Dr (HC) M Habib Chirzin, Sang Midas

Dr (HC) M Habib Chirzin. (foto: suaramuhammadiyah.id)

Oleh Syaefudin Simon *)

Ajaib! Benda apa pun yang disentuh Midas, tokoh legenda Yunani Kuno, akan menjadi emas. Dan, orang pun berbondong-bondong datang untuk mengikuti petunjuk Midas agar mendapat hadiah emas.

Habib Chirzin jelas bukan Midas. Habib adalah filsuf alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM). Tapi Habib seperti Midas dalam filsafat. Apa pun benda yang disentuh Habib, ia akan menjadi filsafat. Bahkan sosok Habib sendiri bukan sekadar filsuf. Habib adalah filsafat itu sendiri. Living philosophy.

Habib adalah filsuf yang piawai menjelaskan eksistensi setiap benda secara filosofis. Masjid Syuhada Yogyakarta sebagai monumen perjuangan rakyat, misalnya, dikatakan Habib sebagai ruh perjuangan penegakan NKRI. Syuhada adalah bukan sekadar masjid monumen kemerdekaan Indonesia dan perjuangan menegakkan NKRI, tapi juga masjid monumen perdamaian dunia.

Letak Masjid Syuhada yang sangat dekat dengan gereja Katolik terbesar dan tertua di Kotabaru Yogya, dan abadinya hubungan baik kedua tempat suci itu, menjadi simbol perdamaian dunia. Di depan persis Masjid Syuhada, jelas Habib, ada perumahan kumuh kaum marginal yang mayoritas Muslim -- tapi kemudian perumahan Pinggir Kali Code itu ditata sedemikian rupa oleh arsitek kenamaan yang juga pastor Katolik -- menjadikan Kampung Girli itu mendapat penghargaan Aga Khan Award bidang arsitektur.

Menurut Habib, Aga Khan Award untuk Kampung Girli itu mempunyai banyak makna. Mayoritas penduduk Girli adalah Muslim. Yang menatanya hingga menjadi sorotan dunia arsitektur adalah Pastor Katolik Romo Mangunwijaya. Dan pemberi awardnya adalah lembaga global yang didirikan Muslim Asia Selatan.

Arti dari semua itu, Masjid Syuhada mempunyai link dengan network internasional, baik secara sosial, agama, maupun budaya. Bangunan Masjid Syuhada adalah masjid pertama di Indonesia yang menggunakan arsitektur modern khas Islam, tidak mengikuti arsitektur masjid Jawa meski ia berada di pusat kebudayaan Jawa. Tambah Habib. Ini artinya, Masjid Syuhada menjadi simbol perdamaian kultural umat beragama yang kreatif dan inovatif. Masih banyak cerita filosofis keberadaan Masjid Syuhada yang dijelaskan Habib dengan pendekatan filosofis dan sosilogis.

Habib juga bisa menjelaskan secara filosofis kenapa rumahnya sekarang berada di dekat Candi Borobudur. Candi Borobudur bukan sekadar tempat wisata, tapi pusat etika dan spiritual masyarakat Jawa. "Melihat jalan-jalan menuju Borobudur seperti melihat jalan-jalan menuju Roma, yang kelak menjadi garis-garis kultural yang mengerek kemajuan bangsa-bangsa Eropa," cetus Habib.

Habib bisa menjelaskan, kenapa dua putranya tak pernah membeli baju baru. "Demi kelestarian lingkungan, anak-anakku tak pernah tertarik membeli baju baru yang proses pembuatannya merusak lingkungan," kata Habib. Lalu, kenapa Habib memelihara ayam kate di rumahnya, ia menjelaskan, ingin merawat warisan budaya dan satwa nenek moyang yang kini terlupakan.

Habib bisa melihat jauh ke depan dari setiap peristiwa yang dilihat atau setiap benda yang disentuhnya. Ia 'berfilsafat" untuk setiap tindakannya. Bagi Habib, kesadaran filsafat untuk setiap "aksi" seharusnya menjadi pegangan umat beragama. Karena tak ada gerak apa pun -- termasuk daun yang yang jatuh dari tangkainya -- tanpa kehendak Allah. Itulah pentingnya mengaji filsafat. "Allah adalah Yang Maha Filsuf," ujarnya.

Aku mengagumi Habib pertama kali sejak mendengar ceramahnya di "Ramadhan in Campus" Gelanggang UGM tahun 1980 ketika masih kos di rumah Pak AR Fachrudin, ketum PP Muhammadiyah saat itu, di Jalan Cikditiro 19 A Yogya. Tempat kostku sangat dekat dengan Gelanggang Mahasiswa UGM sehingga hampir tiap malam aku tarawih di Gelanggang.

Saat mendengar ceramah Habib, yang terbersit di pikiranku, dia pastilah orang pinter yang luar biasa. Penguasaan bahasa Arab dan Inggrisnya luar biasa sehingga aku menduga saat itu, Habib akan menjadi Sekjen PBB, atau setidaknya menjadi diplomat internasional yang mengembangkan etika global.

Dugaanku benar. Meski Habib tidak menjadi Sekjen PBB, kegiatan Habib di tahun-tahun 1980-1990 -an akhir adalah wira-wiri antara London, Paris, New York, Bangkok, Manila, Jakarta, dan kota-kota besar dunia yang lain. Habib pun menjadi public speaker untuk etika global dan perdamaian dunia. Beberapa kali Habib diundang PBB sebagai pembicara untuk etika global dan perdamaian dunia di kota New York.  

Ketika Habib menjadi Ketua Pusat Pemuda Muhammadiyah, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pun terangkat. Sampai-sampai Pak AR sempat mencari rumahnya di Jakarta dan bersilaturahmi ke Habib

"Mas Simon. Aku malu sekali ketika Pak AR datang ke rumahku di Jalan Proklamasi Jakarta. Saat itu Pak AR menjadi Wantimpres RI. Pak AR yang sudah sepuh datang ke rumah, dengan tujuan silaturahmi ke kader Muhammadiyah," cerita Habib. Habib merasa malu karena sebagai kader muda Muhammadiyah seharusnya dia yang menyambangi Pak AR. Yang terjadi sebaliknya. Pak AR yang menyambangi Habib.

"Pak AR memang tokoh Muslim yang luar biasa dalam membangun silaturahim," puji Habib. Bukan hanya kepada kader Muhammadiyah, kepada rakyat kecil pun Pak AR suka bersilaturahim.

Sejak itu, kata Habib, aku sering datang silturahim ke rumah Pak AR. Dan Pak AR selalu  berpesan kepadaku, ujar Habib, agar kader Muhammadiyah merawat organisasi Islam yang egaliter ini. Habib pun mengaku selalu ingat kata-kata Kyai Dahlan yang sering dulang-ulang Pak AR. Hidup-hidupkan Muhammadiyah. Jangan menumpang hidup di Muhammadiyah.

Habib adalah tokoh Muhammadiyah yang sering rantang-runtung dengan Gus Dur. Bukan hanya itu. Habib yang putra Kyai Chirzin, tokoh Muhammadiyah Kota Gede Yogya ini, lebih akrab dengan kyai-kyai NU ketimbang dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah.

Alumnus Ponpes Gontor yang ikut membangun Ponpes Pabelan, Magelang, bersama KH Hamam Ja'far itu - karena kedekatannya dengan NU -- kemudian menjadi tali penghubung antara Muhammadiyah dan NU. Dalam buku yang saya tulis, Pak AR Sang Penyejuk, Habib Chirzin kumasukkan dalam kategori Muhammadinu. Orang Muhammadiyah yang "melebur" dalam NU. Berbalikan dengan Prof Dr Abdul Mu'ti yang Sekjen Muhammadiyah -- dia adalah orang NU yang "melebur' dalam Muhammadiyah. Yang terakhir ini adalah  Nuhammadiyah.

Dengan aktivitas dan relasi internasionalnya yang seabreg itulah kemudian Fakultas Filsafat UGM menyurati Habib untuk menyelesaikan kesarjanaan filsafatnya. Habib tak peduli.

Bagi Habib seperti pernah dikatakan padaku, ijazah paling berharga di dunia adalah sarjana muda. Kalau di dunia militer pangkat paling berharga adalah kolonel.

Habib menyatakan, tokoh-tokoh revolusioner dunia mayoritas adalah sarjana muda dan kolonel. Dia mememberi contoh Kolonel Muammar Gadafi dan Kolonel Fidel Castro. Untuk Indonesia, Zamroni dan Sukron Makmun. Karena itu, Habib, ingin tetap berada dalam kesarjanamudaannya. M Habib Chirzin, BA.

Tapi kondisi itu berubah. Fakultas Filsafat, cerita Habib, memberi surat. Isinya, mohon Habib menyelesaikan sarjana filsafatnya agar fakultas bangga mewisuda Habib sebagai sarjana filsafat. Pak Darmarjati Supajar, dosen senior Filsafat, bahkan menemui Habib.

"Mas Habib tolonglah diwisuda sebagai sarjana Fakultas Filsafat. Ini bukan untuk kepentingan Habib. Tapi untuk kepentingan dan marwah Fakultas Filsafat. Fakultas Filsafat akan terangkat derajatnya di Indonesia, bahkan dunia internasional, jika mempunyai alumnus seperti Habib. Tolonglah buat satu atau dua lembar karya tulis sebagai persyarat skripsi. Jika Habib tidak punya waktu untuk menuliskannya, relakan fakultas menulis catatan aktivitas dan kutipan pidato Habib di dunia. Itu cukup sebagai skripsi kesarjanaan filsafat Habib," pinta Pak Damar.

Habib terdiam. Tak sanggup menolak permintaan Pak Damar. Akhirnya Habib pun diwisuda sebagai sarjana Filsafat UGM.

Celakanya, kata Habib, gelar Drs itu oleh koleganya di luar negeri dikira Dr. Jadilah Habib kemudian bergelar "Doktor" di luar negeri. Jika kemudian UIN Yogya menganugerahi gelar Dr. HC, rasanya itu sudah terlambat. Tapi Habib yang ramah dan mengalah demi orang lain, tampaknya tak sanggup untuk menolak penganugerahan tersebut.

Walhasil, secara formal Habib kini sah bergelar doktor. Dunia niscaya memahami kenapa Habib mendapat gelar doktor HC seperti halnya ketika almarhum Soedjatmoko,   mantan Rektor Universitas PBB, mendapat gelar doktor HC. Kualitas kedua tokoh ini sangat mumpuni dalam keilmuannya, terutama filsafat humanisme. Bahkan melebihi doktor-doktor yang dilahirkan secara formal akademis.  

Selamat Mas Habib atas anugrah Doktor HC-nya di UIN Suka Yogya, Rabu (21/9/022). Aku bangga dan tetap mengagumimu. Dari muridmu, Syaefudin Simon.



*) Penulis Peneliti Senior Moya Institute

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.