Republika dan Jurnalisme Cetak Menuju Senjakala

Harian Republika. (foto: republika.co.id)


Oleh Nestor Rico Tambun *)

Harian Republika menghentikan terbitan edisi cetak sejak 1 Januari 2023, setelah berkiprah 30 tahun kurang empat hari. Republika terbit perdana pada 4 Januari 1993. Selanjutnya, Republika akan beralih penuh ke versi platform digital melalui republika.co.id, republika.id, dan akun-akun digital lain, termasuk aneka akun media sosial.

Penghentian penerbitan Republika cetak ini menjadi bukti senjakala jurnalisme cetak itu nyata. Media digital (online) dengan cepat menggerus surat kabar, majalah, tabloid, bahkan juga buku. Republika menyusul banyak media terkemuka yang sudah lebih dulu berhenti terbit. Koran harian nasional terakhir yang berhenti terbit adalah Suara Pembaruan, Koran Tempo, dan Indo Pos.

Suka atau tidak, harus diakui kehadiran Revolusi Industri 4.0, kemajuan teknologi digital melahirkan berbagai inovasi hebat, namun juga menghadirkan disrupsi-disrupsi, termasuk dalam jurnalisme. Perkembangan teknologi internet melahirkan cyber media. Media online membuat orang bisa membaca berita dari gadget. Tiba-tiba mendapatkan informasi dari media cetak dianggap basi karena media online lebih cepat dan praktis.  

Titik-Titik Senjakala Jurnalisme Cetak

Barangkali sebagian orang masih terpana dengan sunset jurnalism, senjakala jurnalisme cetak yang datang begitu cepat. Banyak orang mengira “kekalahan” itu tidak seharusnya secepat ini, dan mempertanyakan di mana letak kekalahan itu.

Inilah beberapa faktor kontras yang dianggap sebagai titik kunci dari kelemahan media cetak sekaligus keunggulan media online.

• Kualitas versus Kecepatan Realtime
Kelebihan media cetak terletak pada kualitas konten. Isi yang lengkap dan penulisan yang baik, sesuai jenis media dan karakter masing-masing. Media online mengandalkan kecepatan. Berita tidak (belum) lengkap, tapi realtime.   

• Batas Geografis versus Borderless
Media cetak dibatasi jarak dan wilayah geografis. Dibutuhkan waktu untuk menyalurkan media (informasi) sampai ke konsumen. Semakin jauh, semakin ke pelosok akan butuh waktu lebih lama. Publik media digital borderless, tidak dibatasi tempat. Di Jakarta atau di pelosok Aceh, atau Papua, bisa mendapatkan informasi yang sama dalam waktu yang sama.

• Homogen versus Multi-kanal
Isi media cetak umumnya homogen, ada surat kabar umum, majalah ekonomi, tabloid olahraga, majalah wanita, dan sebagainya. Media digital bisa memuat segala jenis isi dan topik tulisan, dengan membuat banyak, bahkan sampai puluhan kanal jenis berita (tulisan).

• Tekstual versus Hiperteks
Isi media cetak hanya berbentuk teks (naskah) dan foto. Isi media digital umumnya hyperteks. Ada teks, foto, video, infografis, dan dilengkapi dengan link ke berita dan media lain.

• Single Platform versus Multi-platform
Media cetak berbentuk satu platform, surat kabar, tabloid, atau majalah. Media digital bisa terdiri dari beberapa platform, termasuk media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tik-Tok, Telegram, dan sebagainya.

• Satu Arah versus Interaktif
Informasi/komunikasi media cetak bersifat satu arah. Redaksi memproduksi berita dan tulisan, dan publik menikmati. Dalam media digital, konsumen bisa berinteraksi, memberi reaksi atau opini terhadap berita.

• Konsumen versus Prosumen
Pembaca media cetak cenderung hanya sebagai konsumen, menerima dan menikmati berita (tulisan) yang disajikan redaksi. Dalam media digital, selain melakukan interaksi, bisa memberikan dan jadi produser informasi. Jadi produser sekaligus konsumen (prosumer) informasi.

• Kredibilitas versus Kepentingan Pragmatis
Pilihan membaca media cetak karena kredibilitas media dan isinya. Publik media online, seperti kecenderungan masyarakat digital, tidak mencari liputan yang baik dan bermutu, tapi isi yang ia suka atau sesuai dengan selera (kepentingannya).

Apa boleh buat, suka atau tidak, kelahiran cyber journalism dan realitas seperti di atas memaksa dunia jurnalisme harus merumuskan dan mencari kembali model penyajian berita. Cara penyampaian berita dengan cara konvensional tiba-tiba tidak relevan lagi. Media cetak konvensional seperti surat kabar, tabloid, majalah, bahkan juga media elektronik seperti televisi terpaksa meninjau kembali cara mereka menyajikan dan menjual informasi. Konvergensi media menjadi keniscayaan.

Tapi ternyata konvergensi, jurnalisme multi-platform pun tak bisa berjalan seimbang. Jurnalisme cetak menuju senjakala….

Simpang-Siur Jurnalisme Online

Bagi generasi 1970 – 1980-an, masa era emas media cetak di Indonesia (era 1990-an mulai dirongrong televisi swasta), mungkin terasa ironis, media-media cetak terkemuka yang dulu popular kini hanya ada dalam bentuk online, bahkan sudah tinggal nama.
 
Tapi realitas ini harus diterima. Jurnalisme cetak rasanya tidak mungkin kembali, karena kertas pun makin langka dan harganya mahal (tapi buku, sebagai sumber ilmu dan pengetahuan mestinya tetap dijaga bisa terbit). Media digital dan online tak mungkin dibendung.  

Persoalannnya, sesungguhnya jurnalisme online belum memberi solusi baru. Media online dan digital, dalam beberapa sisi, justru membuat jurnalisme jadi makin simpang-siur.
 
Di mana letak kesimpang-siuran itu? Platform media online membutuhkan viewer. Tak ada nilai berita kalau tak ada yang meng-klik. Media online menjadikan kecepatan dan jumlah klik sebagai paradigma utama dalam pemberitaan. Karena mengejar aktuliatas, media-media online sering mengabaikan akurasi. Kerap menyajikan data yang salah -  terkadang bahkan fatal - atau menyajikan berita yang tidak etis dan tidak relevan bagi publik.
 
Terasa menyedihkan salah satu berita viral di media online Indonesia di akhir tahun 2022 adalah kisah konyol seorang istri yang bercerita suaminya selingkuh dengan ibu kandungnya. Berita itu berasal dari berita viral di medsos. Seberapa penting, atau berguna  berita itu bagi masyarakat? Tidak penting. Tapi pasti banjir klik.
 
Demi klik, media-media online juga terjebak pada trik umpan klik (clickbait). Menggunakan judul-judul berita yang bombastis dan sensasional, kadang penuh asumsi - yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip jurnalisme - untuk mengundang klik tayang (click through). Judul berita yang seharusnya singkat, padat, dan menggambarkan isi, malah sengaja diperpanjang, kalau perlu jadi dua kalimat, dengan memasukkan unsur asumsi dan sensasi.
 
“BCL Sangat Menyesal, Inilah yang Terjadi Sebelum Ashraf Meninggal.” Apa isi beritanya? Ya, Bunga Citra Lestari shock karena kematian suaminya begitu tiba-tiba. Tidak ada isi berita yang menjelaskan kejadian apa yang terjadi sebelum Ashraf meninggal. Begitulah trik clickbait, mengeksploitasi kesenjangan keingintahuan (curiosity gap) pembaca.  

Media saat ini sering lupa bahwa kecepatan sebaiknya tidak harus mengalah dari akurasi. Tiada guna berlomba cepat, jika yang disajikan tidak akurat dan menyesatkan masyarakat. Verifikasi adalah jalan menuju akurasi. Apa gunanya berita kalau tak memberi informasi dan pemahaman yang baik?

Puncak dari ketergesaan dan nafsu clickbait ini banyak media online yang terjebak dalam berita bohong atau hoax.  Memuat berita yang seolah benar karena mengandung potongan-potongan fakta, tapi sesungguhnya tidak benar dan mengusung misi-misi tertentu yang tidak baik bagi publik.

Jurnalisme yang semestinya menjadi pelita pembawa terang, terbalik jadi sumber kegelapan. Kelengkapan unsur berita, verifikasi (cover both side), sebagai tonggak “kebenaran” dan “kepercayaan” terhadap jurnalisme diabaikan.
 
Elemen Dasar Jurnalisme


Kita harus jujur, kini manusia menjalani hidup dan budaya yang berbeda. Dunia informasi simpang-siur, karena informasi dari media online yang hiperteks dan realtime saling timpang-tindih dengan media-media sosial dan personal seperti Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, Whatsapp, blog, dan sebagainya yang saling me-link. Manusia seperti dikepung informasi, karena setiap orang jadi produser sekaligus konsumen (prosumer) informasi.

Seperti dikemukakan Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise (Matinya Kepakaran)”, kelimparuahan informasi era digital ini ternyata tidak berbanding lurus dengan kedewasaan masyarakat dalam bertindak dan mengambil keputusan. Kemudahan berkomunikasi tidak membuat masyarakat semakin terbuka nalar kritis, selidik terhadap fakta, dan semakin rasional dalam bersikap. Limpah-ruah informasi itu justru menjerumuskan masyarakat dalam “epidemi irasionalitas”.  

Yang terjadi justru gejala akal sehat dan nalar rasional yang melemah, bahkan hilang. Orang percaya hoaks. Sikap tidak ditentukan oleh fakta dan data, melainkan oleh keyakinan dan kepentingan pragmatis. Orang serba terburu dalam berujar dan bersikap, tanpa memikirkan kebenaran. Sikap apriori dan intoleran kepada orang lain berkembang subur.

Di sini, mestinya pers mestinya berperan sebagai pemberi informasi yang baik. Informasi yang memberi pengetahuan dan pemahaman yang baik. Itulah yang dibutuhkan publik dari jurnalisme. Platform media bisa berbeda atau berganti, tapi fungsi, prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan etika jurnalisme mestinya tetap sama dan dijaga, seperti dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku "The Elements of Journalism".

Bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga masyarakat. Inti jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Jurnalis harus tetap independen dari sumber-sumber yang diliput. Jurnalis harus jadi pemantau yang bebas terhadap kekuasaan. Harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik. Membuat yang penting jadi menarik dan relevan. Menjaga agar berita proporsional dan komprenhensif. Terakhir, jurnalis harus mendengar suara hati atau nurani.

Masyarakat membutuhkan liputan-liputan yang mencerahkan dan mencerdaskan, dan menyentuh, yang bisa menjadi ru¬jukan bagi publik. Platform media bisa apa saja, tapi perlu menampilkan berita atau liputan yang mampu menjadi moral compass dalam simpang-siur informasi yang begitu deras dan kadang menyesatkan.  Jurnalistik online juga harus memikirkan berita (tulisan) yang memberi makna dan kompas moral itu.

Jurnalisme cetak boleh mati, tapi jurnalisme tidak boleh dibiarkan mati dalam ketersesatan, karena masyarakat membutuhkan. Kita semua, pemerintah maupun masyarakat,  membutuhkan pers yang baik untuk menjaga informasi yang sehat. Berita sebombastis apapun, seviral apapun, pada akhirnya hanya seperti busa-busa sabun, yang menggelembung, kemudian pecah dan lenyap, jika tak memberi makna.

Depok, 2 Januari 2023



*) Pemerhati Media

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.