Memaknai Keberkahan Ramadan (2)

Imam Shamsi Ali. (foto: net/rmol.id)


Oleh Imam Shamsi Ali *)

Mungkin di antara keberkahan terpenting dari bulan suci Ramadan adalah rahmah dan magfirah Allah SWT. Bahwa bulan ini adalah bulan di mana Allah membuka pintu-pintu yang maha luar biasa akan kasih sayang dan ampunan untuk hamba-hamba-Nya.

Sesungguhnya sisi sifat Allah yang paling dominan adalah rahmah atau kasih sayang-Nya. Hanya saja, sejak lama Islam disalahpahami seolah Islam kurang kasih sayang. Konsep ketuhanan kerap kali ditampilkan sebagai Tuhan yang kasar, bengis, tiada belas kasih. Kebodohan bahkan kebohongan ini sengaja dipromosikan untuk menumbuhkan rasa takut, bahkan kebencian kepada Islam.

Padahal jika dikaji semua aspek ajaran agama ini, mulai dari konsep teologisnya, amalan ritual, hingga ke muamalahnya mengajarkan kasih sayang itu.

Ampunan Allah

Karakteristik Allah yang Maha “Rahman” dalam ajaran Islam, salah satunya terefleksi dalam bentuk pengumpunan-Nya. Bahwa Allah SWT yang Maha menguasai langit dan bumi itu membuka pintu-pintu “pengampunan” dan “taubat” bagi semua hamba-Nya yang ingin dan sungguh-sungguh untuk meraihnya.

Al-Quran menegaskan: “Dan bergegaslah kalian kepada ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya langit dan bumi, disiapkan bagi orang-orang yang bertakwah”. (Al-Imran).

Kecintaan Allah yang tiada batas itu terwujud dalam sebuah ayat yang saya sebut dengan “deklarasi pengampunan”: “Katakan, Wahai hamba-hambaKu (ibaadiya) jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa-dosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.

Ayat ini menekankan beberapa poin penting:

Satu, bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya begitu sangat dalam, bahkan tiada batas. Allah memanggil mereka yang melakukan dosa dengan panggilan kasih: “wahai hamba-hambaKu”. Padahal mereka telah melampaui batas dan ketetapan Allah (asrafuu). Luar biasanya Allah masih memanggil mereka dengan panggilan yang termulia “ibaad”.

Dua, mereka yang melakukan dosa disebut “asrafuu” atau melampaui batas dan berlebihan. Hal itu karena agama jika dijalankan sebagaimana mestinya akan sejalan dengan kebutuhan dan tabiat manusia. Di saat agama tidak dijalankan sebagaimana mestinya maka terjadi perilaku “melampaui batas” dari tabiat (nature) kemanusiaan.

Tiga, pengampunan itu bukan sekadar karena usaha kita semata. Bukan pula karena sekadar ibadah yang kita lakukan. Tapi semuanya karena semata “rahmat Allah”. Dan yang terpenting bahwa rahmat Allah tiada batas. Dan karenanya jangan pernah berputus Ada.

Empat, semua dosa itu terbuka untuk diampuni, kecuali syirik yang terbawa mati. Dan karenanya ayat ini mendeklarasikan bahwa “sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa”. Karena memang itulah Allah yang “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dari semua ini dipahami bahwa ampunan Allah itu adalah bentuk rahmah-Nya yang terbesar. Hanya dengan ampunan-Nya seorang hamba akan masuk surga. Dan hanya dengan rahmat-Nya seorang hamba akan diampuni.

Cerita seorang pembunuh 99 orang adalah contoh lain dari kasih sayang Allah SWT. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa seorang pemuda telah membunuh 99 orang. Lalu mendatangi seorang ahli ibadah dan bertanya kira-kira Allah masih akan mengampuninya?

Sang ahli ibadah itu menjawab bahwa dia tidak akan diampuni lagi dengan dosa sebesar itu. Jangankan membunuh 99 orang, membunuh seorang saja dosanya bagaikan membunuh seluruh umat manusia.

Mungkin karena frustrasi dan marah, sang pemuda itu juga membunuh ahli ibadah itu. Kini ia genap membunuh 100 orang. Tapi keinginan untuk diampuni masih ada dalam hatinya. Ia pun berjalan hingga bertemu dengan ahli ilmu dan bertanya apakah Allah masih mengampuninya?

Mendengar itu sang ahli ilmu teringat dengan ayat tadi, “Wahai hamba-hambaKu jangan berputus asa dari Rahmat Allah...sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa”.

Singkatnya, pemuda itu diarahkan untuk berangkat ke sebuah kampung dan bergabung dengan penghuni kampung itu beribadah kepada Allah SWT. Di tengah jalan dia meninggalkan dunia. Malaikat surga dan neraka pun berebut untuk menjemputnya.

Namun Allah dengan rahmat dan kasih-Nya Allah mengabulkan keinginan si pemuda untuk diampuni. Ia telah membunuh 100 orang. Tapi karena komitmen dan usahanya untuk diampuni dan karena kasih sayang Allah, sang pemuda itu diampuni dan masuk surga.

Berbagai hadits menyampaikan bentuk kasih sayang Allah dalam pengampuna-nNya. “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum suara terakhir keluar dari tenggorokannya (maa lam yugharghir)”. Bahkan Allah membuka pintu magfirah-Nya di malam hari bagi pendosa di siang hari. Dan membuka pintu magfirah-Nya di siang hari bagi pendosa di malam hari. Pintu maaf pun terbuka hingga terbitnya matahari dari barat (kiamat).

Adapula kisah seorang teman Afro-Amerika, Imam Ayub Abdul Baqi, yang ibunya begitu benci dengan Islam dan Muslim. Tapi akhirnya meninggal dalam kasih sayang Allah dan magfirah-Nya. Imam Ayub Abdul Baqi adalah imam yang gigih memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Muslim Amerika Serikat (AS) di Kota New York.

Kisahnya bermula ketika ia masuk Islam. Ia ketika itu masih muda. Karena marah kepada anaknya, Ibu Imam Ayub mengusirnya dari rumah. Sejak itu, sang Ibu tidak pernah lagi mau menerimanya kembali ke rumah itu.

Imam Ayub mencari kerja, belajar Islam bahkan menjadi imam dan menikah. Ia dikaruniai beberapa anak. Ia kemudian sengaja mengirimkan anaknya untuk menengok neneknya. Sang nenek ternyata jatuh hati kepada cucu-cucunya. Tapi tetap membenci anaknya, Imam Ayub.

Singkat cerita sang Ibu sakit keras dan masuk rumah sakit. Berhari-hari Imam Ayub menunggui ibunya di rumah sakit. Hingga di waktu-waktu menjelang sakratul maut, Imam Ayub memeluk ibunya, menangis dan menyampaikan hal ini: “Ibuku, saya cinta Ibu. Saya tidak bisa membayar jasamu kepadaku. Hanya satu hadiah yang ingin saya berikan kepadamu, Ibuku”.

Sambil memeluk ibunya, Imam Ayub dengan suara pelan membisikkan: Asy-hadu anlaa ilaaha illallah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasulullah”. Dan di detik-detik terakhir hidupnya itu sang ibu menerima kalimah tauhid. Menerima kunci surga itu. Alhamdulillah.

Satu kisah lagi. Yang ini juga ibu seorang mualaf yang sekarang jadi da’i. Ia adalah Syeikh Muhammad Yasin, seorang da’i yang sangat gigih di Kota New York. Seorang warga warga kulit putih, pernah mengenyam pendidikan Islam di Madinah.

Sejak kembali dari Madinah satu hal yang ingin ia lakukan, yaitu ingin merawat dan membahagiakan ibunya yang telah tua. Dan untuk itu, ia tak menikah karena ingin fokus merawat ibunya yang sakit-sakitan. Ibunya tidak pernah mau menerima Islam. Bahkan terbuka mengatakan agama ini bukan untuknya. Tapi Syeikh Yasin tidak pernah mendesak. Hanya menunjukkan bakti dan cinta kepada ibunya.

Hingga pada suatu ketika ibunya sakit keras dan krusial. Di momen-momen itulah Syeikh Yasin mendekat ke telinga ibunya dan mengajaknya menerima: “Laa ilaaha illallah - Muhammad Rasulullah”. Dan ia menerimanya hanya sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Kedua cerita nyata (real story) dari New York di atas menyampaikan pesan bahwa seorang manusia itu selalu ada harapan. Karena memang kasih sayang Allah itu lebih luas dari segala dosa dan kesalahan manusia.

Semangat ini jugalah yang harus kita bangun di bulan Ramadan. Karena sungguh di bulan ini secara khusus Allah bukakan pintu-pintu magfirah-Nya seluas-luasnya. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita semua. Amin!

Jamaica Hills, Amerika Serikat, 26 Maret 2023


*) Presiden Nusantara Foundation


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.