![]() |
| Nama Bandara Khusus IMIP Morowali, Sulawesi Tengah, belakangan ini mendadak menjadi sorotan nasional. (Foto: IMIP Morowali) |
Nama Morowali belakangan ini mendadak menjadi sorotan nasional. Menteri Pertahanan (Menhan) RI mengingatkan bahwa “tidak boleh ada negara dalam negara” ketika menyinggung aktivitas penerbangan di Bandara Khusus IMIP Morowali yang dinilai belum sepenuhnya berada di bawah kendali nyata perangkat negara.
Di sisi lain, Wakil Menteri Perhubungan (Wamenhub) RI menegaskan bahwa bandara tersebut sah, terdaftar, dan berizin sebagai bandara khusus di bawah pengawasan Kemenhub, lengkap dengan penempatan petugas lintas kementerian/lembaga. Dua pernyataan resmi ini sama-sama lahir dari pemerintah, tetapi menimbulkan kesan seolah-olah berbeda bahkan berseberangan di mata publik.
Pada titik inilah kacamata ilmu politik membantu dalam membaca kasus Morowali. C Wright Mills, lewat teori power elite, menjelaskan bahwa kebijakan strategis negara merupakan hasil interaksi, kompromi, bahkan tarik-menarik antara elite politik, militer, dan korporasi.
Samuel Huntington menambahkan spektrum aktor negara yang terdiri dari politisi, pebisnis, militer, dan ilmuwan, yang masing-masing membawa agenda dan kepentingan sendiri. Morowali menjadi contoh konkret ketika kepentingan keamanan nasional, investasi dan hilirisasi, serta birokrasi sektoral bertemu di satu simpul bernama Bandara Morowali.
Di ruang itulah panggung politik terbentuk, dengan ciri khasnya yaitu mengenai adu pengaruh dalam pergulatan kepentingan atau power struggle di antara elite.
Seorang negarawan Inggris abad ke-19, Lord Palmerston, pernah menegaskan bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.
Dari sudut pandang itu, pernyataan Menhan dan Wamenhub tampak sebagai bukan persoalan siapa benar dan siapa salah, tetapi pantulan dari perbedaan sudut kepentingan kelembagaan. Yang satu menyoroti aspek kedaulatan dan pertahanan, yang lain menekankan legalitas administratif dan kepastian investasi.
Karena itu, Morowali sebaiknya tidak dilihat semata-mata sebagai “bandara bermasalah”, melainkan miniatur dari kontestasi kepentingan elite negara. Dalam bahasa sederhananya tidak ada yang sepenuhnya benar, tidak ada yang sepenuhnya salah alias semua benar sekaligus semua salah dan itulah wajah dari dunia politik.
Setiap kegaduhan selalu menyimpan hikmah. Pelajaran pertama, Indonesia perlu menghidupkan kembali Dewan Penerbangan yang pernah berdiri pada 1955. Sebuah forum terpadu yang menyatukan Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, Kemlu, Kemendagri, TNI AU, Kementerian Keuangan, imigrasi, bea cukai, dan unsur lain yang berkaitan dengan pengelolaan ruang udara nasional.
Di era teknologi yang kian rumit, tidak ada lagi figur “superman” yang sanggup menyelesaikan segala masalah sendirian, yang dibutuhkan adalah “super team” dengan satu komando, satu koordinasi, dan satu kebijakan. Inilah esensi prinsip Unity of Command yang pernah digarisbawahi Henri Fayol, serta ditekankan kembali oleh Jenderal Giulio Douhet dalam doktrin air power.
Pelajaran kedua jauh lebih mendalam. Morowali berada di kawasan yang wilayah udaranya berada dalam wewenang pemerintah RI. Jika di kawasan yang ruang udaranya berada di bawah kekuasaan Indonesia saja bisa muncul isu tidak boleh ada negara dalam negara bagaimana dengan Tanjung Pinang dan Natuna yang selama ini wilayah udaranya berada dalam wewenang operasional otoritas asing? Maka logikanya, bukan mustahil kegaduhan yang lebih serius dari Morowali akan jauh lebih mudah terjadi.
Itu sebabnya Indonesia harus benar benar berdaulat penuh di wilayah udara nasionalnya. Indonesia harus berdaulat di wilauah udara di atas wilayah teritori NKRI.
Di sini penting dijelaskan makna “harus berdaulat di udara” di atas teritori NKRI. Sejumlah Guru Besar Hukum Udara antara lain Prof Priyatna, Prof Atip Latipulhayat, Prof Saefullah, dan Prof Pablo Mendes de Leon menekankan bahwa kedaulatan udara bukan sekadar garis batas di peta atau rumusan dalam undang-undang. Esensinya adalah kemampuan nyata menjalankan control of the air, penguasaan efektif atas langit sendiri.
Negara harus mengetahui siapa yang terbang, dari mana dan ke mana, untuk tujuan apa, dan setiap saat sanggup mengendalikan, mengarahkan, bahkan menghentikan aktivitas penerbangan yang membahayakan keamanan dan keselamatan nasional. Tanpa control of the air yang efektif, kedaulatan udara hanya menjadi jargon, bukan kekuatan riil.
Pada saat yang sama, kedaulatan udara juga mencakup kemampuan mengelola use of airspace dan menegakkan law enforcement di langit sendiri. Penggunaan ruang udara harus diatur, dipantau, dan bila perlu dikenai tindakan tegas bila terjadi pelanggaran, baik oleh pesawat sipil, militer, maupun aktivitas lain seperti drone dan penerbangan khusus.
Begitu kewenangan pengelolaan wilayah udara nasional diserahkan kepada pihak lain, betapapun tertib dan “legal” perjanjiannya, negara sesungguhnya melepaskan sebagian fungsi kedaulatannya. Itu berarti bahwa TNI Angkatan Udara tidak lagi memegang penuh instrumen komando dan kendali untuk menjalankan tugas pokok menegakkan kedaulatan negara di udara.
Deteksi, identifikasi, dan penindakan terhadap ancaman menjadi bergantung pada informasi dan “izin” otoritas asing. Padahal, Jean Bodin sejak lama mengingatkan bahwa kedaulatan pada hakikatnya tidak dapat dibagi.
Karena itu, pesan strategis dari Morowali sesungguhnya cukup jelas, yakni bereskan dahulu rumah sendiri di langit yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita.
Dalam hal ini segera percepat pengambilalihan dan penataan wilayah udara ex-FIR Singapura agar benar-benar berada di bawah kendali NKRI, baik secara yuridis maupun operasional.
Morowali adalah cermin tempat bangsa ini berkaca tentang pentingnya kedaulatan udara yang bukan hanya tertulis di atas kertas, tetapi hadir dan bekerja dalam praktik sehari-hari. Itulah esensi dari pertanyaan banyak pihak tentang ada apa gerangan dengan Morowali?
Jakarta, 2 Desember 2025
*) Pusat Studi Air Power Indonesia

Posting Komentar untuk "Sekali Lagi tentang Bandara Morowali"