Pakar Hukum Tata Negara UGM: Sistem Proporsional Tertutup Buat Kontrol Parpol pada Legislator Kuat

 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Andi Sandi. (foto: ugm.ac.id)

YOGYAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Andi Sandi, mengatakan, sejumlah keuntungan jika Pemilu 2024 mendatang menerapkan sistem proporsional tertutup. Salah satu keuntungannya adalah membuat otoritas partai politik (parpol) dalam melakukan kontrol terhadap anggota legislatifnya semakin kuat.

"Kalau tertutup sebenarnya keuntungannya yang pertama, otoritas partai akan semakin kencang. Jadi controlling partai terhadap teman-teman legislatif itu akan sangat kencang, sangat positif," kata Andi dalam sebuah diskusi di UGM, Yogyakarta, dikutip dari Antara, Kamis (12/1/2023).

Selain itu, lanjut Andi, sistem proporsional tertutup juga memperkukuh posisi anggota legislatif sebagai representasi dari pemilih. Sedangkan jika dalam sistem proporsional terbuka saat ini, beberapa anggota legislatif cenderung tidak patuh pada fraksinya. "Anggota legislatif berdalih terpilih karena raihan suara secara langsung," ujarnya.

Sementara itu sisi negatif dari proporsional tertutup, sambung Andi, pemilih tidak tahu ke siapa suaranya tersebut akan tersalur. Sebab anggota legislatif menjadi kewenangan penuh parpol. "Kalau kemudian ditanya negara mana saja yang masih menggunakan itu, banyak, termasuk salah satu yang menginisiasi parlementer, Inggris sampai saat ini melakukan proporsional tertutup."

Sementara itu, pakar politik UGM, Mada Sukmajati, mengatakan sistem proporsional tertutup menguntungkan partai-partai besar. Ia pun mempertanyakan langkah Partai Golkar yang ikut mendukung menolak sistem proporsional tertutup dengan tujuh pimpinan parpol lainnya. "Dari sisi teoritisnya sistem tertutup itu menguntungkan partai-partai besar termasuk Golkar. Saya tidak tahu Pak Airlangga hitung-hitungannya kemarin seperti apa," cetus dia.

Mada menilai langkah sejumlah parpol yang menolak proporsional tertutup masih membuka ruang diskusi. Sebab, lanjut dia, dalam perpolitikan Indonesia tidak dikenal kata final.
 

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.