Polemik Pemotongan Gaji Prajurit TNI AD: Audit Sengkarut Pengelolaan Tabungan Wajib Perumahan Prajurit TNI AD!
Ardi Manto Adiputra. (Foto: imparsial.org)
Oleh Ardi Manto Adiputra *)
Belakangan ini ramai pemberitaan di berbagai media yang tergabung dalam konsorsium IndonesiaLeaks terkait dengan adanya masalah serius dalam program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diwajibkan bagi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). Program KPR tersebut dilaksanakan secara swakelola oleh Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BP TWP) TNI AD.
Berdasarkan hasil investigasi konsorsium media tersebut, program ini memiliki sejumlah persoalan serius, di antaranya beban cicilan yang sangat memberatkan bagi prajurit TNI AD, di mana terjadi pemotongan hingga 80 persen dari gaji pokok, ancaman pemindahan bagi prajurit TNI AD yang tidak mengikuti program tersebut sehingga hal ini jelas sebagai bentuk pemaksaan atau bukan kesukarelaan, program dijalankan secara tidak akuntabel dan transparan kepada para prajurit, hingga tentu akibatnya adalah dugaan penyalahgunaan dana TWP tersebut.
Imparsial menilai, implementasi program ini telah memicu dampak negatif terhadap kesejahteraan ribuan prajurit TNI AD. Para prajurit yang terdampak dari kebijakan ini sebagian besar berasal dari golongan tamtama yang baru saja menjalani masa dinas. Mereka diwajibkan untuk membeli rumah atau tanah kavling dengan sistem cicilan yang dipotong langsung dari gaji prajurit.
Alih-alih mendapatkan atau meningkatkan kesejahteraan, saat ini justru ribuan prajurit TNI tersebut mengalami nasib yang tidak menentu karena perumahan yang dijanjikan sebagian tidak kunjung terealisasi dan dapat mereka nikmati.
Imparsial memandang, kebijakan pemotongan gaji yang sangat besar ini dapat mengakibatkan masalah serius bagi kesejahteraan prajurit itu sendiri. Dengan sisa gaji yang sangat minim, para prajurit terancam tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-seharinya.
Masalah ini mencerminkan ketidakadilan yang diciptakan secara struktural dalam pengelolaan kesejahteraan prajurit, alih-alih mendukung kehidupan prajurit, justru yang terjadi adalah menambah beban finansial mereka. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip dasar terkait kewajiban negara untuk membentuk prajurit militer yang profesional, yaitu militer yang profesional adalah yang digaji secara layak (well paid).
Lebih dari itu, dengan model swakelola yang saat ini dilakukan oleh BP TWP TNI AD terdapat potensi persoalan hukum yang serius. Berdasarkan catatan Imparsial program TWP TNI AD rentan terhadap penyelewengan seperti hasil audit Puspom TNI AD pada 2020 tentang dana senilai Rp381 Miliar dari simpanan BP TWP AD yang dinyatakan lenyap.
Selain itu, terdapat kasus Brigjen YAK yang terbukti memperkaya diri sendiri dengan uang sejumlah Rp 127 miliar yang berasal dari dana TWP TNI AD sepanjang tahun 2013-2020. Oleh karena itu, pelaksanaan program KPR prajurit seharusnya diselenggarakan oleh lembaga keuangan yang transparan dan akuntabel yang bukan berasal dari dalam institusi TNI itu sendiri.
Imparsial menilai, segala bentuk permasalahan hukum yang lahir dari program KPR ini mulai dari pemotongan gaji yang terlalu besar, keikutsertaan dalam program yang di bawah tekanan, hingga munculnya kerugian yang harus ditanggung oleh ribuan prajurit TNI AD saat ini, harus diusut secara tuntas dan transparan serta dilakukan di dalam lingkup peradilan umum.
Hal ini semata-mata untuk menjamin proses investigasi dan proses hukum berjalan secara adil, transparan, dan bebas dari intervensi pihak manapun. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah, berbagai persoalan hukum yang menyangkut prajurit TNI berujung pada praktik impunitas.
Prajurit TNI merupakan alat pertahanan negara yang berada di garda terdepan dalam menghadapi ancaman bersenjata dari pihak eksternal. Untuk menciptakan pertahanan Indonesia yang kuat penting untuk mewujudkan prajurit TNI yang profesional, di mana salah satu syaratnya adalah prajurit TNI harus sejahtera (well paid), selain harus terlatih (well trained) dan dipersenjatai dengan baik (well equipped).
Imparsial mendesak kepada Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) untuk sementara menghentikan program ini terlebuh dahulu, menghentikan pemotongan gaji terhadap prajurit TNI AD, hingga terhadap kasus ini dilakukan audit secara menyeluruh dan transparan oleh lembaga yang kredibel dan jika perlu melibatkan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agar prajurit TNI AD tidak lagi dirugikan dan untuk menciptakan prajurit TNI yang profesional untuk pertahanan Indonesia yang kuat.
Jakarta, 6 Agustus 2025
*) Direktur Imparsial
Post a Comment