KPK Sebut Biaya Proses Politik dan Pemilu yang Teramat Tinggi Jadi Pemicu Korupsi
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. (foto: cnn/aditya pradana putra)
JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, tingginya biaya dalam proses politik menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak pidana korupsi. Ia mencontohkan calon yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) membutuhkan modal teramat banyak.
"Sayangnya, demokrasi di Indonesia yang sampai saat ini biayanya masih sangat tinggi mengakibatkan proses politik yang mestinya secara hati nurani kemudian menjadi transaksi bisnis," kata Ghufron dalam webinar "Cegah Korupsi, Bantuan Parpol Jadi Solusi" seperti dipantau dari YouTube StranasPK Official, dikutip Antara, Jumat (16/9/2022).
Menurut Ghufron, versi Kemendagri modal pilkada untuk kabupaten/kota yang pinggiran itu Rp 30 miliar sampai Rp 50 miliar. Di atas itu, yang menengah Rp 50 miliar sampai Rp 100 miliar. "Untuk yang metro tentu sudah di atas Rp 150 miliar," ungkap dia.
Dengan biaya tinggi tersebut, lanjut Ghufron, menjadi pemicu kepala daerah melakukan korupsi guna mengembalikan modal dari pembiayaan saat pencalonan tersebut. "Modal segitu, sementara gajinya kepala daerah kita tahu masih relatif tidak proporsional dengan bebannya. Alhasil, sekali lagi ini mengakibatkan mau tidak mau proses pengembalian modal itu dengan cara korup," jelas dia.
Ghufron mengungkapkan berdasarkan data KPK, ada ratusan kader partai politik (parpol) yang ditangkap KPK. Padahal KPK sesungguhnya tidak ingin penangkapan tersebut terus terjadi.
"Ketika korup maka kemudian 'berkucing-kucingan' dengan KPK. Pemilu melahirkan 300 kader parpol yang duduk di legislatif, yang duduk di kepala daerah sekitar 144. KPK pun sesungguhnya tidak ingin melanjutkan ini semua, tetapi ini tidak akan selesai dengan hanya di tingkat penindakan ditangkap dan ditangkap," ucap Ghufron.
Oleh karena itu, KPK pun mengharapkan dapat tercipta sistem politik yang lebih berintegritas.
"Itu semua awalnya dari kebijakan pembentukan Undang-Undang Parpol baik tentang penggunaan anggaran, bantuannya bahkan sampai tentang sistem politiknya seperti apa. Apakah terbuka, proporsional, atau apapun. Itu semua kan sistem politik pasti ada konsekuensi-konsekuensinya," ujar Ghufron menjelaskan.
(dpy)
Post a Comment