Memaknai Keberkahan Ramadan (7)

Imam Shamsi Ali. (foto: muhammadiyah.or.id)


Oleh Imam Shamsi Ali *)

Terdorong oleh tendensi egoistic manusia selalu ingin tampil berlebihan. Berlebihan itu dalam bahasa Al-Quran disebut “israf”. Sementara lawan dari berlebihan “pertengahan” diekspresikan dengan kata “qawaama” di Surah Al-Furqan.

Apapun justifikasi yang terpakai, israf atau berlebihan adalah perilaku yang tidak saja negatif. Bahkan boleh jadi berwujud sebagai perilaku yang destruktif. Islam jelas melarang kehidupan yang berlebihan. Dalam hal makan misalnya, Allah menyebutkan: “Makan dan minumlah kalian. Tapi jangan berlebihan”.

Berlebihan menjadi negatif karena sesungguhnya tidak memberikan manfaat kepada pelakunya. Yang terjadi Hhnya pada perasaan, bagaikan halusinasi. Sejatinya yang ingin dilakukan oleh pelaku israf atau berlebihan adalah mendapatkan kekaguman dari orang lain di sekitarnya.

Masalahnya kemudian apakah orang di sekitarnya terkagum? Atau sebaliknya justru menimbulkan perasaan yang negatif pula? Bisa jadi kecurigaan, cemohan karena dianggap angkuh. Atau sebaliknya tumbuh perasaan iri hati dan hasad. Semua itu justru menjadi beban bahkan dosa bagi pelaku israf (berlebihan).

Yang lebih berbahaya lagi adalah jika pelaku israf itu tidak mendapatkan apa yang ia inginkan dari orang lain (pujian atau kekaguman). Pastinya bukan kepuasan dan ketenangan yang ia dapatkan. Justru ia akan terbebani oleh perasaan keinginan untuk dikagumi.

Bahkan lebih jahat lagi adalah ketika keinginan untuk tampil berlebihan itu tidak seimbang dengan kemampuan yang dimilikinya. Yang terjadi adalah tendensi menghalalkan segala cara demi memenuhi hasrat egoistiknya. Di sinilah kita sering menemukan pejabat-pejabat korupsi demi memenuhi tendensi egoistik kemewahan tadi. Terjadi pepatah yang mengatakan: “Lebih besar pasak dari tiang”.

Pada sisi manapun, kecenderungan berlebihan dalam hidup itu “madzmumah” (terhinakan) dan membawa kepada kehinaan. Peristiwa-peristiwa di tanah air yang terbuka akhir-akhir ini hanyalah contoh kecil dari karakter hina manusia itu. Merek Rubicon atau kata moge (motor gede) menjadi populer karena kecenderungan berlebihan dan pamer hidup.

Hal-hal seperti ini seringkali bukan sekadar fenomena karakter biasa. Tapi telah menjadi penyakit mental (mental sickness) yang bahkan berpengaruh secara sosial. Seringkali saya melihat ibu-ibu membawa tas yang tidak perlu. Bahkan dua atau lebih dengan merek yang berbeda.

Kecenderungan berlebihan dan mewah bukan saja pada life style. Tapi juga pada sisi kehidupan lainnya. Termasuk ketika seseorang diamanahi jabatan seringkali berlebihan dalam perilaku jabatan. Baru menjadi kepala desa sudah bergaya dan angkuh luar biasa. Padahal Presiden Amerika Serikat membawa kopinya sendiri ketika ada di jalan.

Saya teringat Michael Bloomberg yang kaya raya itu. Di saat menjabat Wali Kota New York hampir setiap hari naik subway dari rumahnya di sekitar 78 Street and 5th Av. Di atas kereta ia biasa saja. Duduk jika dapat tempat duduk. Atau berdiri sebagaimana orang-orang lain di Kota New York jika tidak mendapatkan tempat duduk. Pengawalnya pun biasa-biasa saja. Tidak berlebihan dan sangar.

Sering juga terjadi ada orang yang baru diuji dengan kekayaan yang tidak seberapa atau kekuasaan yang segitu saja tapi berlagak seolah dunia dan langit ada dalam genggamannya. Saya menyebut perilaku ini dengan “kegenitan mentalitàs”.

Puasa mengajarkan hidup sederhana. Bahwa dunia ini sebesar dan sehebat apapun tidak bisa memenuhi segala kecenderungan hawa nafsu dan keinginan manusia. Dunia punya keterbatasan (faniyah). Dan dunia bukan segala-galanya dalam hidup ini.

Puasa mengajarkan bahwa demi kehidupan yang lebih mulia justeru dunia dikesampingkan sementara. Seolah melatih manusia untuk melepaskan diri dari perbudakan dunia dan menjadi tuan untuk diri dan hidupnya. Semoga!

Astoria, New York, Amerika Serikat, 2 April 2023 



*) Presiden Nusantara Foundation

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.