Mengamati Pesta Perayaan Adat Suku Dayak di Perbatasan Kalimantan–Sarawak

Hamidin. (Foto: BNPP RI)
 

Oleh Hamidin *)

Masyarakat Dayak yang mendiami kawasan perbatasan Kalimantan dan Sarawak, Malaysia, dikenal memiliki kekayaan tradisi adat yang penuh makna. Tradisi ini tidak hanya tampak dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga melalui pesta-pesta adat yang digelar untuk menandai momen penting dalam kehidupan, mulai dari pesta panen padi, syukuran berburu, upacara perkawinan, hingga ritual tolak bala. Semua itu merupakan bagian dari jati diri yang diwariskan turun-temurun.

Bagi masyarakat Dayak, pesta adat bukanlah sekadar perayaan meriah. Ia adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan dan alam, penghormatan kepada leluhur, sekaligus sarana mempererat ikatan kekeluargaan dan komunitas. Meski arus modernisasi terus mengalir, pesta adat tetap dilestarikan sebagai simbol keteguhan budaya.

Pesta panen padi menempati posisi penting dalam kehidupan orang Dayak. Padi dipandang bukan hanya sebagai sumber pangan, tetapi juga anugerah kehidupan. Karena itu, setiap panen ditutup dengan pesta syukur penuh sukacita.

Di perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, masyarakat Dayak merayakan Gawai Dayak, sebuah festival besar yang telah dikenal hingga mancanegara. Perayaan ini diwarnai dengan tarian adat, musik tradisional, serta persembahan kepada roh padi dan leluhur. Tujuannya tidak hanya berterima kasih atas hasil panen, tetapi juga memperkuat kebersamaan antarwarga, termasuk dengan kerabat lintas batas.

Selain Gawai, di Kalimantan Tengah ada Mangenta, pesta panen di mana padi yang baru dipetik diolah menjadi makanan khusus yang dinikmati bersama-sama. Sementara di Bengkayang, Kalimantan Barat, terdapat pesta Berape Sawa yang kerap mengundang tamu dari Sarawak, menandakan pesta adat sebagai jembatan persahabatan lintas negara.

Di balik kemeriahan pesta panen, tersimpan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi. Semangat gotong royong terwujud sejak menanam hingga memanen, yang kemudian diteruskan dalam pesta syukur. Ritual-ritual yang dilakukan juga menjadi pengingat bahwa alam adalah mitra kehidupan yang harus dijaga, bukan sekadar sumber ekonomi.

Pesta panen menjadi media pelestarian identitas. Dengan merayakannya secara turun-temurun, masyarakat Dayak menjaga jati diri dan memastikan budaya mereka tetap hidup di tengah perubahan zaman.

Selain panen, masyarakat Dayak juga menggelar syukuran berburu. Meski lebih sederhana, ritual ini sarat makna. Ia menjadi wujud penghormatan kepada roh hewan yang dikorbankan sekaligus ucapan terima kasih kepada alam.

Ritual syukuran berburu biasanya diawali dengan pemberian sesajen dari bagian tubuh hewan untuk roh hutan, sebelum hasil buruan dimasak dan dimakan bersama. Filosofi yang dijunjung ialah keseimbangan: manusia tidak boleh serakah, melainkan harus menjaga harmoni dengan alam.

Jika pesta panen menandai hubungan manusia dengan alam, maka pesta perkawinan menandai hubungan antarmanusia. Perkawinan bagi masyarakat Dayak bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan juga dua keluarga besar, yang disahkan melalui adat serta restu leluhur.

Setiap sub-suku memiliki ragam ritual berbeda, tetapi unsur kesakralan dan simbol tetap kental. Mulai dari peminangan dengan pantun adat, musyawarah mengenai mas kawin, hingga prosesi Lawang Sakepeng yang menguji keberanian mempelai pria. Berbagai benda pusaka dan simbol adat seperti gong, tombak, rotan, dan bulu burung enggang menjadi bagian penting dalam prosesi ini.

Setelah ritual selesai, pesta besar digelar. Musik tradisional Sape’, gong, dan gendang berpadu dengan tarian adat, menjadikan perkawinan sebagai perayaan bersama seluruh komunitas.

Selain panen, berburu, dan perkawinan, masyarakat Dayak juga mengenal berbagai ritual syukuran dan tolak bala. Misalnya Naik Dango pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat, Mecaq Undat pada Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, dan Mamapas Lewu pada Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Semua ritual itu berfungsi sebagai doa bersama demi keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan dari marabahaya.

Ritual-ritual tersebut menegaskan keyakinan masyarakat Dayak bahwa keselamatan tidak hanya bergantung pada usaha manusia, tetapi juga hubungan harmonis dengan alam dan dunia spiritual.

Tradisi pesta dan perayaan adat masyarakat Dayak di perbatasan Indonesia–Malaysia mencerminkan kekayaan budaya yang bernilai tinggi. Dari pesta panen hingga perkawinan, dari syukuran berburu hingga ritual tolak bala, semuanya sarat dengan nilai syukur, kebersamaan, dan penghormatan terhadap alam.

Di tengah arus globalisasi, masyarakat Dayak tetap teguh menjaga warisan leluhur sebagai penopang jati diri. Pesta adat tidak hanya menjadi media pelestarian budaya, tetapi juga simbol persaudaraan lintas batas.

Inilah bukti nyata bahwa tradisi yang hidup mampu menjembatani perbedaan, memperkuat identitas, sekaligus menghadirkan kekayaan budaya Nusantara yang bernilai di mata dunia.

25 Agustus 2025

 

*) Kelompok Ahli BNPP RI



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.