Kapal tanpa Nakhoda dalam Reformasi TNI Era Presiden Prabowo

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie. (Foto: Setara Institute)

Oleh Ikhsan Yosarie dan Merisa Dwi Juanita *)


Sejak reformasi 1998, salah satu tujuan utama transformasi sektor keamanan di Indonesia adalah membatasi peran militer pada fungsi pertahanan. Berbagai instrumen yang menjadi basis pelibatan militer pada ranah sipil dihapus, seperti doktrin dwifungsi dan UU No 2 Tahun 1988 tentang ABRI yang menjadi penopang implementasi doktrin dwifungsi. 

Keberadaan fraksi ABRI di parlemen juga dihapus untuk memastikan keterlibatan militer dalam ranah politik. Pembatasan tersebut diikat melalui keberadaan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang kemudian direvisi menjadi UU No 3 Tahun 2025. 

Melalui UU a quo, keterlibatan militer pada ranah sipil dibatasi secara ketat, seperti dalam aspek penempatan prajurit TNI di jabatan sipil, keterlibatan dalam operasi militer selain perang (OMSP), pengokohan militer sebagai alat negara di bidang pertahanan, serta pengaturan struktur Komando Teritorial dalam kerangka pembangunan postur TNI.

Namun demikian, menuju 1 tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, kondisi regresi reformasi TNI justru semakin kuat. Penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil dan keterlibatan dalam OMSP terjadi di luar ketentuan UU TNI. 

Terbaru, Presiden RI Prabowo Subianto meresmikan 162 satuan baru di lingkungan TNI pada Minggu (10/8/2025). Dari 162 satuan baru tersebut, di antaranya terdapat 6 Komando Daerah Militer, 20 Brigade Teritorial Pembangunan, dan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan. 

Pembentukan satuan-satuan baru tersebut bukan hanya bertentangan dengan pembangunan postur TNI, tetapi juga mengakselerasi peran-peran militer di ranah sipil. Sebab, sebagaimana dijelaskan Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI Angkatan Darat (AD) bahwa prajurit yang tergabung dalam batalyon tersebut disiapkan bukan untuk bertempur, melainkan untuk menjawab kebutuhan di tengah-tengah masyarakat, mulai dari ketahanan pangan hingga pelayanan kesehatan. Selain itu, Presiden Prabowo juga menghidupkan kembali jabatan Wakil Panglima TNI.

Langkah ini dapat dilihat sebagai bentuk penguatan militerisme, yakni orientasi politik dan sosial yang menempatkan militer sebagai institusi dominan dalam kehidupan bernegara dan demokrasi, serta habituasi peran-peran militer di luar bidang pertahanan. 

Sementara, pembentukan satuan baru dalam jumlah besar seharusnya diuji kesesuaiannya terhadap prinsip profesionalisme tersebut, yang mengedepankan capability-based defense ketimbang manpower-based defense. Penekanan berlebihan pada kuantitas personel berisiko memundurkan TNI ke paradigma lama yang identik dengan force expansion tanpa didukung transformasi doktrin, teknologi, dan interoperabilitas.

Atas berbagai kondisi tersebut, SETARA Institute memberikan catatan sebagai berikut:

1. Pembentukan 6 Kodam baru memperlihatkan penyusunan kebijakan yang tidak berbasis kepada ketentuan UU TNI. Baik dalam UU TNI 2024 maupun hasil revisinya, terdapat ketentuan Pasal 11 ayat (2) bahwa Postur TNI dibangun dan dipersiapkan sesuai dengan kebijakan pertahanan negara. 

Dalam bagian penjelasan Pasal a quo, terdapat penekanan bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Sementara dalam hal penambahan Kodam terlihat melalui pembentukan struktur TNI yang mengikuti struktur administrasi pemerintahan hingga ke daerah, sehingga TNI semakin dekat dengan peran-peran sipil di daerah.

2. Dalam memastikan pertahanan dan kedaulatan negara, sebagaimana amanat UU TNI Pasal 11 ayat (2), pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI melalui pembentukan struktur Komando Teritorial seharusnya memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan.

3. Pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan ini menjadi bentuk ekspansi militer ke dalam ruang sipil dengan bungkus pembangunan dan kesejahteraan. Retorika pembangunan tidak dapat menyembunyikan realitas bahwa militer sedang memperluas peran dan pengaruhnya ke ranah yang bukan wewenangnya. 

Kehadiran batalyon-batalyon non-tempur adalah deviasi terhadap amanat reformasi 1998 yang dengan tegas memisahkan militer dari urusan sipil, serta gejala terang arus balik reformasi TNI melalui ketidakpatuhan terhadap berbagai batasan dalam OMSP yang telah diatur UU TNI 2025.

4. Pembentukan Batalyon Pembangunan ini mengakibatkan distorsi fungsi pertahanan. Ketika dunia tengah memperkuat postur militer berbasis teknologi, kapasitas dan kualitas prajurit, alutsista, hingga kesejahteraan prajurit untuk menghadapi dinamika ancaman, TNI justru gagal fokus dengan menambah banyak prajurit untuk menjalankan fungsi-fungsi sipil, yang notabene sudah memiliki berbagai otoritas sipil yang menanganinya. 

Penambahan 100 batalyon tersebut dapat berkonsekuensi bertambahnya beban anggaran, terutama untuk gaji, infrastruktur, dan pembinaan. Mengingat terdapat urgensi penguatan alutsista dan kesejahteraan prajurit, semestinya fokus anggaran dapat diarahkan kepada aspek-aspek penting tersebut.

5. Pascapenghapusan ketentuan keputusan dan kebijakan politik negara sebagai basis implementasi OMSP melalui revisi UU TNI tahun 2004, pembentukan batalyon pembangunan semakin membuka lebar peran-peran militer di ranah sipil tanpa kontrol legislatif. 

Hal ini mengingatkan pada residu Dwifungsi ABRI, di mana kapasitas organisasi yang besar membuka ruang bagi keterlibatan militer dalam administrasi sipil dan politik. Kondisi ini juga dapat memicu Pengerdilan Peran Lembaga Sipil karena peran-peran konvensional otoritas sipil, terutama di daerah, justru turut diemban oleh batalyon pembangunan.

6. Presiden bersama DPR perlu melakukan evaluasi terhadap pembentukan 162 satuan baru TNI, terutama 6 Komando Daerah Militer, 20 Brigade Teritorial Pembangunan, dan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan. 

Evaluasi dilakukan terhadap arah dan dasar strategis pembentukan satuan untuk memastikan langkah ini selaras dengan agenda penguatan pertahanan dan postur TNI, serta tidak sekadar memperbesar struktur tanpa peningkatan kapabilitas. 

Evaluasi juga perlu dilakukan terhadap dampak hubungan sipil-militer subjektif, guna mencegah penguatan militerisme yang berpotensi mengikis supremasi sipil dan ruang demokrasi, dengan menegaskan mekanisme pengawasan publik dan parlemen.

Jakarta, 12 Agustus 2025

*) Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.