FGD Moya Institute: Dinamika Politik Sedang Tinggi, Bangsa Indonesia Butuh Vaksin Ideologi

Para narasumber (dari kiri  kanan) Prof Imron Cotan (Pemerhati Isu-isu Strategis dan Global), Mahfudz Siddiq (Politikus Reformasi), Sidarto Danusubroto, S.H. (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI), Prof Dr Agus Pramusinto, MDA (Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara/ASN), dan moderator Hery Sucipto (Direktur Eksekutif Moya Institute) dalam FGD Moya Institute bertajuk "Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?" di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023). (foto: gebrak.id)

JAKARTA -- Dinamika politik nasional menjelang Pilpres dan Pileg 2024 yang semakin tinggi memunculkan sejumlah tantangan bagi proses pematangan demokrasi di Indonesia. Bangsa Indonesia tetap dan terus membutuhkan Pancasila sebagai vaksin ideologi untuk menjaga keutuhan bangsa.

“Setelah ancaman pandemi Covid-19 selesai, ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme (IRT) juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto, yang juga pernah menjadi ajudan terakhir Presiden Pertama RI Soekarno (1967-1968), sebagai pembicara kunci dalam
Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Moya Institute bertajuk "Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?" di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Sidarto yang sudah berusia 87 tahun dan telah mendampingi tujuh Presiden RI ini mengungkapkan, hasil riset mengatakan IRT relatif mampu menginfiltrasi aparatur sipil negara (ASN) di berbagai institusi. Bahkan radikalisme ditengarai telah merasuki oknum TNI-Polri.

"Kita belum siap menghadapi demokrasi Barat. Sekarang demokrasi kita NPWP: nomor piro wani piro. Saya pernah menjadi anggota DPR RI tiga periode. Waktu sistem tertutup, saya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, orang di sini mulai jorjoran dengan uang. Mulai gontok-gontokkan. Rakyat jadi terdidik untuk menunggu "serangan fajar atau subuh" untuk mendapat uang. Ini sangat tidak mendidik untuk pematangan demokrasi sehingga harus dihapus," jelas Sidarto.

Sidarto berpendapat, yang seharusnya dipilih langsung hanya Presiden dan DPR RI.

“Kepala daerah itu yang memilih atau menunjuk ya Presiden. Bupati juga begitu. Tiga partai politik pemenang nanti dapat jatah kursi di situ,” papar Sidarto. "Kalau dipilih langsung, nanti yang terjadi seperti sekarang, misalnya jabatan gubernur bisa membutuhkan dana ratusan miliar, bupati puluhan miliar, yang dananya didukung oleh para bohir dan cukong. Pembangunan pun jadinya yang didukung oleh para cukong itu sehingga mutunya bisa dipertanyakan."  

Peserta dan narasumber FGD yang digelar Moya Institute bertajuk "Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?" di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023). (foto: gebrak.id)


Politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora, Mahfudz Sidiq, mengatakan, perjalanan panjang ideologi Pancasila mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selama 78 tahun sudah menghasilkan capaian yang luar biasa.

"Ketika tahun 1945 kita baru lahir sebagai sebuah negara bangsa dengan masyarakat yang heterogen dan majemuk bisa bertahan hingga saat ini sebagai satu nation state yang maju dan modern. Menjadi tugas kita untuk melakukan penyesuaian, seiring dengan perkembangan dan kondisi zaman di mana demokrasi yang kompatibel dengan dasar negara kita, yaitu Pancasila," kata Mahfudz.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Prof Agus Pramusinto mengungkapkan, salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila yaitu perpecahan akibat perbedaan pilihan politik. Ditambah lagi merebaknya kasus korupsi, dan tindakan amoral dari beberapa oknum kepolisian.  

Di sisi lain, kata Prof Agus, dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, KASN menjaga penerapan prinsip merit system serta pengawasan penerapan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN. Hal ini sekaligus untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan, serta fungsi ASN sebagai perekat pemersatu NKRI tetap dijalankan oleh seluruh ASN di Indonesia. "Kuncinya adalah pencegahan dan selalu mengingatkan kepada ASN untuk melihat kembali tugas utama serta kompetensinya sebagai abdi negara."

Pemerhati isu strategis nasional dan global Prof Imron Cotan mengatakan, setiap lima tahun ideologi Indonesia diuji daya lenturnya. "Kalau daya lenturnya terus digempur, dihantam setiap saat dengan politik pecah belah, eksistensi Pancasila terancam, dan Indonesia berpotensi menjadi negara gagal," cetusnya mengingatkan.


(dpy)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.