Tentang Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Hendardi: Fadli Zon tak Usah Cari Sensasi

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi. (Foto: dpr.go.id)

JAKARTA -- Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Kementerian Kebudayaan sangat berambisi untuk melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia. Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ditargetkan rampung sebelum peringatan HUT Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025. 

Tim penyusun sudah dibentuk yang dipimpin oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Prof Susanto Zuhdi sebagai penanggung jawab utama.

"Proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia ini sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah bangsa sesuai dengan kehendak dan kepentingan politik rezim," ujar Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, dalam siaran persnya yang diterima redaksi gebrak.id, Senin (16/6/2025).

Menurut Hendardi, publik tentu masih mencatat dengan sangat baik bahwa sejarah perjalanan bangsa, khususnya yang terkait dengan kelahiran Pancasila dan tragedi 1965, pernah diupayakan untuk direkayasa dan dibelokkan Rezim Orde Baru melalui penulisan sejarah versi rezim yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto.

"Narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi, dan muslihat alias ngawur," jelas Hendardi. 

Misalnya, lanjut Hendardi, terkait dengan statemen publik Fadli Zon yang menyangkal tragedi pilu pemerkosaan massal pada 1998 dan pelanggaran HAM masa lalu pada umumnya. 

Hendardi menambahkan, selain tidak punya empati terhadap korban, Fadli Zon yang lahir dan tumbuh serta dikenal luas sejak lama sebagai pendukung dan pembela Orde Baru, juga berhalusinasi, mengarang bebas, dan bertentangan dengan pernyataan resmi negara sebelumnya, melalui Presiden RI BJ Habibie, Penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman, Investigasi dan Temuan Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta berbagai studi ilmiah yang dilakukan oleh para intektual serta laporan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat sipil. 

"Fadli Zon harus menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka," tegas Hendardi.

Secara substantif, sambung Hendardi, Kementerian Kebudayaan tidak memiliki otoritas menentukan narasi sejarah perjalanan bangsa. Kalaupun pemerintah memiliki niat baik untuk menyusun buku sejarah demi kepentingan pembelajaran, seharusnya itu dikoordinasikan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan, entah itu Kemendikdasmen atau Kemendiktisaintek. 

"Dari sisi waktu, juga bukannya terburu-terburu melaksanakan proyek ini secara tergesa-gesa? Tidak ada kondisi obyektif yang menunjukkan kemendesakan dan kedaruratan sehingga penulisan ulang sejarah ini mesti selesai sebelum 17 Agustus 2025," tuding Hendardi. "Hal tersebut justru menguatkan kesan publik bahwa di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah, memanfaatkan ungkapan 'Sejarah adalah Milik Kaum Pemenang'.”
 
Oleh karena itu, kata Hendardi, pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk mengada-ada dengan merekayasa dan membelokkan sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa. 

Menurut aktivis HAM ini, butuh dialog panjang, mendalam, dan inklusif terkait dengan fakta sejarah yang harus diakomodasi dalam buku pembelajaran sejarah. Pada saat yang sama, Pemerintah RI harus menunjukkan itikad untuk mengungkapkan kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini, alih-alih secara instan dan represif menulis ulang sejarah sesuai dengan selera rezim.

(eye)



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.