Jogja ‘cen’ Istimewa (10): Perempatan Imajiner Monjali-Jembatan Baru UGM

Anif Punto Utomo.

Oleh Anif Punto Utomo *)

Pernahkan Anda melewati Jl Nyi Tjondrolukito antara perempatan Monjali-Ringroad dan Jembatan Baru UGM Yogyakarta? Adakah terasa ada sesuatu ketika melintasinya, terutama di tengah-tengah antarkedua perempatan tersebut? Saya tebak tidak. Tapi jangan-jangan setelah membaca tulisan ini, tiba-tiba merasakan getaran khusus ketika melewatinya. 

Sepintas tidak ada yang istimewa. Tetapi kalau ‘diotak-atik gathuk’ menjadi menarik. Kenapa? Karena nyaris di tengah antara kedua perempatan besar tersebut ada perempatan kecil yang merupakan pertemuan antara visi dan gagasan besar yang lahir dari dua raja Jogja: Sri Sultan Hamengkubuwono I dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Bagaimana ceritanya?

Mengutip www.kratonjogja.id, pada tahun 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) mulai membangun Kota Yogyakarta. Pengejawantahan konsep ke dalam tata ruang Kota Yogyakarta dihasilkan dari proses ‘menep’ atau perjalanan hidup Pangeran Mangkubumi sebagai putra Raja Mataram yang tumbuh besar di lingkungan Keraton Surakarta.

Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan konsepsi Jawa dengan mengacu pada bentang alam gunung, laut, sungai, dan daratan. Prinsip utama sebagai dasar pembangunan adalah Hamemayu Hayuning Bawono. Artinya membuat ‘bawono’ (alam) menjadi ‘hayu’ (indah) dan ‘rahayu’ (selamat dan lestari). Konsep tersebut diejawantahkan dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi sebagai poros. 

Lokasi pembangunannya dipilih dekat sumber mata air Umbul Pacethokan. Kontur tanah bangunan keraton lebih tinggi, seperti di atas punggung kura-kura, dengan diapit oleh enam sungai yakni tiga di timur dan tiga di barat sehingga bebas banjir. Aneka vegetasi di seputar keraton bukan hanya sebagai perindang, tetapi juga simbol kehidupan. 

Dalam pembangunan keraton, Hamengkubuwono I menerapkan konsep keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Dari situ lahir Sumbu Filosofi yang direpresentasikan dengan keberadaan Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Golong Gilig dalam satu garis lurus yang menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi. 

Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton melambangkan konsepsi ‘sangkan’ (asal) manusia dan proses pendewasaan manusia. Sementara perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju ke keraton mewakili filosofi ‘paran’ (tujuan), yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya.

Panggung Krapyak berada dua kilometer di selatan keraton. Bangunan berbentuk segi empat terdiri atas dua lantai dengan tinggi 10 meter, lebar 13 meter, dan panjang 13 meter. Secara simbolis, Panggung Krapyak memiliki makna awal kelahiran atau rahim. Bangunan ini dulu digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan kerabatnya berburu (ngrapyak) rusa.

Tugu Golong Gilig berada di utara keraton. Tugu berketinggian 25 meter tersebut memiliki puncak berbentuk bola sehingga disebut “golong”, sedangkan badan tugu berbentuk kerucut terpancung yang berbentuk bulat panjang (gilig). Karena tugu berwarna putih maka dalam bahasa Belanda disebut ‘De Witte Paal’ (Tugu Pal Putih).

Secara filosofis, Tugu Golong Gilig melambangkan golonging cipta, rasa, dan karsa untuk menghadap Sang Khalik (bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta). Warna putih dipilih untuk melambangkan kesucian hati yang harus menjadi dasar bagi upaya itu. 

(Tugu Golong Gilig kini berganti menjadi Tugu Jogja. Tugu yang asli rusak akibat gempa tahun 1867. Tugu dibangun kembali dengan bantuan pemerintah Hindia-Belanda, namun bentuknya berbeda. Diduga, ini kesengajaan dari Belanda yang tidak suka dengan semangat kesatuan yang disimbolkan oleh tugu tersebut. Tidak cukup dengan itu, Belanda pun membangun rel kereta api yang memotong Sumbu Filosofi).

Keberadaan Sumbu Filosofi yang telah dinobatkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, tidak lepas dari adanya garis imajiner dari arah selatan ke utara dengan Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya. Garis atau sumbu imajiner merupakan garis khayal yang membujur dari arah selatan ke utara, yang ditarik dari Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi sebagai poros.

Sumbu Imajiner berimpitan dengan Sumbu Filosofi (dari Panggung Krapyak sampai Tugu Golong Gilig). Jika ditarik garis lurus dari Laut Selatan ke utara, maka akan melewati Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu Jogja. Dan jika diteruskan melewati Jl Nyi Tjondrolukito kemudian Jl Palagan sampai kemudian berakhir di Gunung Merapi.

                                                  ***

Setelah Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942 pada Jepang, maka saudara tua itupun gantian menjajah Indonesia. Masa pendudukan Jepang berlangsung selama lebih kurang 3,5 tahun dan berakhir setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Selama masa pendudukan, Jepang memanfaatkan tenaga pribumi untuk romusha (kerja paksa). Tujuannya melakukan pekerjaan pembangunan yang berat, baik dalam proyek militer maupun pekerjaan umum untuk mendukung tentara Jepang (termasuk dukungan logistik) yang bertempur melawan sekutu, terutama di teater Asia-Pasifik.

Pekerjaan yang harus dilakukan para romusha di antaranya membuat pusat pertahanan seperti benteng menggali terowongan bawah tanah di daerah perbukitan, menggali parit pertahanan, membangun lapangan terbang, mendirikan bangunan militer, membangun kanal irigasi, membangun jalan, membangun rel kereta api, dan membangun jembatan.

Mengutip kompas.com, melihat kondisi rakyat yang menderita akibat kebijakan romusha, Sultan Hamengkubuwono IX berpikir keras agar rakyatnya terhindar dari kerja paksa. Lantas muncul ide membangun saluran irigasi untuk pertanian dengan membuat kanal yang menghubungkan Kali Progo di sisi barat dan Kali Opak di timur. 

Sultan Hamengkubuwono IX segera menyampaikan idenya ke Pemerintah Jepang. Alasan yang disampaikan adalah Jogja perlu memakmurkan warganya terlebih dulu, supaya bisa membantu tentara Jepang dalam melawan sekutu. Hasil pertanian nantinya juga akan diberikan untuk kepentingan logistik Jepang. 

Usulan diterima. Jepang memberi dana untuk pembangunan tersebut. Keraton Jogja yang akan melaksanakan pembangunan tersebut. Dengan begitu, tidak ada romusha dalam pembangunan kanal yang kelak dikenal dengan nama Selokan Mataram. Rakyat Jogja selamat dari program kerja paksa Jepang berkat gagasan Sri Sultan.

Menurut catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY, kanal yang awalnya bernama Gunsai Yoshiro ini memanjang sejauh 30,8 km. Pembangunan dibiayai Jepang senilai 1,6 juta gulden. Proyek melibatkan 1,2 juta buruh yang diupah dan 68 ribu sukarelawan yang dikenal dengan nama kerik aji. Sukarelawan tidak diberi upah, tapi mendapatkan makan.

Bagi mahasiswa dan alumni UGM, Selokan Mataram tak asing lagi. Apalagi ada sebagian kampus UGM yang terbelah berada di sebelah utara selokan (Gedung PAU UGM, Sekolah Pascasarjana UGM, dan MM UGM). Sampai awal 1990-an beberapa jurusan di Fakultas Teknik (arsitek, sipil, mesin, elektro) juga berkampus sederet dengan gedung-gedung itu.

                                                   ***

Kebanyakan kanal jalurnya lurus, tapi Selokan Mataran tidak. Selokan legendaris ini jalurnya meliuk-liuk melintasi wilayah Kulon Progo (Kali Progo) dan Sleman (Kali Opak). Di kiri-kanan selokan ada jalan untuk transportasi (sayang sekarang banyak ruas jalan yang rusak). Dulu konon airnya jernih, sejernih pikiran Sri Sultan ketika mendapatkan ide membangun kanal.

Sepanjang puluhan kilometer itu, Selokan Mataram ada yang melintas sungai sehingga dibangun saluran beton di atas sungai. Dan tentu tak sedikit bersimpangan dengan jalan raya. Selain berlintasan dengan ring road barat dan timur, juga ada perlintasan besar di antaranya dengan Jl Magelang, Jl Kaliurang, Jl Gejayan, dan Jl Nyi Tjondrolukito (Monjali).

Nah, perlintasan dengan Jl Nyi Tjondrolukito (Monjali) inilah yang merupakan perempatan imajiner berupa titik pertemuan Sumbu Imajiner yang mengarah selatan-utara dan Selokan Mataram yang mengarah barat-timur. Sebagai perempatan imajiner, tentu tidak tampak, maka khayalkan saja ketika melintas perempatan itu. 

Perempatan tersebut tidak berupa garis lurus, karena posisi Selokan Mataram di pertemuan itu sedang dalam posisi meliuk, sehingga posisinya seperti memotong.

Perempatan imajiner menjadi istimewa karena merupakan pertemuan antara visi Sultan Hamengkubuwono I ketika membangun Jogja dan gagasan brilian Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyelamatkan rakyatnya agar tidak diromushakan Jepang. 


*) Jurnalis Senior, Peneliti Moya Institute



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.