Setara Institute: Keppres 17/2022 Beredar, Pseudo Akuntabilitas Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM/Human Rights/ilustrasi). (foto: pixabay)

JAKARTA -- Setelah menjadi kontroversi dan tidak bisa diakses publik, Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM
yang Berat Masa Lalu, akhirnya beredar luas di tengah masyarakat. Ketua Setara Institute Hendardi menyebut Keppres itu merupakan cara Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk berpura-pura bertanggung jawab konstitusional dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Keppres ini bukanlah cara Jokowi mengambil tanggung jawab konstitusional dan kewajiban negara menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu," ujar Herdardi dalam keterangan tertulis yang diterima Gebrak.id, Rabu (21/9/2022).

Herdardi menambahkan bahwa desain Keppres ini bukanlah cara dalam disiplin hukum hak asasi manusia (HAM) atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu. "Karena syarat utama penyelesaian nonyudisial haruslah didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran, verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum, dan dengan kerja yang tidak terburu-buru," jelasnya.

Hendardi pesimistis tim yang dibentuk Jokowi terkait dengan Keppres ini akan berjalan sesuai harapan masyarakat soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Pasalnya, kata dia, terdapat anggota tim yang sangat erat hubungannya dengan peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Bahkan, salah satu anggota tim masuk dalam daftar pelanggar HAM berat di Timor Timur yang diterbitkan PBB.

"Dengan komposisi tim semacam ini, langkah Jokowi tidak akan memperoleh legitimasi publik dan pengakuan internasional. Langkah ini hanya akan mencetak prestasi absurd bagi Jokowi sekaligus berpura-pura bertanggung jawab," ucapnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyampaikan dua hal terkait upaya penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu dalam Pidato Kenegaraan Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2022). Dua hal tersebut adalah RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang dalam proses pembahasan; dan Keputusan Presiden Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah ditandatangani.

Tetapi faktanya, menurut Hendardi, Keppres tersebut baru ditandatangani tanggal 26 Agustus 2022. Sekalipun ini merupakan ketidakjujuran teknis, tetapi jelas menggambarkan bahwa kehendak pemutihan pelaku pelanggaran HAM bukan sepenuhnya datang dari diri Jokowi, tetapi dari orang-orang di sekeliling Jokowi yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM masa lalu.

Selain itu, lanjut Hendardi, penegasan bahwa cakupan peristiwa yang akan diselesaikan secara nonyudisial ini berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM hingga tahun 2020 menunjukkan ketidakpatuhan Jokowi pada mandat UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang memerintahkan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen. Tidak ada ruang bagi Komnas HAM maupun Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial.

Hendardi mengeklaim, basa basi penuntasan pelanggaran HAM sudah tergambar jelas pada tubuh pemerintahan Jokowi. Pelanggaran HAM di Paniai, yang Rabu (21/9/2022) ini dimulai persidangannya di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, telah menjadi alarm serius bahwa politik penegakan HAM di Indonesia mengalami kebuntuan.
 

"Bagaimana mungkin, peristiwa pelanggaran HAM berat yang syarat utamanya adalah sistematis, meluas, dan massif, tetapi hanya mampu menjerat satu orang purnawirawan, yang juga hanya sebagai seorang penghubung di Kodim 1705/Paniai?" kata Hendardi mempertanyakan.

 

(dkd)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.