Kompleksitas Dunia Modern dan Solusi Islam (Bagian III)

Imam Shamsi Ali. (foto eramuslim.com)

Oleh Imam Shamsi Ali *)

Semakin termarjinalkannya kesadaran manusia tentang Tuhan atau tepatnya marjjnalisasi nilai-nilai ketuhanan (kefitrahan/kesucian) dalam hidup manusia menjadikan manusia semakin tidak sadar diri. “Mereka lupa Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri” (Alquran).

Ketidaksadaran diri sebagai manusia yang secara esensial (mendasar) memiliki kefitrahan tadi menjadikan manusia semakin bingung dan kacau balau dalam cara pandang (mindset) maupun perilaku kehidupannya. Yang benar menjadi salah dan buruk. Yang salah boleh jadi dianggap benar dan baik.

Satu di antaranya adalah bagaimana manusia dalam dunia “so called modern” saat ini memandang konsep keluarga. Bahwa pandangan tentang dan karakter dalam berkeluarga berubah secara mendasar. Konsep dasar keluarga menusia seperti pada semua ajaran agama-agama telah bergeser, bahkan terancam (being threatened).

Pergeseran atau ancaman kepada konsep keluarga di dunia modern itu dapat terlihat pada segala aspeknya. Konsep perkawinan atau pernikahan yang secara tradisional dikenal antara seorang pria dan wanita terancam dengan hadirnya apa yang disebut “universal marriage” dengan dasar “universal love” (cinta universal atau cinta lintas batas).

Akibatnya hubungan sesama jenis bukan lagi dianggap salah dan dosa. Sebaliknya bahkan menjadi bagian dari “basic human rights” (hak asasi mendasar manusia/HAM). Praktiknya dianggap sebagai bagian mendasar dari “freedom of choice” (kebebasan memilih) atau “freedom of expression” (kebebasan berekspresi).

Oleh karena hubungan sesama jenis ini yang terimplementasi dengan apa yang disebut “same sex marriage” (perkawinan sejenis), bahkan telah diformalkan (disahkan) dengan perundang-undangan, dari hari ke hari seolah menjadi pandangan “mainstream” dunia dalam mendefinisikan keluarga (khususnya di dunia so called Barat). Akibatnya setiap pandangan oposisi kepadanya dianggap melawan hukum dan nilai-nilai universal (kebebasan dan HAM) tadi.

Ancaman kepada tatanan keluarga dunia modern itu bahkan terjadi kepada upaya meruntuhkan institusi pernikahan. Pertanyaan nakal anak-anak muda seperti “emangnya dengan kata-kata: I do” dalam acara pernikahan menjadikan hubungan suami istri berbeda dari yang tidak?”. Hal itu menggambarkan bahwa pemahaman keluarga tidak lagi terikat oleh institusi pernikahan. Itulah yang kita saksikan di kehidupan sebagian selebriti saat ini.

Contoh terdekat adalah bintang sepak boleh Cristiano Ronaldo yang telah memilki beberapa anak dari “pacarnya”, Georgina Rodriguez. Syukurlah berita terakhir menyebutkan jika dengan diterimanya menjadi anggota klub sepak bola Arab Saudi, Al-Nasar, Ronaldo segera akan menikahi pacarnya di Riyadh. Mungkin bagian dari jalan kebaikan bahkan hidayah baginya.

Ancaman lain kepada institusi pernikahan dunia modern adalah hadirnya konsep-konsep aneh dalam cinta. Salah satunya adalah apa yang dikenal dengan cinta “silang”. Di mana sepasang suami-istri boleh saja mencintai satu pasangan yang lain. Suami mencintai istri orang. Dan orang itu mencintai istrinya. Demikian pula istri masing-masing mencintai suami-suami tersebut. Jahatnya, konsep ini tidak terhenti pada batas perasaan. Tapi menjadi praktik hidup di mana mereka bisa saja melakukan hubungan suami istri silang.

Generasi terabaikan

Selain pada konsep dan hubungan suami-istri dan pernikahan dalam dunia modern saat ini, ancaman itu juga sangat jelas pada sisi anak/keturunan. Dalam hal ini saya tidak berbicara tentang isu akidah atau agama. Tapi secara umum anak-anak menghadapi permasalahan mendasar dalam dunianya.

Keterbukaan dunia dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi, menjadikan anak-anak terekspose pada dunia yang boleh jadi secara mendasar sangat berbahaya bagi perkembangan dan “well being” (kesejahteraan) mereka. Dari ancaman moralitas (pornography misalnya) hingga ke tekanan mental karena media sosial dengan segala hiruk pikuknya menjadikan sebagian besar anak yang tertekan dan kehilangan jati dirinya.

Belum lagi realita di Amerika Serikat, misalnya, yang mengatakan bahwa 50 persen lebih anak-anak (generasi muda) merasa kesepian (lonely generation). Bahkan 2/3 persen atau 2 dari 5 generasi muda di Amerika Serikat merasa hidup tanpa makna atau tujuan yang pasti.

Akibatnya anak-anak atau generasi muda ini memiliki perasaan marah (angry) dan cenderung putus asa. Walhasil berbagai kekerasan termasuk penembakan menjadi pemandangan umum di negara yang merasa istimewa (exceptional) ini. Indikasi itu nampak pada kecenderungan anak-anak muda bermain game atau mendengarkan musik-musik yang bernada keras. Bahkan indikasi itu juga terlihat pada perilaku anak remaja kepada orang tuanya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh perusahaan internasional di bidang kesehatan bernama Cigna pada tahun 2019, disebutkan bahwa salah satu penyebab dari generasi kesepian (lonely) dan marah (angry) itu karena mereka merasa terabaikan. Perhatian dan kasih sayang orang tua mereka rasakan sangat minim.

Kesimpulan dari semua itu adalah jika suami-istri dan anak-anak telah mengamami kekacauan hidup seperti di atas, maka tentunya institusi keluarga telah porak poranda. Dan dalam sebuah bangsa, bagaimanapun hebatnya, jika institusi keluarga rusak, maka bangsa itu dapat dikategorikan “a fail nation” (bangsa yang gagal).

Lalu apa solusi Islam menghadapi realita dunia modern ini? (Bersambung….).

* NYC Subway, Amerika Serikat, 3 December 2023


*) Presiden Nusantara Foundation

 

Baca juga artikel terkait ini:

- Kompleksitas Dunia Modern dan Solusi Islam
- Kompleksitas Dunia Modern dan Solusi Islam (Bagian II)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.