Sekjen MUI Angkat Bicara Soal Larangan Sejumlah Pemda yang Larang Shalat Id 21 April

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Amirsyah Tambunan. (foto:  muisumbar.or.id)

JAKARTA -- Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Amirsyah Tambunan, turut angkat bicara perihal permohonan izin penyelenggaraan Shalat Idul Fitri pada 21 April 2023 di Lapangan Mataram, Kota Pekalongan, dan di Kota Sukabumi, yang ditolak pemerintah setempat. Ia mengatakan, dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat 1 telah dinyatakan bahwa negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian, pada ayat kedua disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Menurut Buya Amirsyah, dalam konteks ini ada dua hal yang dapat dipahami. Pertama, secara internum negara tidak masuk dalam wilayah keyaninan umat beragama seperti adanya perbedaan agama dan keyakinan umat dalam menjalankan ajaran agama masing-masing. Kedua, secara ekternum negara hanya menjadi fasilitator agar umat dapat merayakan perbedaan keyakinan umat.

"Jadi terhadap perbedaan Hari Raya 1 Syawal 1444 H sebaiknya pemerintah membolehkan pemakaian sarana lapangan dalam melaksanakan Shalat Idul Fitri tanggal 21 atau 22 April 2023," ujar Amirsyah dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/4/2023).

Lebih lanjut, Amirsyah pun menjelaskan, terkait dengan pelaksanaan Shalat Idul Fitri tahun ini, sudah sepatutnya pemerintah menjamin pelaksanaan ibadah sehingga bisa berjalan dengan baik dan lancar. "Perbedaan 1 Syawal 1444 H berdasarkan ilmu hisab dan kemungkinan yang terjadi dari hasil rukyat adalah tidak sama, maka Idul Fitri tahun ini tentu jelas sangat besar kemungkinannya akan berbeda."

Buya Amirsyah juga menegaskan, kedua metode tersebut yaitu hisab dan rukyat tidak boleh ada dikotomi karena sama-sama ada dalam Al-Quran dan hadits. Karena itu, lanjut dia, semestinya pemerintah tidak boleh ikut-ikut menentukan hasil mana yang akan dipakai, tapi menyerahkan urusan tersebut kepada para pemeluk dari agama Islam itu sendiri.

"Jadi jika terjadi perbedaan antara yang mempergunakan hisab dengan yang mempergunakan rukyat, maka sikap pemerintah sebaiknya netral dan tidak berpihak kepada salah satunya karena menyangkut internum atau keyakinan internal umat beragama," kata Buya Amirsyah.

Buya Amirsyah menambahkan, sebaiknya tugas pemerintah cukup sebagai fasilitator, yakni memberitahukan kepada umat Islam bahwa Lebaran Idul Fitri-nya tidak sama karena yang mempergunakan hisab dan rukyat 1 Syawal jatuh pada Jumat, 21 April 2023. "Jadi mereka akan Shalat Idul Fitri di hari dan tanggal tersebut. Sementara yang memakai rukyat Shalat Idul Fitri hari Sabtu, 22 April 2023," jelas dia.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.