Pernyataan Zulhas yang Menambah Panik Jokowi

M Rizal Fadillah. (Foto: muhammadiyah jawa barat)


Oleh M Rizal Fadillah

Di luar dugaan Presiden RI Jokowi dan pendukung Prabowo Subianto, Ketum PAN yang sekaligus Menteri Perdagangan (Mendag) RI Zukifli Hasan atau Zulhas membuat blunder. Akibat pendewaan kepada Prabowo, candaan soal fatihah dan tahiyyat menimbulkan reaksi dahsyat.

Zulhas dianggap menista agama. Pengaduan ke aparat penegak hukum pun dilakukan. Hal ini buruk bagi Zulhas, PAN, Prabowo, dan tentu saja bagi Jokowi.

Sejak PAN masuk menjadi koalisi pemerintah, maka Zulhas menjadi bagian aliran darah Jokowi. Imbalan bagi Zulhas di samping terhindar dari status pasien rawat inap juga jatah menteri didapat. PAN bersama Golkar dan Gerinda adalah pendukung utama Prabowo-Gibran. Zulhas ikut menjadi penari 'gemoy'. Serangan pada Zulhas atas kasus penistaan agama menjadi kepanikan baru Jokowi.

Sejak mengambil pilihan ikut campur terang terangan dalam pilpres sebenarnya Jokowi mulai memasuki "Panic Room". Ruang di mana ketakutan menjadi kondisi diri.

Melihat kamera ke luar akan gerak gerik dari pengancam yang mencarinya. Sebagaimana dalam film "Panic Room" ruangan itu sebenarnya terlindungi dengan sistem keamanan ekstensif berdinding beton dan baja, namun upaya-upaya untuk menerobos membuat Meg dan Sarah ketakutan hebat.

Sebelum mendeklarasikan "cawe cawe" Jokowi merasa telah kehilangan Ganjar yang tercuri di Batu Tulis. Dengan memegang Prabowo, maka Jokowi mengambil risiko buruk. Megawati ngambek. Risiko buruk terberat adalah memaksa anaknya Gibran berpasangan dengan Prabowo.

Kini musuh Jokowi bukan hanya PDIP dan Megawati tetapi juga oposisi dan rakyat yang anti KKN. Rakyat sudah muak dengan suguhan korupsi kekuasaan dan nepotisme.

Pasangan Ganjar-Mahfud yang "berkoalisi" dengan pasangan Anies-Muhaimin melawan Prabowo-Gibran tidak bisa dianggap enteng bagi Jokowi. Meskipun kecurangan telah dirancang. Sadar atau tidak Prabowo-Gibran telah distempel menjadi pasangan yang "paling menyebalkan", "paling mengada-ada" dan "paling tidak diharapkan".

Di samping terakhir kasus "penistaan agama" yang menimpa Zulhas, ada lima isu dan masalah politik yang terus bakal membuat Jokowi panik, yaitu:

Pertama, politik dinasti atau nepotisme. Ketika Jokowi, Gibran, Kaesang, Anwar Usman, dan Bobby Nasution diserang sebagai keluarga musuh rakyat, maka beban sangatlah berat. Proteksi dan penyelamatan keluarga menjadi prioritas. Akibatnya hancur reputasi dan konsentrasi.

Kedua, pembuktian ijazah palsu yang sulit diantisipasi. Pengadilan sudah menjadi tontonan rakyat bahwa betapa berbelit dan sulit untuk menyembunyikan kebenaran. Ijazah Jokowi semakin lusuh dan sudah dekat untuk "dirobek" dan dibuang ke tempat sampah. Jokowi mulai melamun dan menangisi nasib.

Ketiga, gunjingan pada Gibran akan terus berlanjut dan menghebat. Kampanye buruk akibat kebodohan dan, meminjam istilah Rocky Gerung, kedunguan. Debat esok ditunggu. Kejutan apa yang terjadi? Yang jelas upaya menghilangkan sesi debat telah gagal. Ayah bunda, Jokowi dan Iriana, panik. Anak jadi dagelan bergelar sarjana domestik "bocil", "belimbing sayur" dan "samsul".

Keempat, Prabowo jagoan Jokowi semakin tidak berwibawa. Faktor emosi dan tingkah gemoy geboy menunjuk pada usia yang semakin senja. Soal "endasmu etik" telah menjadi etika baru dalam berpolitik jahiliyah. Membela Putusan MK yang meloloskan Gibran membuat etik hilang dari endas.

Kelima, kepanikan global menghadapi "plototan" China. Pengabdian total Jokowi tidak menghasilkan bukti. Rempang gagal, IKN masih taruhan, Prabowo-Gibran bukan kekuatan. "Gender" Prabowo dipertanyakan antara China dan Amerika Serikat. China membawa pecut sanksi untuk Jokowi. Ini kepanikan hakiki yang dapat membuat frustrasi bahkan bunuh diri.

Menuju proses pilpres ketenangan, kemantapan, dan keyakinan akan kemenangan diragukan. Pengamat politik Eep Fatah menyebut Prabowo-Gibran dapat kalah dan Jokowi akan jatuh. Itu bukan mimpi apalagi halusinasi, tetapi mendekati realita atau kondisi nyata.

Panik Jokowi bukan karena akan selesai jabatan pada bulan Oktober 2024 tetapi Pilpres Februari 2024 hasil dan suasana yang dapat tidak sesuai dengan misi dan prediksi. Kepanikan Jokowi membuat langkah semakin membabi buta.

Akhirnya Pilpres 2024 justru seakan tanpa keberadaan Jokowi. Jokowi lengser lebih dini.

Bandung, 21 Desember 2023


*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.