Pemerintah Terus Pantau Pemulihan 41 Santriwati Korban Kekerasan Seksual di Ponpes NTB

Korban kekerasan seksual/ilustrasi. (foto: pixabay)

JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) akan terus memantau upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan para korban kasus kekerasan seksual yang dilakukan tersangka LMI (43 tahun) dan HSN (50), pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Kami akan terus memantau upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang sedang dilakukan oleh Dinsos PPPA bersama UPTD PPA Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Timur, LBH Apik, serta lembaga pendamping korban," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, Sabtu (27/5/2023), seperti dikutip Antara.

Nahar berharap polisi dapat terus mendalami dan mengembangkan kasus ini, termasuk membuka layanan pengaduan bersama untuk mengantisipasi kemungkinan ada korban lainnya yang belum berani melapor karena berbagai alasan.

LMI dan HSN diduga melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santriwati dalam rentang waktu tertentu hingga tahun 2023 dan tiga korban di antaranya membuat laporan polisi. Saat ini, LMI dan HSN ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur.

Hukuman maksimal yang menanti tersangka dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

KemenPPPA berharap penegakan hukum kasus ini juga menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di mana hak-hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi sebagai korban kekerasan seksual.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menekankan agar polisi menindak tegas siapapun pelaku kekerasan seksual tersebut, apalagi bila tindakan tak senonoh itu dilakukan oleh orang yang paham agama, bahkan menggunakan agama sebagai modus pelepasan hawa nafsunya.

“Setiap orang yang melakukan kekerasan seksual, siapapun dia harus diproses untuk diseret kemeja hijau untuk diadili, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang sangat hina dan dimurkai oleh Tuhan,” kata Buya Anwar, Sabtu (27/5/2023).

Buya Anwar berharap agar pelaku mendapatkan hukuman yang seadil-adilnya. Apalagi pelaku itu telah memanfaatkan agama untuk kepentingan memuaskan hawa nafsu bejatnya. “Agar pelaku dijatuhi hukuman yang seadil-adilnya. Apalagi yang bersangkutan telah memperalat agama untuk kepentingan pemenuhan nafsunya. Jadi yang bersangkutan bisa dijerat dengan tuduhan berlapis,” kata dia menegaskan.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.