Soal Perbedaan Idul Fitri, Pesan Wapres: Jangan Sampai Mencederai Persaudaraan yang Sudah Terbangun

Wakil Presiden (Wapres) RI KH Ma'ruf Amin. (foto: setkab.go.id)

JAKARTA -- Wakil Presiden (Wapres) RI KH Ma'ruf Amin melalui juru bicaranya Masduki Baidlowi kembali mengingatkan perbedaaan penetapan Hari Raya Idul Fitri harus disikapi secara bijak oleh seluruh pihak. Wapres berpesan agar perbedaan ini tidak mencederai persaudaraan yang sudah terbangun baik selama ini.

Hal ini disampaikan Wapres menyusul ramai pemberitaan mengenai beberapa pemerintah daerah yang menolak memfasilitasi penyelenggaraan tempat Shalat Idul Fitri bagi warga Muhammadiyah yang ditetapkan jatuh pada Jumat (21/4/2023). Sedangkan lebaran Nahdlatul Ulama (NU) berpotensi berbeda yakni NU pada Sabtu (22/4/2023).

"Seperti selama ini Wapres berharap jangan persoalan-persoalan ukhuwah atau persaudaraan yang sudah terbangun selama ini dicederai oleh urusan khilafiyah (perbedaan pendapat) urusan furu itu kan," ujar Masduki dalam keterangannya dikutip dari Youtube Wapres, Selasa (18/4/2023).

Karena itu, Wapres berharap agar masalah fasilitasi pelaksanaan Shalat Idul Fitri ini dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah di masing-masing wilayah. "Saya kira kapasitas kepemimpinan diharapkan bisa selesaikan persoalan itu di masing masing daaerah," jelas Masduki.

Sebelum ramainya pemberitaan ini, Wapres sudah mewanti-wanti semua pihak untuk menyikapi perbedaan ini dengan bijak. Kiai Ma'ruf berpesan agar semua pihak mengedepankan toleransi jika nantinya waktu Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri Tahun 2023 ini berbeda.

"Maka yang ditempuh adalah adanya sikap bisa toleransi antardua kelompok ini untuk masing-masing, ya Lebaran sesuai dengan keyakinannya dengan hitungannya, bahasa Jawanya legowolah," ujar Ma'ruf dalam keterangannya beberapa waktu lalu seperti dikutip dari Youtube Wapres.

Ma'ruf menyampaikan, perbedaan ini jangan sampai membuat masing-masing pihak merasa paling benar dan menyebabkan permusuhan. Sebab, perbedaan jatuhnya hari Lebaran ini karena metode yang digunakan untuk menetapkan terlihatnya hilal atau imkanur rukyat dari dua kelompok ini berbeda.

Kiai Ma'ruf menjelaskan, jika NU dan pemerintah menggabungkan metode hisab dan rukyat dalam penetapan, yakni hisab dihitung berapa tingginya yakni masuk terlihat hilal jika di atas dua derajat. Adapun Muhammadiyah menggunakan wujudulhilal atau asal terlihat wujud hilal, walaupun setengah derajat.

Namun, kata Kiai Ma'ruf, perbedaan ini seharusnya tidak menjadi masalah. Ini karena umat Muslim Indonesia saat ini sudah lebih dewasa menyikapi perbedaan Lebaran antara NU dan Muhammadiyah. Apalagi ini bukan pertama kalinya.

"Itu sudah kita lakukan bertahun-tahun. Dulu pertama memang agak konflik sedikit yang antara metode ini ribut, tapi belakangan tidak karena kita terus sosilisasi edukasi, sekarang rukun-rukun saja. Sambil terus mencari metode yang mempertemukan dua metode ini imkanur rukyat dan wujudul hilal," jelas Kiai Ma'ruf.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.