Berkaca Kasus Rian Mahendra

Syaefudin Simo. (foto: istimewa)

Oleh Syaefudin Simon *)


Rian Mahendra, putra Haryanto, pemilik perusahaan bus Haryanto yang terkenal itu, hengkang dari kantor orang tuanya di Kudus, Jawa Tengah. Di berbagai platform sosmed, Rian mengaku dipecat ayahnya di perusahaan oto bus (PO) Haryanto dengan alasan yang tidak jelas. Padahal, ungkap Rian, ia telah berjasa besar mengembangkan perusahaan bus milik keluarganya.

Belakangan ayahnya mengungkapkan mengapa Rian kabur dari kantor pusat bus Haryanto itu. Rian digeruduk investor trading cryptocurrencies (CTC) yang menagih janji profit 20 persen per bulan. Rian pengelola trading itu.

Kata sang ayah, Rian berutang puluhan miliar rupiah kepada para investor. Dan Rian tak mampu membayarnya. Akhirnya Haryanto yang menyelesaikan tagihan para investor tersebut, demi anak. Tapi Rian diberhentikan dari perusahaan keluarga itu.

Ternyata, investasi kripto yang buntung itulah musabab konflik anak-bapak (Rian dan Haryanto) tadi. Untung Rian tidak bunuh diri seperti CM (25 tahun) di Tasikmalaya, Jawa Barat, Februari 2022 lalu. CM, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Tasikmalaya, bunuh diri karena rugi trading dan investasi di CTC. CM kalut karena ia menghimpun investor seperti Rian dengan janji bunga tinggi.

Di tingkat global kasus buntung macam itu menimpa Sam Bankman-Field, raja kripto pemilik platform FTX. Sam bangkrut setelah harga token miliknya anjlok. Anjloknya token FTX itu, berlanjut dengan terjungkalnya harga BTC (Bitcoin) yang sempat menyentuh angka sekitar 13 ribu dolar AS.

BTC dalam dunia kripto, identik dengan dolar AS, mata uang standar global. Bila harga BTC naik (pernah mencapai 60 ribu dolar AS paruh tahun 2021 lalu), hampir semua koin digital naik. Termasuk koin meme semacam Dogecoin. Sebaliknya, bila ada platform besar bangkrut seperti kasus FTX, BTC pun ikut jatuh. Penyebabnya karena kredibilitas CTC tergerus.

Yang jadi soal, valuasi uang kripto saat ini tergantung pada kemauan "paus-paus"  atau bandar-bandar raksasa pemegang koin digital. Terutama BTC.
 
Hingga saat ini, pinjam istilah Warren Buffett (WB), pemilik perusahaan investasi terbesar dunia Berkshire Hathaway, Amerika Serikat (AS) -- uang kripto underlyingnya adalah angin. Berbeda dengan valuta asing yang underlyingnya jelas: kekayaan dan kredibilitas negara terkait.

Kripto? Tak ada. Kecuali kredibilitas orang per orang yang memegang uang digital dalam jumlah raksasa. Makanya, jika "Paus" Elon Musk ingin menaikkan harga uang digital yang dipegangnya, ia cukup bilang -- Tesla bisa dibeli dengan BTC. Sontak harga BTC naik. Elon pun menjual BTC miliknya. Jelas untung besar.   

Mirisnya, dalam trading kripto, permainan paus-paus yang sangat menentukan harga koin itu merugikan ratusan ribu trader imut di seluruh dunia. Celakanya lagi,  permainan harga di bisnis kripto ini sulit dicegah. Dan naifnya, hal itu secara bisnis dan hukum, tak bisa disalahkan. Pinjam istilah pelawak Asmuni Srimulat: Orang kaya tak pernah salah!

Dalam kasus Sam, saat itu "paus-paus kripto" sedang butuh likuiditas. Mereka pun menjual koin yang diholdnya. Termasuk paus Elon Musk.

Dampaknya fantastis! BTC pun jatuh. Banyak pemegang koin bangkrut. Salah satunya Sam Bankman-Fried, pemilik platform FTX tadi. Ia rugi besar.

Parahnya, di samping rugi di kripto akibat turunnya harga BTC, Sam pun tidak jujur. Ia selingkuh. Memakai uang investor untuk pacarnya.

Diam-diam Sam mentransfer dana milik para investor di FTX senilai 10 miliar dolar AS ke perusahaan perdagangan Alameda Research, milik pacar Sam, Caroline Ellison. Akibatnya, likuiditas finansial FTX hancur.

Kontan FTX ambruk. Harta Sam lenyap 94 persen hanya dalam semalam Kamis (10/11/2022). Jelas, raibnya kekayaan Sam senilai 14,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 228 triliun itu karena kredibilitas Sam terpuruk. Harga token kripto FTX milik pacar Caroline itu pun terjungkal.

Sebetulnya FTX nyaris terselamatkan ketika Changpeng Zhao (CZ), warga negara Kanada keturunan Tionghoa pemilik platform trading kripto Binance, mau membelinya. Berita manis sempat menguar. Tapi, CZ pemilik platform trading terbesar dunia itu, urung membeli FTX. Ini akibat kasus selingkuh Sam tadi. Dampaknya FTX makin terpuruk, bangkrut total.

Dari gambaran itu, benarkah nyinyiran Warren Buffet bahwa uang kripto hanya angin dan akan lenyap dengan sendirinya?

No. Bisnis dan perdagangan uang digital blockchain itu sudah terlalu besar. Ibaratnya, bila "Vatikan, Makkah, Qom, dan Punjab" bersatu untuk menghancurkan pusat kapitalis dunia di New York yang atheis dan tak bermoral itu, mereka tak akan mampu melakukannya. Ia sudah terlalu besar. Sulit dinasihati dengan ayat dan mayat.

Kini, hampir semua institusi keuangan dunia "menyimpan" uang digital kripto untuk berjaga-jaga kalau sistem uang kertas ala "Bretton Woods" ambruk. Makanya orang seperti Robert Kyosaki penulis buku Rich Dad Poor Dad yakin betul, masa depan kripto cerah.

Kripto adalah mata uang masa depan, yang membuat dunia "perbankan" yang licik itu -- kata Kyosaki -- minggir. Bayangkan, perpindahan uang melalui blockchain antarnegara berlangsung dalam hitungan detik, nyaris tanpa biaya. Dunia perbankan tak bisa melakukannya. Dengan kripto, kata Kyosaki, pemerataan kekayaan makin terbuka. Tidak seperti di rezim Bretton Woods. Yang kaya makin kaya. Yang miskin makin miskin. Kata Bang Haji Rhoma. Tak ada pemerataan.

Di Indonesia, peredaran uang kripto besar sekali. Sudah mengalahkan uang fiat yang beredar di bursa efek Indonesia.

Banjir kripto tak bisa dibendung. Makanya, yang dibutuhkan rezim keuangan seperti BI, OJK, dan Bappebti adalah mengatur peredaran dan bisnis uang digital secara ketat dan bertanggung jawab. Ini penting untuk menghindari perselingkuhan, konspirasi, dan penipuan dalam perdagangan dan investasi kripto.

Penipuan ala platform trading dan investasi bodong, konon pakai robot yang berbasis kripto --  seperti  Net89, Redford, Xtoko, Mark AI, ATG 4.0, Terra Oil, Binomo, Quatex, dan lain-lain -- jumlahnya ratusan di Indonesia. Entitas bisnis kripto bodong itu sudah memakan korban dengan kerugian triliunan rupiah.

Kembali ke Rian Haryanto. Mengapa ia bangkrut?

Beberapa kemungkinan terjadi. Pertama, Rian belum menguasai trading kripto tapi berani mengumpulkan uang dari investor. Ini salah fatal. Karena trading dan investasi di dunia kripto tingkat spekulasinya tinggi sekali.

Kedua, Rian tidak menerapkan manajemen risiko yang ketat. Akibatnya, mudah tergelincir. Dan rugi.

Ketiga, Rian tidak sabar. Di trading kripto pergerakan grafik tidak sekejam di valas. Jika sedikit sabar (telanjur kejeblok open yang salah), grafik akan kembali ke titik awal. Bila itu terjadi, tinggal mengatur opening kembali. Ini bisa mencegah kerugian.

Keempat, Rian mungkin serakah. Faktor inilah yang paling banyak menyebabkan investor dan trader kripto bangkrut. Orang serakah di bisnis apa pun akan hancur. Celakanya, sulit sekali mengatasi keserakahan tersebut. Maklumlah keserakahan, kata Buya Syakur, adalah godaan setan.

Ya. Rian, hampir pasti, adalah salah satu korban keserakahan itu. Menyedihkan! Untungnya Rian adalah putra Haryanto, sultan PO dari Kudus.

Seburuk apa pun Rian tetap akan mewarisi kekayaan sang sultan. Seperti buruknya kelakuan Vajiralongkron, putra mahkota Raja Thailand. Setelah Raja Bhumibol Adulyadej wafat, akhirnya tahta jatuh juga ke tangan putranya.  

Sabar ya Rian. Yakinlah, singa tak akan tega membunuh anaknya. Peristiwa ini hendaknya jadi pelajaran untuk kelak menjalankan kembali tahta warisan "Sultan" Haryanto!


7 Januari 2023


*) Wartawan/Pengamat Kripto

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.