Webinar Nasional Moya Institute, Jumat 20 Januari 2023, Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi

Webinar Moya Institute

Wacana perubahan sistem pemilihan umum kembali mencuat menjelang perhelatan politik tahun 2024. Ada sejumlah alasan yang mengemuka terkait perubahan itu, yakni politik biaya tinggi, liberalisasi politik, serta maraknya politik uang.

Gagasan penggunaan sistem proporsional tertutup kembali mengemuka, meskipun penggunaan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan pada empat kali pemilu terakhir. Kedua model sistem pemilihan itu masing-masing memiliki plus-minus dan pernah digunakan beberapa kali di dalam sejarah pemilihan umum Indonesia.

Sistem proporsional memiliki akar historis di Indonesia karena pertama kali diterapkan pada Pemilu 1955. Sistem proporsional tertutup juga diterapkan dalam pemilu selama Orde Baru serta pemilu pertama setelah reformasi pada tahun 1999. Sedangkan sistem proporsional terbuka digunakan sejak Pemilu 2009 hingga 2019.

Di parlemen, dari sembilan fraksi, hanya fraksi PDI-P yang mendukung sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup. Delapan partai politik lain menolak dengan alasan menghambat pengembangan demokrasi.

Dua organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), turut bersuara dalam polemik ini. Muhammadiyah mendukung sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka terbatas, sedangkan NU menyerahkan sepenuhnya pilihan sistem itu ke pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu. Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengindikasikan pula dukungannya terhadap gagasan yang diusung PDI-P tersebut.

Menurut pendukungnya, sistem proporsional tertutup akan mampu menutup rapat timbulnya fenomena pemilihan caleg berdasarkan popularitas, bukan kapabilitas. Artinya, sistem ini dapat mengurangi populisme politik, yaitu pemilihan tidak lagi berdasarkan efek ekor jas dari popularitas caleg di lapangan, melainkan kualitas partai politik secara umum.

Selain itu, sistem proporsional tertutup akan menguatkan peran partai politik dan sistem kepartaian. Penguatan partai politik menjadi krusial, sebab belakangan ini peran sentral partai politik dalam demokrasi terasa merosot. Hal ini terlihat dari rendahnya party ID atau party identification, yaitu ukuran kedekatan dan kesukaan pemilih terhadap partai politik yang dipilihnya dalam pemilu.

Tingkat kedekatan warga Indonesia dengan parpol yang diyakininya hanya 11,7 persen, menurut hasil survei SMRC belum lama ini. Artinya, hanya 11,7 persen responden yang meyakini partai politik pilihannya dan akan memilih kembali partai politik tersebut itu kapan pun pemilu digelar.

PDIP, sebagai partai yang mendorong penggunaan kembali sistem proporsional tertutup berpendapat, peserta pemilu adalah partai politik, bukan individu. Selain itu penerapan sistem proporsional terbuka selama ini membuat tokoh atau sosok dengan pemahaman politik dan idealisme kuat justru tersingkir karena kalah secara elektoral.

Pertimbangan lain yang mengemuka terkait penggunaan sistem proporsional tertutup adalah pengalaman dua pemilu terakhir yang menimbulkan pembelahan di tengah-tengah masyarakat dan banyak korban dari sisi penyelenggara (KPU). Pada 2014, terdapat 144 orang wafat, sementara pada 2019 meningkat menjadi 817 orang, belum lagi yang jatuh sakit. Gagasan sistem itu menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Moya Institute, sebuah lembaga kajian isu-isu strategis, memandang penting agar persoalan di atas diurai dan dikaji lebih mendalam. Moya Institute ingin mengulas, apakah sistem proporsional terbuka masih yang terbaik, atau perlukah meninjau kembali penggunaan sistem proporsional tertutup, mengingat banyaknya persoalan sebagaimana terurai di atas.

Moya Institute berpandangan, Pemilu 2024 memiliki peran penting, karena ia menjadi momentum untuk memperkuat kualitas demokrasi Indonesia, yang belakangan dihadapkan pada berbagai tantangan. Polarisasi politik, perubahan generasi kepemimpinan, dan penguatan peran partai politik serta sistem kepartaian menjadi isu-isu penting yang menyertai Pemilu 2024.

Untuk itu Moya Institute berinisiatif menggelar Webinar Nasional bertajuk “Sistem Proporsional Tertutup: Kontroversi” pada Jumat, 20 Januari 2023, pukul 16.00-18.00 WIB. Webinar bersifat terbuka kepada publik, dengan tujuan untuk memperkaya wawasan tentang gagasan tersebut, sehingga kontroversi dapat turut diredam.

Persatuan dan kesatuan bangsa sangat diperlukan saat ini agar bangsa Indonesia dapat melalui krisis energi, pangan, dan lingkungan yang diakibatkan oleh persaingan global, seperti termanifestasi antara lain dalam perang Rusia–Ukraina dan potensi konflik di kawasan strategis Indonesia, Indo-Pasifik, di tengah-tengah munculnya ketrengginasan Cina di kawasan.

Webinar Nasional ini akan menghadirkan para narasumber, selain kompeten, juga membawa perspektif yang berbeda, yaitu:

Pembicara:

1.    Prof Hermawan Sulistyo (Guru besar Universitas Bhayangkara Jaya);
2.    Fahri Hamzah (Politikus Reformasi)
3.    Chudry Sitompul, SH., MH. (Pengamat Hukum Universitas Indonesia).

Penanggap:

Prof Imron Cotan (Pemerhati Isu-isu Strategis)

Pemantik Diskusi:

Hery Sucipto (Direktur Eksekutif Moya Institute)

Moderator:

Kenia Gusnaeni  (Presenter RTV).

Webinar dapat diikuti melalui:

Zoom: https://s.id/1vtqN
YouTube: https://s.id/1vtrR



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.