kesulitan menggambarkan karakter yang tidak berakhlak. Karakter yang demikian itu paradoksikal dengan ajaran Islam dan ketauladanan baginda Rasulullah SAW. Bahkan tanpa disadari bisa menjadi sebuah kezholiman kepada mereka yang sedang berduka.

Yang seharusnya disadari adalah bahwa Islam adalah agama “rahmah”. Agama yang mengedepankan hati nurani yang penuh kasih sayang.

Anggaplah memang benar bahwa di daerah itu banyak dosa dan kesalahan. Secara akhlak Islam menyikapinya bukan dengan mengumbar dosa dan kesalahan itu. Justru sebaliknya menghadirkan solusi. Dan harusnya disadari bahwa “sitrul Muslim” atau menutup aib sesama Muslim yang dianggap pendosa itu adalah bagian dari akhlak mulia.

Allah SWT menyikapi para pendosa dengan kasih sayang: “Katakan (wahai Muhammad), wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas, jangan putus asa dari kasih sayang Allah. Sungguh Allah mengampuni semua dosa. Sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Karenanya menyikapi kesalahan dan dosa mereka yang bersalah dan berdosa bukan dengan menyebarkan. Tapi sekali lagi justru disikapi dengan kasih sayang dalam bentuk mengajak kembali ke jalan Allah seraya menutupi kesalahan-kesalahan itu.

Kebiasaan mengumbar kesalahan orang lain justru boleh jadi cara Allah menampakkan karakter sebagian orang. Bahwa jeli melihat kesalahan orang kemungkinan justru bentuk dari kegagalan melihat kesalahan dan dosa diri sendiri. Orang yang gagal melihat kesalahan dan dosa-dosanya akan merasa suci dan cenderung melihat kesalahan dan dosa orang lain.

Lebih jauh kebiasaan yang demikian ini merupakan indikasi arogansi keagamaan. Perasaan lebih dalam beragama jelas dilarang oleh agama Islam: “Laa tuzakkuu anfusakum” (jangan sucikan dirimu sendiri). Justru ketika ada kesalahan dan dosa yang terjadi di manapun harusnya menjadikan kita merasa bersalah. Jangan-jangan hal itu terjadi karena kelengahan dan hilangnya tanggung dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar dari umat ini.

Tapi yang lebih penting lagi harusnya di saat-saat musibah menimpa Saudara-Saudara kita bukan ditumpuki dengan beban tuduhan dosa dan kesalahan. Justru yang harus dibangun adalah rasa simpati dan empati, feelings their feelings (ikut merasakan luka dan duka yang mereka rasakan).

Dan yang terpenting jika memang kesalahan dan dosa itu adalah realita (benar adanya), maka Islam selalu hadir sebagai solusi. Sikap Islam yang bijak adalah mengajak dan mendoakan semoga melalui ujian musibah itu mereka kembali mendapatkan hidayah dan kembali ke jalan yang lurus…

Mari hentikan mengumbar kesalahan orang, apalagi dalam situasi kesulitan dan kesedihan. Jangan mengumbar paradoks. Merasa beragama tapi berhati dan berkarakter kasar. Doakan Saudara-Saudara kita di Cianjur. Semoga Allah menguatkan dan memudahkan untuk mereka. Tidak saja dalam menghadapi masa-masa sulit ini. Tapi juga dalam upaya menangkap hikmah-hikmah dari musibah yang menimpa mereka. Amin!

Ci-Batam, 25 November 2022



*) Presiden Nusantara Foundation



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.