Peringatan 21 Mei: Dari Kejatuhan Otoritarianisme Menuju Kebangkitan Militerisme?
Koalisi Masyarakat Sipil. (Foto: Setara Institute)
Oleh Koalisi Masyarakat Sipil *)
Tanggal 21 Mei 1998 adalah hari Soeharto menyatakan diri mundur dari Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Hari itu menandai berakhirnya rezim otoritarian militeristik Orde Baru dan mengawali proses demokratisasi di Indonesia yang dikenal kemudian dengan era Reformasi.
Era Reformasi ditandai dengan menguatnya peran-peran masyarakat sipil dalam kancah politik di Indonesia dan pada puncaknya Dwifungsi ABRI/TNI dihapuskan oleh Presiden Gus Dur.
Hari ini, 21 Mei 2025, lebih dari seperempat abad sejak runtuhnya rezim otoritarian Soeharto, kondisi demokrasi di Indonesia justru menunjukkan kemunduran yang mengkhawatirkan. Salah satu indikatornya adalah semakin menguatnya intervensi militer dalam ranah sipil, yang tercermin dari disahkannya Revisi Undang-Undang TNI beberapa waktu lalu.
Selain itu, para terduga pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu justru menikmati impunitas, bahkan menempati posisi strategis di lingkaran elit pemerintahan dan politik nasional.
Pemerintahan di era Reformasi juga gagal melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, meski hal tersebut merupakan amanat TAP MPR No. VII tahun 2000 dan mandat UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Lebih buruknya lagi, aturan-aturan yang secara normatif mencegah militer masuk ke ranah sipil justru dipreteli melalui revisi UU TNI. Intervensi TNI ke ranah sipil bahkan dijustifikasi dengan ragam alasan yang tak sesuai dengan semangat Reformasi.
Mulai dari penambahan jabatan-jabatan sipil bagi TNI aktif, perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tak lagi kemudian memerlukan persetujuan DPR, hingga penambahan usia pensiun para elite militer. Secara praktis di lapangan, TNI semakin merangsek ke dalam kehidupan sipil di tengah belum jelasnya perbantuan TNI yang harusnya diatur melalui aturan perundang-undangan.
Kemunduran demokrasi di Indonesia hari ini tidak hanya terlihat dari pelemahan institusi-institusi demokratis dan menguatnya peran militer dalam ranah sipil, tetapi juga dari cara negara mengelabui dan memanipulasi ingatan kolektif bangsa.
Alih-alih melanjutkan proses hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan mendorong upaya pengungkapan kebenaran, pemerintah hari ini justru memilih jalan berbalik arah. Upaya memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, sosok yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM dan represivitas negara, adalah bentuk paling nyata dari pengingkaran terhadap sejarah kelam bangsa ini.
Koalisi Masyarakat Sipil merasa pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi ini semakin terang benderang. Bandul demokrasi ditarik mundur jauh dari semangat reformasi 1998 yang menuntut demokratisasi, supremasi sipil, dan penegakan HAM.
Demokrasi hari ini dibajak untuk melanggengkan kekuasaan segelintir elit dan mengembalikan dominasi militer dalam kancah politik. Kami mengkhawatirkan bahwa ini bukan sekadar kemunduran, melainkan adalah ancaman nyata bagi masa depan demokrasi dan penegakan hukum yang adil di Indonesia.
Atas dasar hal tersebut di atas dan dalam rangka memperingati jatuhnya rezim otoritarian militeristik Soeharto dari singgasana Orde Baru, kami mendesak agar Pemerintah:
1. Mengembalikan TNI ke barak dan menarik kembali militer dari ranah sipil, melanjutkan reformasi TNI dengan mereformasi peradilan militer dan UU tentang tugas perbantuan.
2. Tidak memberikan status Pahlawan kepada Soeharto dengan alasan diduga kuat terlibat dalam berbagai pelanggaran berat HAM di masa Orde Baru.
3. Mengungkapkan secara jujur tentang sejarah kelam bangsa terkait pelanggaran berat HAM masa lalu di dalam buku sejarah Nasional.
4. Melanjutkan proses penyidikan kasus pelanggaran berat HAM yang saat ini terhenti di Kejaksaan.
5. Melanjutkan proses reformasi sektor keamanan, terutama reformasi TNI, reformasi Polri, dan reformasi Intelijen untuk menjadi aktor keamanan demokratik yang profesional yang sesuai dengan cita-cita Reformasi.
Jakarta, 21 Mei 2025
*) Koalisi Masyarakat Sipil
1. Imparsial
2. Centra Initiative
3. PBHI
4. WALHI
5. HRWG
6. SETARA Insititute
7. DeJure
8. Raksha Initiatives
CP:
1. Ardimanto (Imparsial)
2. Al Araf (Centra Initiative)
3. Daniel Awigra (HRWG)
4. Bhatara Ibnu Reza (DeJure)
5. Wahyudi Djafar (Raksha Initiative)
6. julius Ibrani (PBHi)
7. M Islah (Walhi).
Post a Comment