Tegakkan Supremasi Sipil dan Cegah Darurat Militer: Presiden Harus Evaluasi Seluruh Kebijakan yang tak Pro Rakyat demi Wujudkan Keadilan Sosial

Koalisi Masyarakat Sipil.
 

Oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan *)


Gejolak sosial dalam masyarakat bisa disebabkan banyak faktor. Secara teoritis, konflik dan gejolak sosial dalam masyarakat terjadi karena adanya ketidakadilan ekonomi sosial yang mengakibatkan kesenjangan hidup yang tinggi. Hal ini bahkan dapat berujung pada situasi krisis, bila ketidakadilan ekonomi dan sosial tersebut terjadi bersamaan dengan konflik elite politik dan minimnya ruang dan saluran aspirasi masyarakat. 

Dalam konteks Indonesia, kami menilai gejolak sosial yang terjadi belakangan ini paling tidak disebabkan faktor-faktor di atas. Gagalnya negara untuk memastikan keadilan bagi masyarakat dan memahami penderitaan rakyat telah mengakibatkan terjadinya gejolak sosial itu. Kebijakan negara yang tidak adil seperti menaikan gaji wakil rakyat dan ditambah masalah dalam penanganan aksi massa yang eksesif telah menjadi pemicu terjadinya gejolak sosial tersebut.

Dalam konteks itu, rencana penerapan status darurat sesungguhnya tidak menjawab akar persoalan. Penerapan status darurat jelas tidak diperlukan dan justru akan menambah masalah baru dalam masyarakat. Yang dibutuhkan dalam waktu dekat ini adalah negara segera menghapus kebijakan yang tidak pro-rakyat dan meminta maaf pada masyarakat karena gagal mendistribusikan keadilan kepada rakyat. Selain itu negara juga perlu mengevaluasi penanganan massa ke arah yang lebih persuasif.

Lebih dari itu, pernyataan Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin yang menyatakan bahwa TNI akan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, lalu Polri akan melakukan penegakan hukum merupakan sesuatu yang tidak tepat dan keliru. Secara konstitusional, militer semestinya menjalankan fungsi pertahanan. Oleh karena itu, pernyataan Menteri Pertahanan tersebut tidaklah tepat dan tidak sejalan dengan konstitusi.

Pasal 30 UUD Republik Indonesia (RI) secara jelas menyebutkan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara dan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Pernyataan Menteri Pertahanan tersebut juga berarti bahwa Menteri Pertahanan telah menugaskan TNI dalam urusan keamanan dalam negri. Padahal, urusan keamanan dalam negeri seharusnya berada dalam kendali kepolisian yang dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan. 

Kami menilai kegagalan negara dalam memahami penderitaaan rakyat dan mendistribusikan keadilan untuk rakyat justru ditambah bebannya dengan penerapan status darurat yang memungkinkan negara melakukan tindakan yang lebih eksesif. Harusnya negara melakukan pembenahan dalam dirinya dari penyakit korupsi, kolusi, nepotisme, arogansi, feodalisme, dan pembentukan kebijakan yang tidak berpihak bagi kepentingan masyarakat banyak. 

Atas dasar hal tersebut, kami menolak secara tegas upaya negara untuk menerapkan status darurat di mana militer akan mengendalikan situasi keamanan dalam negeri karena hal tersebut bertentangan dengan konstitusi. 

Presiden tidak boleh memanfaatkan situasi saat ini untuk memperluas kewenangan militer di luar dari ketentuan konstitusi yang dapat memberangus kebebasan sipil dan demokrasi. Presiden seharusnya mengevaluasi seluruh kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat. 

Jakarta, 1 September 2025


*) Koalisi Masyarakat Sipil (Imparsial, PBHI, HRWG, CENTRA Initiative, Raksha Institute, De Jure, Walhi)

- Ardimanto (Direktur Imparsial)
- Julius Ibrani (ketua PBHI)
- Al araf (Ketua Centra Initiative)
- Bhatara Ibnu Reza (Direkter De Jure)
- Wahyudi Djafar ( Direktur Raksa)
- M. Islah (Walhi)
- Daniel Awigra (HRWG).


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.