Indonesia Darurat Peradaban Hukum, Prof Gayus Lumbuun: Reformasi Hukum Sangat Mendesak

Pakar hukum Prof Gayus Lumbuun. (foto: dok.unkris)

JAKARTA -- Reformasi hukum yang diperintahkan Presiden RI Joko Widodo kepada Menko Polhukam Mahfud MD perlu dipahami secara konkret sebagai mereformasi hukum di bidang peradilan. Pasalnya, dari peradilan ukuran hukum itu ditegakkan melalui putusan-putusannya.

"Memang tidaklah mudah untuk membongkar dan membenahi lembaga peradilan yang selalu berlindung dengan dalih independensi hakim yang seolah-olah tidak dapat disentuh oleh kekuasaan lainnya termasuk Presiden sebagai Pimpinan Tertinggi di Negara RI,” ujar pakar hukum sekaligus Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun dalam Seminar Nasional Darurat Peradaban Hukum yang digelar Unkris bekerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Rabu (19/10/2022)

Menurut Prof Gayus, fakta tertangkapnya seorang hakim agung melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini merupakan pukulan telak dan berat terhadap lembaga puncak dari benteng keadilan Indonesia. Belum lagi fakta-fakta bahwa 85 hakim dari pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) telah dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial (KY) pada rentang waktu antara Januari hingga November 2021. “Jumlah tersebut akan bertambah pada tahun 2022 ini,” jelas dia.

Situasi darurat peradaban hukum ini, lanjut Prof Gayus, akan menimbulkan kerugian masyarakat banyak, baik di dalam maupun di luar negeri dalam kaitan dangan investasi. "Sengketa hukum di pengadilan dengan fakta pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur peradilan juga akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia akan menurun," kata dia mengingatkan.

Karena itu, kata Prof Gayus, reformasi hukum menjadi sangat mendesak dilakukan dan ini menjadi kewenangan Presiden RI. Berdasarkan konsep negara hukum yang berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, bentuk negara presidensial menempatkan Presiden RI sebagai pimpinan tertinggi negara hukum. "Ini memberikan kewenangan kepada Presiden RI untuk melakukan reformasi hukum,” ucap dia.

Di lingkungan peradilan dengan Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga tertinggi, kata Prof Gayus, telah dibuat road map sebagai Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035. "Namun langkah tersebut tidak mampu meningkatkan kualitas hakim termasuk hakim agung."

Oleh karena itu, sambung Prof Gayus, peran strategis presiden sebagai kepala negara merupakan konsekuensi sistem presidensial yang menempatkannya sebagai tokoh sentral dalam sistem kenegaraan RI. Hal tersebut juga dikuatkan dengan kewenangan presiden saat ini dalam membentuk pengadilan-pengadilan dan pengangkatan/pemberhentian hakim dan hakim agung.

Menurut Prof Gayus, ada dua kebijakan Presiden RI sebagai arti konkretnya reformasi hukum yang bisa dilakukan dalam menghadapi darurat peradaban hukum. Pertama, dengan melakukan evaluasi hakim-hakim di semua tingkatan pengadilan dari PN, PT, dan MA untuk dipilih hakim-hakim yang baik tetap dipertahankan, sementara yang tidak baik diganti. "Hasil proses evaluasi ini Indonesia akan memiliki wajah baru peradilan."

Kedua, lanjut Prof Gayus, perlu dibentuk lembaga eksaminasi terhadap putusan-putusan pengadilan yang menimbulkan kerugian akibat putusan yang dihasilkan oleh penyimpangan hakim, baik yang OTT oleh penegak hukum lainnya maupun yang ditemukan oleh KY. "Lembaga eksaminasi ini perlu dilakukan sebagai bentuk kontrol publik yang bisa memberi keadilan pada korban penyimpangan oleh hakim dan aparatur peradilan atas penggunaan kekuasaan yang berlindung dengan dalih indipendensi hakim," tegas dia.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.