Tujuh Pilar Kekuatan Hidup Manusia

Imam Shamsi Ali. (foto: eramuslim.com)

Oleh Imam Shamsi Ali *)

Di antara tantangan mendasar yang dihadapi oleh manusia dalam hidup masa kini adalah pandemi penyakit mental (mental health issues) yang semakin tak terkontrol. Di rumah-rumah sakit Amerika Serikat (AS), departemen penyakit jiwa (psychiatric department) menjadi departemen yang selalu penuh.

Ambillah salah satu contoh rumah sakit di kota New York, Bellevue Hospital, sebagai salah satu rumah sakit terbesar dan tertua di kota ini. Ada lima lantai yang dikhususkan bagi mereka yang menderita penyakit mental. Dan rata-rata di semua lantai itu “over crowded” (membludak).

Belum lagi ketika kita berjalan-jalan menelusuri pusat Kota Manhattan, rimba hutan beton, dengan gedung-gedung pencakar langit itu. Hampir di berbagai sudut jalan ada saja orang-orang yang berprilaku aneh. Ada yang ketawa sendiri, berbincang dengan diri sendiri, bahkan berteriak melampiaskan amarah entah karena apa dan kepada siapa.

Jangan pula terkejut ketika Anda naik kereta bawah tanah (subway) di kota dunia ini. Ada-ada saja perilaku aneh dan terkadang lucu, yang terjadi di atas kereta. Persis seperti pemandangan di jalan-jalan kota Manhattan di atas.

Semua itu kemudian diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang justru memperburuk situasi. Republikan mendukung kebebasan memiliki senjata api. Pembunuhan pun hampir terjadi setiap hari. Demokrat di sisi lain atas nama kebebasan mendukung legalisasi mengkomsumsi ganja. Keduanya telah terbukti membawa musibah besar dalam kehidupan manusia.

Anehnya lagi para pengambil kebijakan di AS hanya concern dengan keadaan, dengan upaya solusi yang bersifat sesaat. Solusi yang bagaikan penderita kanker yang disuguhi setiap hari obat peredam rasa sakit (pain killer). Upaya pemerintah pun hanya menyediakan fasilitas tempat tinggal dan kebutuhan material apa adanya.

Yang lebih buruk lagi mereka (penderita penyakit mental) itu di rumah-rumah sakit pada umumnya hanya disuguhi obat-obat penenang. Yang pada akhirnya menjadikan mereka semakin tergantung kepada obat-obat penenang sementara itu.

Masalah kejiwaaan

Seperti pada namanya masalah ini adalah penyakit “mental” (mental sickness). Penyakit yang kaitannya ada pada jiwa manusia.

Sesungguhnya ini memang sangat tidak mudah. Tidak bisa terselesaikan tanpa keinginan untuk menggali lebih jauh akar permasalahannya. Karena semua ini merujuk kepada sesuatu yang paling mendasar pada diri dan kehidupan manusia. Kata kuncinya: hati (qalbu).

Ketika kita mendalami apa kira-kira akar permasalahannyasSehingga jiwa manusia begitu goncang dan mengalami ketidakstabilan yang kronis. Pastinya akan kita temukan sumber permasalahan yang bersifat multidimensional. Tapi yang paling esensi (mendasar) di antaranya adalah goncangan batin karena kerasnya tekanan kehidupan (life pressure) dunia yang memang menjadi bagian dari karakter dunia materialis-kapitalis.

Ringkasnya dunia modern dengan segala kemajuan fisikal materialnya tidak saja gagal menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Justru telah menjadi beban berat bagi kehidupan manusia. Manusia menjerit mencari ketenangan dengan berbagai ambisi materialnya. Tapi yang didapatkan justru tekanan yang membawa kepada penyakit mental yang kronis.

Di sìnilah harusnya Islam hadir sebagai “rahmah” (blessing), manawarkan solusi bagi manusia. Solusi itu terangkum dalam satu kata: hidayah (petunjuk).

Inilah yang disampaikan oleh Allah kepada Adam dan Hawa, seperti yang diceritakan di di Surah Al-Baqarah: 38: “Dan turunlah kalian darinya (surga). Dan jika suatu ketika datang kepadamu dariKu hidayah (petunjuk), maka barangsiapa yang ikut kepada petunjukKu maka tiada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih”.

Rincian arahan atau petunjuk (Hud Syah) Islam dalam menyikapi tekanan hidup itu dapat dilihat pada langkah-langkah berikut ini:

Satu, bahwa alam semesta secara menyeluruh, di mana manusia menjadi bagian kecil darinya berada di dalam satu kontrol tunggal (Al-Mulk: 1).

Dua, bahwa segala yang di ada di alam semesta, termasuk segala dinamika kehidupan manusia menjadi bagian dari “khalq Allah” (kreasi Allah). Dan kreasi Allah pastinya indah dan punya makna (Al-Mulk: 2).

Tiga, bahwa tabiat kehidupan dunia memang identik dengan “ujian” (ibtilaa). Karenanya warna warna kehidupan bersifat alami dan merupakan bagian dari ujian hidup (Al-Mulk: 2)

Empat, bahwa tugas manusia dalam hidup hanyalah “melakukan” (walking the walk). Proses menjalani hidup itulah ibadah yang dinilai. Sehingga segala proses dan dinamikanya menjadi nikmat (At-Taubah: 105).

Lima, bahwa keterbatasan manusia dalam memahami segala sesuatu yang terjadi dalam hidup adalah tabiatnya. Dan disadari bahwa penilaian manusia seringkali terperangkap kepada rasa dan kalkulasi manusiawi yang serba-terbatas dan relatif (Al-Baqarah: 216).

Enam, bahwa akhir dari proses (ikhtiar) merupakan ranah kekuasaan (qadar) Allah. Yang pastinya baik dan bernilai. Karenanya optimisme menjadi karakter dasar dalam menyikapi kehidupan. (As-Shof: 14).

Tujuh, bahwa kesuksesan sejati manusia itu bukan pada kehidupan dunia (proses). Justru kesuksesan sejati terjadi setelah proses atau perjalanan hidup dunia berakhir.  Karenanya dengan iman/keyakinan apapun wujud kehidupan dunia saat ini, ada yang lebih menjanjikan. (Ali-Imran: 185).

Ketujuh poin itu menjadi resep utama Al-Quran dalam menghadapi berbagai tekanan hidup dalam dunia yang semakin materialis dan kompetitif. Ketika manusia gagal paham tentang berbagai realita di atas, maka yang terjadi adalah kegoncangan batin yang berakibat kepada berbagai penyakit mental kronis.

Minimal tekanan hidup yang tidak diimbangi dengan “hidayah” tadi akan menimbulkan "sakit hati"... sakit hati ketika orang lain di sekitarnya karena keutamaan-keutamaan tertentu yang Allah karuniakan kepadanya.

Semoga Allah menjaga...Amiin!

Jamaica City, New York, Amerika Serikat, 21 Januari 2023



*) Presiden Nusantara Foundation

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.