Kalangan Aktivis: Kebijakan Pemkot Pekalongan dan Sukabumi Rasis dan Intoleran!

Aktivis senior Hendardi. (foto: dpr.go.id/poskota.co)

JAKARTA -- Kalangan aktivis dan pergerakan mengecam keras kebijakan dua pemimpin daerah, yakni Wali Kota Pekalongan dan Sukabumi yang melarang penggunaan fasum lapangan untuk Shalat Idul Fitri warga pada tanggal 21 April 2023 nanti.

"Saya kira kebijakan dua wali kota tersebut rasis dan intoleran ya. Konstitusi kan menjamin kebebasan warga negara menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya," ujar aktivis senior Hendardi, di Jakarta, Senin (17/4/2023).

Pendiri Setara Institute itu mengkritik keras kebijakan yang bukan saja melanggar konstitusi, tetapi juga telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

"Saya tidak habis pikir, kok masih ada pemimpin daerah bikin kebijakan konyol seperti itu. Kebijakan itu secara tidak langsung justru menjadi pintu masuk bagi tumbuhnya sikap-sikap intoleran dan radikalisme beragama bagi wilayah lain," lanjut pendiri PBHI tersebut.

Di tempat terpisah, Direktur Moya Institute Hery Sucipto menilai, tindakan dua Wali Kota Pekalongan dan Sukabumi itu sebagai upaya secara sengaja menciptakan instabilitas di daerah.

"Kebijakan yang jelas-jelas menabrak konstitusi dan sengaja dibuat itu bukan saja telah menimbulkan instabilitas di masyarakat. Tapi juga menunjukkan kedua pemimpin daerah tersebut tidak peka terhadap agama dan keyakinan yang dianut warganya," jelas Hery.

Untuk itu, Hery meminta Mendagri Tito Karnavian sebagai Pembina Kepala Daerah agar menegur keras dua wali kota tersebut. Moya Institute juga menuntut kebijakan pelarangan tersebut agar segera dicabut.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.