![]() |
| Samsul Muarif saat mengunjungi Tokyo, Jepang, belum lama ini. |
Oleh Samsul Muarif *)
Saya baru kembali dari Tokyo, awal Desember 2025. Dalam suasana dinginnya musim dingin yang mulai menusuk, justru hawa diplomatik di ibu kota Jepang terasa lebih panas dari biasanya.
Para akademisi, analis, hingga diplomat tampak sama-sama menunjukkan kekhawatiran: hubungan Jepang-China tengah memasuki fase paling genting dalam dua dekade terakhir.
Pemicu terbesarnya adalah pernyataan terbaru Perdana Menteri (PM) Jepang, Sanae Takaichi, yang menyebut bahwa jika terjadi konflik atas Taiwan —terutama bila China menggunakan kekuatan militer— maka Jepang menganggapnya sebagai “situasi yang mengancam kelangsungan hidup” negaranya.
Secara implisit, PM Takaichi membuka kemungkinan keterlibatan militer Jepang dalam skenario terkait Taiwan. Pernyataan ini melampaui kebijakan “strategic ambiguity” Jepang selama bertahun-tahun.
Reaksi China pun langsung keras. Pihak Beijing menuduh Jepang melanggar prinsip Satu China, memanggil duta besar Jepang untuk protes, dan meningkatkan aktivitas militer di sekitar Laut China Timur.
Di sisi lain, Jepang memperkuat patroli maritimnya di sekitar Senkaku/Diaoyu, sementara Taiwan menyambut pernyataan Takaichi sebagai dukungan moral penting. Situasi ini membentuk spiral ketegangan baru yang mengkhawatirkan.
Dalam perspektif Neorealisme —Kenneth Waltz misalnya— sistem internasional adalah anarki, sehingga negara harus mengandalkan diri sendiri untuk bertahan.
Ketika satu negara memperluas kapasitas atau ambisinya, negara lain akan melakukan balancing. Inilah yang terjadi: China meningkatkan operasi maritimnya; Jepang memperkuat postur keamanan dan aliansinya.
Teori Balance of Power menjelaskan bahwa ketidakseimbangan kekuatan di kawasan memicu respons berantai.
Pernyataan Takaichi sejatinya adalah sinyal bahwa Jepang merasa keseimbangan strategis di Asia Timur telah bergeser akibat ekspansi kekuatan China.
Di sisi lain, pendekatan liberal-institusionalis seperti pendapat Robert Keohane, menekankan bahwa institusi internasional, norma hukum, dan diplomasi dapat mencegah kekacauan. Eskalasi retorika justru menjauhkan kawasan dari peluang solusi damai.
Para pemikir Indonesia pun telah mengingatkan hal serupa. Prof Hikmahanto Juwana berulang kali menegaskan bahwa penyelesaian sengketa di laut —termasuk Laut China Selatan— harus ditempuh melalui jalur diplomasi dan hukum internasional. Pendekatan hukum dan mediasi selalu lebih efektif dibandingkan konfrontasi militer.
Dengan kondisi sekarang, kombinasi pertumbuhan kekuatan China, keprihatinan keamanan Jepang, dan ketidakpastian strategi Amerika Serikat menciptakan risiko security dilemma klasik: setiap langkah defensif satu pihak dianggap ofensif oleh pihak lain.
Laporan Lowy Institute terbaru kembali menempatkan Amerika Serikat sebagai negara terkuat di kawasan Asia Pasifik, disusul China di posisi kedua dan Jepang di posisi keempat.
Dominasi Amerika Serikat (AS) secara militer dan teknologi memang masih sangat nyata, dan Washington telah menyatakan akan “mencegah dengan segala cara” jika China mencoba mengubah status Taiwan secara paksa.
Dalam situasi ini, benturan kepentingan China –Jepang tidak bisa dilihat semata sebagai konflik bilateral. Ia berada dalam lanskap kompetisi strategis AS– China yang jauh lebih besar.
Jika tidak dilakukan upaya deeskalasi serius, Asia Timur dapat memasuki titik yang sangat rawan —dan dampaknya akan menjalar ke kawasan lain termasuk Asia Tenggara.
Banyak yang bertanya: apakah Indonesia perlu ikut terlibat? Jawabannya: ya — justru karena Indonesia berada di posisi unik.
Lowy Institute menempatkan Indonesia di posisi kesembilan negara paling berpengaruh di Asia Pasifik.
Meskipun bukan kekuatan besar (great power), Indonesia memiliki diplomatic leverage yang besar —lebih dihormati karena tidak memiliki agenda ekspansionis.
Indonesia juga memiliki hubungan sangat baik dengan China dan Jepang sekaligus. Dengan China, hubungan ekonomi dan perdagangan sangat erat.
Dengan Jepang, hubungan diplomatik dan investasi kuat; dan pada Januari 2026 nanti hubungan dua negara memasuki usia ke-68 —simbol penting kedekatan historis dan kepercayaan jangka panjang.
Tidak banyak negara yang disukai kedua pihak yang sedang tegang.
Indonesia pun punya rekam jejak positif. Upaya meredam ketegangan di Laut China Selatan, serta diplomasi Indonesia dalam isu kemanusiaan global —termasuk keberhasilan Presiden Prabowo Subianto memfasilitasi langkah perdamaian Israel– Palestina —membuktikan bahwa Jakarta dapat memainkan peran lebih besar.
Jika Indonesia mengambil inisiatif memfasilitasi dialog China–Jepang, sejumlah manfaat langsung dapat diperoleh.
Pertama, stabilitas kawasan dan jalur perdagangan aman. Sebagian besar arus perdagangan Indonesia melewati perairan yang kini memanas. Konflik China–Jepang akan mengguncang rantai pasok, energi, dan ekspor Indonesia.
Kedua, peluang peningkatan investasi Jepang dan China. Kedua negara akan lebih percaya pada Indonesia sebagai mitra strategis jika Jakarta memainkan peran sebagai “anchor of stability”. Mediasi yang sukses dapat membuka gelombang investasi baru.
Ketiga, peningkatan reputasi diplomatik Indonesia. Jika sukses, ini menjadi prestasi internasional kedua setelah diplomasi kemanusiaan yang dibangun Presiden Prabowo Subianto.
Indonesia akan dipandang sebagai middle power yang berpengaruh. Dan, keempat, penguatan ASEAN. Indonesia dapat menarik ASEAN masuk dalam kerangka deeskalasi, menjaga relevansi organisasi regional tersebut.
Ketegangan China–Jepang bukan isu pinggiran. Jika dibiarkan, kawasan bisa terseret dalam spiral konflik yang sulit dibendung.
Pernyataan PM Takaichi tentang Taiwan dan reaksi keras Beijing telah membuka babak baru yang jauh lebih sensitif.
Justru saat inilah Indonesia —dengan kredibilitas diplomatik, jaringan hubungan kuat, dan sifatnya yang nonkonfrontatif— perlu tampil sebagai penengah.
Dunia membutuhkan jembatan, bukan bara api tambahan. Dalam suasana diplomasi yang kian keruh, suara tenang dari Jakarta sangat dibutuhkan.
Jakarta, 8 Desember 2025
*) Pemerhati Hubungan Indonesia–Jepang–China.

Posting Komentar untuk "Menanti Inisiatif Indonesia Memfasilitasi Dialog China–Jepang"