Rezeki Vs Gaji

Shamsi Ali. (foto: transmedia)

Oleh Shamsi Ali *)

“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (rezeki sebagian). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambaNya.” (Al-Isra: 30).

Itulah salah satu firman Allah dalam Al-Quran yang menyikapi pembagian rezeki di antara hamba-hambaNya. Bahwa Dia Allah “Yang mencipta (khalaqa), Yang merancang (sawwa), Yang menentukan (qaddara), dan memberikan petunjuk (hadaa). (Al-a’la: 2-3). Sebuah penekanan bahwa dari penciptaan dan segala yang terkait dengan kehidupan manusia terpusat dalam satu komando. Yaitu komando “Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi” (Al-a’la: 1).

Beragam ayat maupun hadits yang menyebutkan tentang rezeki dan kehidupan manusia, di antaranya adalah ayat-ayat yang mengharuskan bagi orang-orang beriman untuk “menafkahkan sebagian dari apa yang telah direzekikan kepadanya” sebagai bagian dari karakter ketakwaan (lihat Al-Baqarah 1-5).

Hanya saja ada kekeliruan dalam memahami arti rezeki. Seringkali dipahami sebagai sekadar “finansial income” (pemasukan keuangan). Bahkan lebih sempit lagi ketika dipahami rezeki itu seolah hanya gaji rutin (bulanan misalnya) seseorang.

Kekeliruan dalam memahami arti rezeki dengan batasan gaji tentu memiliki konsekuensi yang cukup parah. Pertama, membatasi karunia Allah yang tiada batas. Kedua, kemungkinan membatasi diri sendiri dalam mensyukuri karunia Allah yang begitu luas.

Oleh karenanya yang pertama harus disadari adalah bahwa sifat Allah dalam memberi rezeki itu pada umumnya dieskpresikan dengan “Ar-Razzaq” atau “Yang Maha Pemberi rezeki secara berlebihan dan terus menerus”. Di dalam kaidah bahasa Arab bentuk kata seperti ini disebut bentuk “tafdhiil” (melebihkan). Menunjukkan bahwa Allah itu memberian rezeki-Nya secara terus-menerus sehingga sejatinya dirasakan dengan perasaan “qana’ah” (berkecukupan).

Kesadaran lain yang harus dibangun dalam menyikapi rezeki adalah bahwa pembagian rezeki secara kuantitatif itu merupakan hak prerogatif Allah SWT. Bukankah memang Allah “memberikan rezekiNya kepada siapa yang Dia kehendaki” bahkan “di luar batas kalkulasinya” (lihat misalnya Al-Baqarah: 212).

Suatu ketika Umar RA menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya: “Dan belajarlah puas dengan rezeki dalam kehidupan duniamu. Karena sesungguhnya Yang Maha Rahman (Allah) melebihkan sebagian di atas sebagian manusia dalam rezeki. Allah timpakan ujian pada masing-masing (yang banyak atau yang sedikit). Maka Dia (Allah) menguji siapa yang dikarunia rezeki lebih untuk mensyukurinya dan bagaimana menggunakan karunia itu secara baik dan benar (diriwayatkan Ibnu Hatim).

Dari sinilah kemudian yang harus disadari pula adalah pentingnya menghindari perasaan “tidak enak” dengan karunia lebih yang Allah berikan kepada orang lain. Dalam bahasa agama menyadari tentang rezeki secara benar dan proporsional akan menghindarkan kita dari penyakit yang super berbahaya “hasad”.

Itu sesungguhnya yang diingatkan dalam Al-Quran: “Dan jangan berangan-angan dengan apa yang Allah telah lebihkan antara satu dengan yang lain di antara kalian”. Tapi baiknya fokus saja “meminta kepada Allah kelebihan atau keutamaan-Nya. Tentu dengan kesadaran bahwa “Allah itu Maha mengetahui segala hal” (An-Nisa: 32).

Jika hal-hal di atas disadari, maka berbagai permasalahan hidup dan dosa dapat terhindarkan. Satu, kegagalan mensyukuri karunia karena salah memaknai arti rezeki. Dua, terbangunnya kesadaran hakiki dan benar tentang karunia rezeki Allah, yang mengantar kepada “Al-Qana’ah” atau rasa puas yang sejati. Tiga, tidak membangun perasaan “tidak enak” (hasad) dengan karunia yang Allah berikan kepada orang lain. Karena yakin jika sunnatullah dalam pembagian rezeki itu memang “ada yang dibukakan dan ada yang sebaliknya” (يبسط Ùˆ يقدر).

Dengan kesadaran tentang rezeki seperti itu manusia akan menjalani hidupnya dengan penuh lapang dada, kepuasan, ketenangan, dan kebahagiaan. Manusia seperti inilah yang akan kuat, stabil, dan tegar dalam menjalani kehidupan. Jauh dari prasangka-prasangka, baik pada orang lain, diri sendiri, apalagi kepada Allah SWT.

Ingat, gaji itu rezeki. Tapi rezeki bukan hanya gajimu!

Manhattan City, Amerika Serikat, 16 Januari 2023

 

*) Presiden Nusantara Foundation

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.