Din Syamsuddin Tuding Jubir MK Tendensius karena Tafsirkan Jokowi Bisa Cawapres di 2024

Din Syamsuddin. (foto: antara)

JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, M Din Syamsuddin mengkritisi sikap Mahkamah Konstitusi (MK) lewat juru bicaranya, Fajar Laksono, dalam menafsirkan Pasal 7 UUD 1945, dengan menyebut Presiden RI Joko Widodo bisa maju mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2024. Menurut Din, pernyataan jubir MK itu mencerminkan sikap lembaga MK yang tendensius.

Tak hanya itu Din menyebut jubir MK tersebut bahkan potensial dianggap melanggar konstitusi. Karena menafsirkan di luar putusan resmi hakim konstitusi. Karena itu Din menegaskan pernyataan jubir MK itu tidak bisa tidak dianggap sebagai pernyataan lembaga MK.

"Seorang jubir biasanya mewakili lembaga, dan tidak akan berani mengeluarkan pernyataan kecuali atas restu bahkan perintah pimpinan MK. Kalau MK membantah maka harus ada sanksi tegas berupa pencopotan sang jubir yang telah melakukan pelanggaran, tidak hanya off side, tapi free kick," kata Din dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/9/2022).

Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020 ini menilai, pernyataan jubir MK itu, yang tidak atas pertanyaan atau permintaan seseorang atau lembaga/organisasi adalah tendensius. Dan hal itu, menurut Din, bisa membuat publik membenarkan kesimpulan dugaan bahwa MK selama ini tidak netral.

"Dugaan MK tidak imparsial, dan tidak menegakkan keadilan menyangkut isu pemilu dan pilpres, seperti yang ditunjukkannya pada keputusan tentang presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden)," jelas Din.

Jika ini benar maka Din cukup menyayangkan, sebab ini merupakan malapetaka bagi negara Indonesia yang berdasarkan hukum/konstitusi. Namun perisai terakhir penegakan hukum/konstitusi justru berkecenderungan melanggar hukum atau konstitusi itu sendiri. "Maka, sudah waktunya rakyat mereview atau merevisi keberadaan MK dari perspektif UUD 1945 yang asli," lanjutnya.

Bila MK ingin menampik tuduhan itu, Din berharap memberi sanksi tegas terhadap jubirnya. Dan tidak hanya itu, MK juga harus mengeluarkan pernyataan bahwa seorang presiden hanya untuk dua masa jabatan berturut-turut, dan tidak boleh diberi peluang mencalonkan diri lagi walau sebagai wakil presiden. "Jika ini diabaikan oleh MK, saya sebagai warga negara bersedia bergabung bersama rakyat cinta konstitusi melakukan aksi protes besar-besaran," tegas dia.

Sikap yang sama ditunjukkan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie juga mengkritik adanya tafsir yang tidak tepat pada Pasal 7 UUD 1945. Tafsir itu terkait pencalonan Jokowi kembali sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu 2024 oleh Jubir MK Fajar Laksono.

Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu itu menegaskan, jubir MK tidak memiliki wewenang menafsirkan Pasal 7 UUD 1945 terkait pencalonan kembali presiden sebagai cawapres setelah menjabat dua periode.

"Dari mana itu dasarnya, dia bicara itu. Dia itu jubir yang justru merusak citra MK. Jadi saran saya staf di pengadilan, baik MA, MK maupun pengadilan di manapun jangan ikut-ikut bicara di depan publik yang tidak ada kewenangannya apalagi dalam persoalan materi perkara," kata Jimly.

Sebelumnya, jubir MK Fajar Laksono menyebut Presiden Joko Widodo yang habis masa jabatannya pada Oktober 2024, masih memiliki peluang mencalonkan diri sebagai cawapres pada 2024. Fajar menafsirkan Pasal 7 UUD 1945 sebagai tidak bisa mencalonkan lagi sebagai presiden, tapi tidak di posisi wakil presiden.

Namun Jimly membantah tafsir tersebut. Ia menjelaskan, di Pasal 7 UUD 1945, jabatan presiden dan wakil presiden itu satu kesatuan. Jadi, ia mengingatkan, membaca konstitusi itu level pertama, membaca harfiah. Bunyi harfiahnya, presiden hanya boleh dua periode. 


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.