Novel 'Ibuku Perempuan dari Pulau Rote, Bali Penuh Kenangan' Karya Fanny J Poyk: Pengalaman Emosional, Kisah Nyata, dan Refleksi Budaya
JAKARTA -- Peluncuran dan bedah buku novel "Ibuku Perempuan dari Pulau Rote, Bali Penuh Kenangan" karya novelis dan penyair Fanny Jonathans Poyk berlangsung di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Lantai 4 Gedung Panjang Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta. Acara digelar pada Minggu (1/12/2024) mulai pukul 14.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.
Dalam acara sastra ini, Fanny J Poyk, sebagai penulis--dikenal juga sebagai jurnalis senior--berbagi kisah di balik penulisan novelnya yang memuat pengalaman emosional dan refleksi budaya dari Pulau Rote hingga Bali.
Ir. Midzon L.J. Johannis, S.S, M.Min, bertindak sebagai pembicara, memberikan pandangan mendalam tentang karya tersebut. Acara dipandu oleh Nuyang Jaimee sebagai moderator.
Selain diskusi buku, acara ini juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi dan narasi oleh Octavianus Masheka (Bung Octa), Sihar Ramses Simatupang, Imam Ma'arif, Nanang S Supriatin, Octavianus Masheka, Giyanto Subagio, Badri AQ T, Lily Siti Multatuliana Sutan Iskandar, Retno Budiningsih, Ni Made Sri Andani, Viriya, dan Fanny J Poyk.
Peluncuran buku ini tidak hanya menjadi wadah apresiasi sastra, tetapi juga memperkuat nilai-nilai budaya dan mempertemukan para pencinta literasi di ruang publik ikonik Jakarta.
Fanny J Poyk dikenal sebagai wartawan senior alumni dari Institut Ilmu Sosial & Politik (IISIP) dan juga pernah beberapa kali bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta. Sejak berhenti sebagai jurnalis di tabloid 'Fantasi' serta tak dikontrak lagi di sebuah kementerian pemerintahan sebagai staf ahli penerbitan media internal, Fanny sepenuhnya menjadi penulis freelance.
Novelis yang murah senyum ini juga rutin mengirimkan karya cerpen ke berbagai media, ada yang dibayar honor dan ada yang gratisan. Bahkan ia sering diundang menjadi salah seorang narasumber dalam sebuah seminar serta tutor penulisan sastra maupun jurnalistik di berbagai sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Fanny lahir di Bima, Sumbawa, besar di Bali dan Yogyakarta bersama ayahnya yang pengarang dan jurnalis senior, yaitu Gerson Poyk. Bakat menulis nampaknya diturunkan dari ayahnya itu. Dan terus terasah hingga saat ikut hijrah ke ibu kota.
"Saya mendisiplinkan diri menulis. Sekurang kurangnya setahun menerbitkan satu buku," kata Fanny. ”Setiap bangun tidur, saya membayangkan kata kata dan mengolah kata kata.”
Novel "Ibuku Perempuan dari Pulau Rote, Bali Penuh Kenangan" berisikan atau bertuliskan kisah imajinatif yang dikolaborasikan dengan sebagian cerita nyata dari si penulis sendiri yaitu Fanny J. Poyk atau Fanny Jonathans Poyk. Penulis kelahiran Bima, Sumbawa, ini berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Namun sejak usia kanak-kanak hingga dewasa dihabiskannya di Pulau Bali dan Jakarta. Uniknya, ia belum pernah ke Pulau Rote.
"Kisah yang saya kemas dengan menggunakan bahasa Indonesia yang ringan, dimaksudkan agar pembaca terhibur usai membaca bab demi bab yang ada di dalam cerita pada novel tersebut," ucap Fanny melalui satu group WA komunitas sastra di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Fanny melanjutkan, perjalanan dan ragam kehidupan yang terjadi pada Sang Ibu yang merupakan perempuan asli Pulau Rote dari Suku Bilba dengan ‘trah’ keturunan dari Raja Bilba--Raja yang pernah ada di Rote--menjadi bagian dari bab yang ada di dalam cerita.
Namun era globalisasi memangkas segala hal yang berkaitan dengan tradisi lama. Meskipun tidak semua orang melupakannya. Asal-usulnya dan keberadaan Pulau Rote diperkenalkan dengan rinci oleh Fanny di dalam novel tersebut.
Alur kisah bergulir bab demi bab. Kompilasi kehidupan yang dimulai dari kegembiraan, penderitaan, hingga membentuk absurditas kehidupan dengan segala perjalanan serta kenangan yang berbaur dengan kegetiran yang fatal. Pada akhirnya menggiring cerita yang ada di dalam novel ke kisah kemanusiaan yang sesungguhnya.
"Kisah tentang pergulatan hidup yang dialami oleh sebagian manusia dengan narasi yang bertuliskan bahwa hidup itu bagai memikul salib, sebab tak selamanya manusia selalu berada di zona nyaman. Dan itu harus dihadapi dengan perjuangan serta semangat yang tak boleh kendur. Karena, jika semangat serta pergulatan hidup itu berakhir, maka kisah tentang kehidupan itu juga akan selesai," pungkas Fanny.
(Lasman Simanjuntak)
Post a Comment