Menyikapi Perilaku Oknum TNI yang Mengamuk di Gowa Sulsel: Darurat Revisi UU Peradilan Militer dan Kontrol Senjata Api

Ardi Manto Adiputra. (Foto: Imparsial)

 

Oleh Ardi Manto Adiputra *)


Pada Kamis, 25 September 2025, Praka Situmorang, seorang anggota TNI membawa senjata api laras panjang jenis Pindad SS 2 ke Bank BRI Cabang Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Praka Situmorang sempat melepaskan tembakan yang mengenai tembok Pos Keamanan Bank ketika hendak ditangkap. 

Kejadian ini menciptakan rasa tidak aman di masyarakat. Apalagi belum lama dari peristiwa ini, seorang kepala cabang BRI di Jakarta juga tewas setelah diculik oleh 2 oknum anggota TNI.

Maraknya peristiwa kekerasan TNI di muka publik belakangan menunjukkan problem laten di tubuh TNI yang tidak pernah benar-benar berusaha diselesaikan. Imparsial memandang setidaknya ada 2 masalah laten yang perlu diselesaikan. 

Pertama, sistem pengawasan yang buruk. Keluarnya senjata api beserta pelurunya bukan untuk tujuan tugas TNI menunjukkan tidak adanya pengawasan ketat terhadap penggunaan senjata api milik TNI. 

Akibatnya, seringkali senjata api milik negara ini disalahgunakan untuk tujuan kriminal misalnya dalam kasus pembunuhan bos rental mobil di Tangerang beberapa waktu lalu hingga yang paling parah diperjualbelikan ke Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

Kedua, lemahnya akuntabilitas dan kuatnya budaya impunitas di tubuh TNI. Berulangnya kasus kekerasan TNI di ranah sipil juga tidak lepas dari belum direvisinya Undang Undang (UU) No. 31 Tahun 2000 tentang Peradilan Militer menyebabkan TNI tidak tunduk pada sistem peradilan sipil yang lebih terbuka dan masih mengadili tindak kriminal prajurit TNI di peradilannya sendiri yakni Peradilan Militer.

Padahal merevisi aturan tersebut sudah diamanatkan Tap MPR No. 6 dan 7 Tahun 2000 dan UU TNI itu sendiri. Peradilan Militer yang tertutup di mana jaksa, hakim, dan terdakwa sama-sama anggota TNI seringkali melahirkan impunitas. 

Contoh paling jelas dalam hal ini adalah vonis ringan dua anggota TNI dari Kodim 0204/Deli Serdang, Sersan Kepala Darmen Hutabarat dan Sersan Dua Hendra Fransisco Manalu yang hanya divonis hukuman penjara 2,5 tahun padahal terbukti membunuh seorang anak di Sumatera Utara. 

Bobroknya sistem peradilan militer ini mengakibatkan prajurit TNI yang melakukan kriminal tidak takut lantaran akan diadili oleh TNI sendiri. Selain itu, praktik ini nyata-nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum, khususnya terkait kesetaraan di hadapan hukum.

Imparsial memandang, setiap anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum, seperti dalam kasus penembakan ini, harus diproses melalui peradilan umum. 

Tidak boleh ada pengecualian hukum yang melindungi pelaku hanya karena status keanggotaannya dalam institusi militer. Selama sistem peradilan militer masih digunakan untuk mengadili tindak pidana umum, maka praktik impunitas akan terus berulang dan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Dalam konteks penegakan hukum, keberadaan UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjadi salah satu akar masalah impunitas di tubuh militer. Aturan tersebut masih memungkinkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum untuk diadili melalui peradilan militer, bukan peradilan umum.

Imparsial menilai penggunaan senjata api oleh aparat negara seharusnya dilakukan dengan disiplin tinggi dan bertanggung jawab bukan untuk menakut-nakuti apalagi menyakiti masyarakat. Peristiwa ini memperpanjang catatan kekerasan TNI di masyarakat. Imparsial mencatat dalam kurun waktu 1 tahun setidaknya terdapat 6 kasus kriminal dan kekerasan besar dilakukan anggota TNI, yakni: 

1) Kasus penyerangan kampung dan pembunuhan seorang warga sipil pada November 2024 di Deli Serdang;

2) Kasus pembunuhan bos rental pada bulan Januari 2025 di Tangerang;

3) Kasus Sabung Ayam yang mengakibatkan terbunuhnya 3 anggota Polisi pada bulan Maret 2025 di Lampung;

4) Kasus pembunuhan jurnalis perempuan oleh anggota TNI pada bulan Maret 2025 di Banjarbaru;

5) Kasus penculikan Kepala Cabag BRI Jakarta pada 20 Agustus 2025;

6) Pembunuhan anak di Deli Serdang Sumatera Utara pasa September 2025.


Berdasarkan uraian di atas, Imparsial mendesak kepada:

1. Pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dengan memastikan semua tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI diproses di peradilan umum.

2. Pemerintah dan Panglima TNI untuk melakukan evaluasi ketat dan menyeluruh terhadap penggunaan senjata api oleh prajurit TNI agar tidak lagi terjadi penyalahgunaan yang membahayakan keselamatan rakyat.

Jakarta, 26 September 2025


*) Direktur Imparsial

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.