Kasus Pencabulan Santri Kembali Terjadi di Ponpes, Kemenag Dukung Penegakan Hukum

Pelecehan seksual santriwati/ilustrasi. (foto: gambar oleh pezibear dari pixabay)


JAKARTA -- Kasus tindak kekerasan seksual kembali terjadi di pesantren. Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Minhaj di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, diduga berbuat cabul terhadap lebih dari 15 santriwatinya dalam rentang waktu beberapa tahun.

Dalam penanganan kasus tersebut, terduga pelaku bernama Wildan Mashuri disebut saat ini sudah diamankan pihak kepolisian. Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Luthfi mengatakan, tersangka dalam perkara ini atas nama Wildan Mashuri (58 tahun), yang merupakan pengasuh Ponpes Al Minhaj, Wonosegoro, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang.

Terkuaknya kasus dugaan pencabulan dan persetubuhan dengan anak di bawah umur ini berawal dari laporan orang tua korban ke Mapolres Batang, pada 2 April 2023. Laporan ini segera ditindaklanjuti olah jajaran Satreskrim Polres Batang.

Dari hasil penyelidikan oleh jajaran Satreskrim Polres Batang terungkap bahwa korban tindak pencabulan oleh oknum pengasuh pondok ini lebih dari satu orang dan hingga Senin (10/4/2023) jumlah korban mencapai belasan orang hingga tersangka akhirnya diciduk di Kecamatan Kandeman.

“Jadi sejak dilaporkan pada 2 April 2023 sampai dengan Senin kemarin sudah ada 15 orang yang mengaku menjadi korban pencabulan tersangka Wildan,” ujar Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ahmad dalam konferensi pers di Mapolres Batang, Selasa (11/4/2023), dikutip dari Antara.

Perbuatan dugaan pencabulan dan persetubuhan dengan anak di bawah umur ini, lanjut Irjen Ahmad, diduga telah dilakukan sejak tahun 2019 di lingkungan ponpes. Sedangkan perbuatan pencabulan terakhir dilakukan oleh tersangka pada Ahad 2 April 2023.  

Irjen Ahmad menjelaskan, dalam melakukan aksinya, tersangka menggunakan modus bujuk rayu dan tipu muslihat serta mendoktrin para korban dengan ilmu agama yang diajarkan di ponpes. Selain itu tersangka juga memberi uang jajan dan biaya sekolah korban. "Usai melakukan perbuatannya, tersangka Wildan juga memaksa para korban untuk tidak menceritakan perbuatannya kepada orang lain," ungkap dia.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) RI Waryono Abdul Ghofur menyebut pihaknya mendukung penuh penegakan hukum yang dilakukan kepolisian.

"Setiap tindak pidana, siapa pun pelakunya, serta kapan dan di manapun kejadiannya, harus ditindak tegas. Oleh sebab itu, izin pesantren akan dicabut atas tindakan pencabulan yang dilakukan pimpinan ponpes,” ujar Waryono dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/4/2023).

Waryono menyebut apa yang dilakukan oleh tersangka sudah jelas merupakan tindakan pidana dan perbuatan tidak terpuji. Hal ini juga mencoreng marwah ponpes secara keseluruhan dan juga menyebabkan dampak luar biasa bagi korban.

Pendampingan terhadap para santriwati disebut akan dilakukan untuk memastikan semuanya dapat melanjutkan pendidikannya. Meski izin pesantrennya dicabut, hak pendidikan para santri harus dilindungi.

Kemenag juga bersinergi dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya, dalam penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Lembaga yang dimaksud salah satunya adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan pihak kepolisian.

Waryono menyebut Kemenag juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak.

Komunikasi dengan pesantren juga dilakukan untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustaz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.

Kemenag juga sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Regulasi ini antara lain mengatur masalah pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Adanya aturan ini mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

Terkait penanganan, regulasi ini mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis.

Telah diatur juga di dalamnya sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban. Para korban harus diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Terkait pelaku kekerasan seksual, Waryono menjelaskan regulasi mengatur tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku diserahkan ke penegak hukum. Untuk sanksi administratif bisa berupa pemecatan. “Regulasi juga mengatur bahwa pelaku harus membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban,” kata dia.

Sebagai tindak lanjut dari PMA 73/2022, Kemenag saat ini tengah melakukan finalisasi Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang Panduan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. KMA ini diperlukan sebagai regulasi teknis yang akan mengatur langkah dan upaya pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan binaan Kemenag.

“Kekerasan seksual adalah perbuatan yang bertentangan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Karenanya, praktik kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh terjadi lagi,” ucap Waryono menegaskan.


(dpy)

1 komentar:

  1. Harus dihukum seberat beratnya pelaku sekaligus dikebiri biar ada efek jera, Depag juga hrs berbenah utamanya systim Pengawasannya dan orang Tuapun hrs terlibat secara aktif dlm hal komunikasi dng anak

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.