Jogja 'cen' Istimewa (5): Dari Kumpul Kebo, Las Vegas, Sampai Golek Garwo

Anif Punto Utomo

Oleh Anif Punto Utomo *)

Tahun 1984 Jogja gempar. Bukan hanya Jogja bahkan, tetapi Indonesia.

Kenapa? Sebuah kelompok diskusi di kota gudeg bernama Dasakung merilis hasil penelitian mereka tentang pasangan muda-mudi yang berpacaran di wilayah Jogja. Hasilnya: 62 persen dari 29 pasangan disimpulkan tidur bersama selama 5-7 jam dalam sepekan di kos-kosan.

Serta merta hasil penelitian kontroversial itu menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Presiden RI Soeharto waktu itu pun sampai memberi respons kekhawatirannya. Ia minta supaya induk semang ikut bertanggung jawab, dalam arti tidak hanya menyewakan kamar saja, melainkan juga menjaga tata tertib dan tata krama yang berlaku dalam masyarakat.

Tidak terbayangkan seandainya saat itu sudah ada telepon seluler (ponsel) cerdas, betapa jagat maya dipenuhi cuitan mengenai kumpul kebo di kota pelajar tersebut, berikut bumbu-bumbunya yang lebih seru. Para pemain medsos akan membombardir netizen lewat  postingannya di TikTok, Instagram, Facebook, dan X.

Kumpul kebo adalah istilah yang disematkan pada sejoli yang hidup bersama tanpa menikah (samenleven). Fenomena sosial yang ditemukan di Jogja itu menyedot perhatian kalangan masyarakat karena dinilai tak lazim dan bertentangan dengan norma agama maupun adat Jawa yang kuat di daerah tersebut.

Cukup lama hasil penelitian tersebut menjadi isu sampai akhirnya meredup dengan sendirinya. Namun bukan berarti tidak ada lagi kumpul kebo. Beberapa penelitian setelahnya juga tetap menunjukkan bahwa kumpul kebo masih terjadi. Tentu saja bukan monopoli Jogja, melainkan juga di kota-kota besar di Indonesia.

Sampai kemudian, dalam satu dekade terakhir, di Jogja muncul istilah kos-kosan Las Vegas. Weis, apalagi ini?

Anda tahu Seturan? Di awal 1980-an di tengah kebun tebu terdapat perumahan dosen UGM. Suasana sepi, apalagi malam hari. Ring road belum ada. Akses masuk dari selokan Mataram menuju ke arah utara. Atau bisa juga dari jalan menuju Perumnas Condongcatur. Kondisi jalan masih berupa jalan tanah, belum beraspal.

Di samping perumahan ada lapangan yang biasa digunakan untuk latihan menembak tentara. Kabarnya saat itu sesekali ada peluru nyasar ke perumahan. Kalau di rumah ada tembok yang ‘coel’ itu berarti bekas hantaman peluru. Dosen-dosen yang tinggal di perumahan itulah para perintis wilayah Seturan.

Kini Seturan yang menyambung dengan Babarsari tumbuh menjadi wilayah bak kawasan metropolitan. Bahkan kini anak-anak muda menyebut dengan istilah yang keren yakni SCBD, singkatan dari Seturan, Concat, Babarsari, Depok. Jadi bukan hanya Jakarta yang memiliki SCBD (Sudirman Central Business District), tetapi juga ada di Jogja (Sleman).

Ada belasan perguruan tinggi di kedua wilayah tersebut, sehingga otomatis menjadi magnet bagi masyarakat dari berbagai daerah untuk menimba ilmu. Mahasiswa dari berbagai wilayah Indonesia menyatu menjadikan Seturan-Babarsari sebagai miniatur Indonesia. Terjadi akulturasi budaya sehingga terbangun kesadaran multikultur.

Bertebarannya kampus di Seturan-Babarsari juga menciptakan lingkungan akademis yang dinamis, meningkatkan pertukaran ide, dan interaksi dengan penduduk asli yang memperkaya kehidupan sosial. Ekonomi lokal bergerak. Hotel bermunculan. Warung bertebaran. Laundy kiloan ada di setiap jengkal.  

Namun ada konsekuensi lain ketika ribuan mahasiswa pendatang kelas menengah atas tinggal di situ: gaya hidup bebas.

Seiring dengan gemerlapnya Seturan-Babarsari, bermunculanlah karaoke, coffee shop mahal, dan kuliner yang serba FOMO (fear of missing out—sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan takut untuk tertinggal dengan orang lain). Memang, kehidupan kelas menengah atas itu tidak memonopoli Seturan, tetapi setidaknya telah menjadi fenomena.

Bersamaan dengan itu pula hadir kos-kosan eksklusif yang membebaskan pengekos berbuat ‘apa saja’. Pengekos bebas pulang malam jam berapapun, bebas bawa siapapun ke kamar, bebas dari segala aturan yang mengekang pengekos. Pokoknya bebas tanpa batas. Asal bayar tepat waktu, sudah selesai.

Kehidupan seperti itu salah satunya ditemui di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat. Maka dari situlah kemudian muncul istilah kos-kosan LV (Las Vegas). Gaya hidup kos-kosan eksklusif gaya Las Vegas ini merupakan bentuk baru dari istilah kumpul kebo yang sempat terkubur.

Ada beberapa penelitian skripsi di UGM mengenai ini, dua di antara ‘’Praktik Seks Bebas dan Nilai (Suatu Studi Kasus Praktik Seks Bebas di Kalangan Mahasiswa Pendatang di Daerah Seturan dan Hubungan dengan Norma dan Nilai)’’ oleh Elfrida Ryana tahun 2005 dan ‘’Gaya Hidup Mahasiswa Kos-kosan Eksklusif di Seturan Yogyakarta’’ oleh Santi Pradhista tahun 2018. Intinya itu tadi, kehidupan gaya Las Vegas.

Kalau kita googling untuk mencari kos-kosan, akan selalu muncul tawaran kos-kosan LV. Konon kos-kosan model ini banyak dicari mahasiswa atau karyawan yang belum menikah. Fenomena kos-kosan LV layaknya virus yang menyebar sehingga kini bukan hanya di Jogja, tetapi juga di kota-kota besar. Iklannya sama: tersedia kamar kos-kosan LV.

Tapi bukan Jogja kalau tidak istimewa. Lupakan kumpul kebo dan Las Vegas.

Jemput fenomena lain terkait hubungan lawan jenis yakni program ‘Golek Garwo’. Golek garwo adalah bahasa Jawa yang artinya ‘mencari suami atau istri’. Jadi program ini ajang pencarian jodoh agar para jomblo menemukan pasangan untuk menikah. Kalau kumpul kebo dan kos Las Vegas dikatakan haram, maka Golek Garwo seribu persen halal.

Golek Garwo digelar oleh Forum Ta'aruf Indonesia (Fortais) yang bermarkas di Sewon, Bantul. Program yang digagas Ryan Budi Nuryanto sudah berjalan sejak 2011. Perhelatan digelar secara rutin, setiap bulan sekali. Sampai ajang terakhir 20 April 2025 lalu, total pasangan yang nikah berkat program ini setidaknya mencapai 18.000 pasangan.

Oh ya, event Golek Garwo adalah ajang mempertemukan pencari jodoh. Untuk beranjak ke jenjang berikutnya Fortais mengadakan acara ‘nikah bareng’. Pada 2-10 Januari 2025 misalnya, Fortais bekerja sama dengan Kementerian Agama Kabupaten Bantul menggelar nikah massal bertempat di KUA Sewon, Bantul. Fasilitas nikah seperti mahar, cincin kawin, busana, rias pengantin, dekorasi, dokumentasi, disediakan gratis.

Dari mana saja para jomblowan dan jomblowati itu datang? Ini menariknya, mereka bukan hanya dari seputaran Jogja tetapi dari pelosok Indonesia. Bahkan ada yang dari mancanegara seperti Australia, Korea, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Rupanya program cari jodoh dengan kearifan lokal di Jogja ini sudah mengglobal.

*) Jurnalis Senior, Peneliti Moya Institute



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.