Fenomena Digital: Dari Nurani Menuju Sekadar Algoritma Konten

Samsul Muarif. (Foto: Dok.Pribadi)
Oleh Samsul Muarif *)
Fenomena digital yang mengatasnamakan solidaritas kemanusiaan kini tak lagi murni soal empati. Dalam arus media sosial yang serba cepat dan algoritmik, dukungan terhadap isu moral seringkali menjelma menjadi komoditas visual yang diproduksi, dipotong, dan disebarkan untuk kepentingan ekonomi dan popularitas.
Salah satu contohnya adalah munculnya video viral berisi pernyataan, “My name is Emmy Hamasaki and I strongly support Palestinian independence.” Video berdurasi singkat ini beredar di TikTok, Instagram, dan YouTube pada akhir Oktober 2025, direpost ratusan kali oleh akun-akun nonterverifikasi.
Di beberapa unggahan, muncul petunjuk lokasi seperti Ambon, Maluku, namun tak ada sumber resmi yang dapat memastikan identitas pembicara, apalagi afiliasi aktivis atau organisasi yang mendasarinya. Seperti banyak kasus lain, video ini menjadi simbol dukungan yang menguap tanpa konteks.
Fenomena seperti ini bukan hal baru dalam kajian komunikasi digital. Teori Sarah Banet-Weiser dalam bukunya Authentic™: The Politics of Ambivalence in a Brand Culture (2012) dan tulisan bersama Roopali Mukherjee dalam konsep Commodity Activism menjelaskan bagaimana pesan moral di platform digital sering berubah menjadi aset komersial. Ketika ekspresi empati dan dukungan diproduksi dalam format yang mudah dibagikan—visual menarik, musik emosional, kalimat singkat—ia tak lagi sekadar bentuk solidaritas, melainkan komoditas performatif.
Sarah Banet-Weiser menulis: “Authenticity has become one of the most central and yet deeply paradoxical terms in contemporary brand culture. It is at once a commercial strategy and a moral framework, a marketing tool and a cultural value.” (New York University Press, 2012, hlm. 3).
Banet-Weiser menjelaskan bahwa dalam budaya merek modern, “keaslian” (authenticity) tidak lagi sekadar sifat moral atau ekspresi diri yang jujur, tetapi telah dikomodifikasi — menjadi alat pemasaran yang diproduksi dan dijual.
Dalam bab pembuka, ia juga menulis: “In brand culture, authenticity is not outside of the market but produced by it.” — (hlm. 14). Artinya, keaslian — termasuk keaslian emosi dan empati sosial — tidak lagi berdiri di luar pasar, tetapi justru dihasilkan oleh mekanisme pasar itu sendiri.
Kutipan ini sering digunakan dalam kajian komunikasi dan studi budaya untuk menjelaskan fenomena aktivisme digital yang sekaligus komodifikasi identitas — misalnya ketika dukungan terhadap isu moral atau sosial juga menjadi bagian dari strategi personal branding.
Dalam konteks “Emmy Hamasaki”, pesan dukungan terhadap Palestina yang tampak tulus dan berjiwa aktivis justru beroperasi di dalam logika algoritmik: semakin emosional dan moral tampilannya, semakin besar peluang viralitas dan monetisasi.
Fenomena ini menempatkan publik dalam wilayah ambigu antara aktivisme dan performativitas. Penonton merasa tergerak secara moral, tetapi pada saat yang sama terlibat dalam sirkulasi ekonomi digital yang memperkaya platform dan (kadang) pembuat konten. Dengan demikian, solidaritas digital bukan lagi semata-mata praktik etis, melainkan juga bagian dari ekosistem kapitalisme moral — tempat “keaslian” menjadi merek dagang yang menjual empati.
Dengan kata lain, dukungan pada isu Palestina di media sosial seringkali menjadi alat performatif untuk membangun identitas digital dan menarik perhatian publik. Bagi sebagian kreator, ini bukan soal politik, melainkan soal engagement: jumlah tayangan, pengikut, dan peluang monetisasi. Semakin sensitif dan emosional sebuah isu, semakin besar daya tarik ekonominya di algoritma media sosial.
TikTok, Instagram, dan YouTube memiliki sistem rekomendasi yang memprioritaskan konten dengan watch time dan interaksi tinggi. Isu Palestina—dengan kekuatan visual penderitaan dan solidaritas global—mudah menjadi bahan bakar algoritmik. Dalam konteks itu, video seperti yang mengatasnamakan “Emmy Hamasaki” adalah contoh klasik performative activism: aksi simbolik yang tampak heroik, tetapi tanpa kedalaman gerakan atau tindak lanjut nyata.
Sosiolog Zizi Papacharissi menyebut fenomena serupa sebagai affective publics—komunitas yang terikat bukan oleh ideologi, tetapi oleh emosi bersama yang dieksploitasi oleh sistem media. Dalam konteks ini, “Emmy Hamasaki” bukan aktivis, melainkan artefak dari budaya digital yang menjual empati dalam format yang dapat diklik.
Pertanyaannya: apakah salah mengekspresikan dukungan melalui media sosial? Tidak. Namun, ketika ekspresi itu menjadi bahan bakar ekonomi digital—tanpa tanggung jawab terhadap kebenaran, konteks, dan keberlanjutan pesan—ia berpotensi mengaburkan makna solidaritas itu sendiri. Gerakan digital yang lahir dari empati bisa berubah menjadi sekadar branding moral.
Fenomena “Emmy Hamasaki” menandai era di mana batas antara empati dan ekonomi semakin tipis. Di balik seruan “Free Palestine” yang menggema di layar ponsel, ada algoritma yang bekerja, ada klik yang dihitung, dan ada kapital yang bergerak. Solidaritas yang sejati semestinya tak berhenti di layar—ia menuntut kesadaran, konsistensi, dan tanggung jawab sosial yang nyata.
Jakarta, 3 November 2025
*) Jurnalis senior dan penulis sejumlah buku

Post a Comment