Bareskrim Polri Selidiki Aliran Dana 2 Tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) WNI di Myanmar

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO)/ilustrasi. (foto: pixabay)

 

JAKARTA -- Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri tidak menjerat dua tersangka perdagangan orang 25 warga negara Indonesia (WNI) ke Myanmar dengan sangkaan pasal pencucian uang. Polri bakal menyelidiki aliran dana kedua tersangka.

Menurut Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro, dari hasil penyidikan sementara yang dilakukan belum ada tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan kedua tersangka.

"Memang belum ada TPPU hanya akan kami lidik alirannya," kata Brigjen Djuhadhani, Kamis (18/5/2023), seperti dikutip dari Antara.

Dua pelaku yang ditetapkan tersangka, yakni Anita Setia Dewi dan Andri Satria Nugraha, bukan pasangan suami istri, merupakan rekan kerja yang ditangkap Selasa (9/5/2023) di Apartemen Sayana Lantai 21 Kamar No. 2.107, Kota Harapan Indah, Kelurahan Pusaka Rakyat, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Hasil penyidikan kedua tersangka merekrut 16 dari 25 WNI korban TPPO di Myanmar. Keduanya dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau Pasal 18 Undang-Undang Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Sebelumnya, Brigjen Djuhandhani mengatakan, penyidik sudah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana para tersangka, termasuk perusahaan yang terlibat dengan para tersangka, juga untuk mencari tahu apakah ada keuntungan yang didapat para tersangka dari praktik ilegal yang dilakukannya.

"Nanti dari hasil tracing PPATK kami akan mengetahui seberapa keuntungan yang didapat dari para pelaku terkait 25 WNI ini," kata Brigjen Djuhandhani.

Adapun dari hasil penyidikan, diungkapkan pola perekrutan yang dilakukan kedua pelaku, yakni merekrut korban dengan tawaran kerja ke Thailand melalui kerabat, teman, ataupun kenalan. Kemudian, korban dibantu pengurusan paspor oleh pelaku dan dilakukan wawancara oleh pengguna dengan menggunakan fitur panggilan video. Beberapa korban pekerja migran nonprosedural ini sempat ditampung di sebuah rumah dan apartemen milik pelaku, tempat ditangkapnya kedua pelaku.

Berikutnya yang menjadi modus operandi kejahatan ini adalah tanpa menggunakan perusahaan penempatan pekerja migran dan tanpa menggunakan visa kerja. Kemudian korban dibekali surat tugas dari Indonesia yakni CV Prima Karya Gemilang dan tanda pengenal untuk mengelabui petugas Imigrasi.

Selanjutnya, korban diberangkatkan ke Bangkok, Thailand, dengan alasan untuk wawancara dan seleksi kerja, apabila diterima akan diterbitkan visa kerja. Korban dibekali tiket pulang-pergi Jakarta-Bangkok, selanjutnya diseberangkan ke Myanmar secara ilegal melalui perbatasan Maysot.

Pelaku menawarkan pekerjaan dengan dijanjikan sebagai marketing operator online bergaji antara Rp 12 juta sampai Rp 15 juta per bulan, serta ada komisi bila mencapai target, dengan waktu kerja 12 jam per hari dan enam bulan sekali bisa cuti, bisa kembali ke Indonesia.

Namun kenyataannya para pekerja dieksploitasi diberikan kontrak kerja dalam bahasa Cina yang tidak dimengerti oleh para pekerja. Korban dipekerjakan di perusahaan online scams milik warga negara Cina, ditempatkan di sebuah tempat yang tertutup dijaga oleh orang-orang bersenjata.

Janji kerja 12 jam, realitasnya 18 jam, korban dipekerjakan dari pukul 20.00 sampai dengan 14.00. Untuk gaji tidak pernah diberikan, korban hanya menerima Rp 3 juta bahkan belum diberikan gaji.

Apabila korban tidak mencapai target, maka akan diberi sanksi berupa potongan gaji termasuk tindakan fisik dan kekerasan fisik berupa dijemur, skotjam, beberapa ada yang menerima kekerasan berupa pukulan, dan dikurung.

 

(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.