Demokrasi dan Pilihan Rakyat

Dr Abdul Aziz. (Foto: Dok.pribadi)


Oleh Dr. Abdul Aziz, M.Ag. *)


Demokrasi memang bukan sistem pemerintahan yang terbaik. Socrates, filsuf besar Yunani, bahkan amat membenci demokrasi.

Sang filsuf mengibaratkan, jika mayoritas orang yang berada di kapal yang berlayar di tengah lautan menghendaki arah ke barat, padahal mereka tidak mengetahui navigasi, maka apa yang akan terjadi?

Kapal itu bisa tersesat. Karena itu, ujar Socrates, satu orang yang pintar navigasi jauh lebih penting dari 1.000 orang awam yang tidak tahu apa-apa.

Begitu pula halnya dengan demokrasi. Memilih sesuatu, kata Socrates, harus punya pengetahuan dan keterampilan. Socrates sebagai filsuf tidak mau pilihannya dalam demokrasi dinilai sama dengan tukang batu.

Nasib Socrates ternyata tragis. Ia dihukum mati karena demokrasi yang dibencinya.

Saat diadili karena dianggap buzzer, mayoritas hakim di pengadilan setuju Socrates dihukum mati. Ia pun tewas dibunuh pedang demokrasi.

Sistem demokrasi adalah warisan yang sangat tua dari budaya Yunani Kuno. Demokrasi telah diterapkan di Athena, 500 tahun sebelum Masehi. Hebatnya, saat ini, di dunia modern, demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan terbaik.

Yang menjadi soal, demokrasi macam apa? Pilihan rakyat yang bagaimana yang dianggap demokratis?

Dari pertanyaan seperti itulah, makna demokrasi berkembang. Kadang perkembangannya sangat liar--sehingga para diktator pun mengaku dirinya memerintah secara demokratis.  

Banyak diktator yang sengaja membajak suara rakyat untuk melanggengkan kekuasaan otoriternya. Mereka yang haus kekuasaan pun mengaku sebagai pemimpin yang demokratis.

Meski bukan sistem terbaik untuk mengatur negara, tapi dunia sepakat--demokrasi adalah cara terbaik untuk memilih pemimpin atau presiden. Kenapa? Karena, kemungkinan memanfaatkan sistem demokrasi untuk "kepentingan dan ambisi kekuasaan" sang presiden atau penguasa, jauh lebih kecil ketimbang sistem kenegaraan yang lain seperti  kerajaan dan militeristik. Walhasil, sistem demokrasi masih tetap diakui sebagai sistem terbaik di zaman modern.

Dunia terus berkembang. Begitu pula pengertian demokrasi. Tegaknya demokrasi modern, misalnya, kini harus ditopang dengan hak asasi manusia, etika, norma, moral, dan prinsip-prinsip kebaikan yang terus berkembang dari zaman ke zaman.  

Bagja Hidayat dalam tulisannya di Majalah Tempo (26/11/023), menggambarkan betapa demokrasi di dunia modern terus menerus mengalami ujian seiring dengan watak manusia yang terus berubah.

Mengutip Elwyn Brooks White, penulis buku anak-anak, dalam suratnya kepada Dewan Perang Amerika Serikat pada 3 Juli 1943, Bagja menulis: "Demokrasi adalah lekukan di topi kita, krim di kopi kita, lubang di saku baju kita yang pelan-pelan mengucurkan serbuk gergaji."

Demokrasi, tulis Bagja, adalah kecurigaan terus-menerus dari sebagian masyarakat. Dengan kata lain, demokrasi adalah hal-hal yang menopang hal lain yang lebih besar.

Jika kita baca How Democracies Die, Steve Levitsky dan Daniel Ziblatt menunjukkan bahwa demokrasi berjalan dengan apa yang tak tercantum dalam hukum tertulis, di luar konstitusi, yakni hasrat manusia.

Demokrasi Amerika, kata Levitsky dan Ziblatt, bisa bertahan empat abad karena para pemainnya bisa mengendalikan diri untuk tidak sewenang-wenang memakai kekuasaan, betapapun sah secara hukum.

Di negara-negara "demokratis" yang presidennya tak bisa menahan diri, kekuasaan jatuh ke dalam otokrasi. Alberto Fujimori di Peru, misalnya, memakai dekrit untuk membubarkan parlemen karena tak sabar dengan proses demokratis yang alot. Ferdinand Marcos di Filipina, membajak demokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya yang otoriter.

Rusia jatuh ke dalam otoritarianisme karena presidennya memakai kekuasaan yang eksesif untuk mengontrol banyak hal. Amerika hampir jatuh ke jurang otokrasi ketika Donald Trump tak menahan diri: mengangkat anak dan menantu menjadi penasihatnya sendiri.

Demokrasi Amerika Serikat selamat dan negara itu keluar dari cengkeraman pemimpin otokrat seperti Donald Trump karena demokrasi menyiapkan jalan keluarnya: pemilu. Melalui pemilu yang reguler, seseorang tak akan berkuasa selamanya. Dengan pemilihan yang rutin, otoritarianisme bisa dicegah.

Dengan demikian, publik, pemilik kekuasaan sesungguhnya, memakai pemilu untuk mengontrol kekuasaan lalim dan mengembalikan demokrasi.

Demokrasi, memang bukan yang terbaik. Tapi demokrasi merupakan sistem politik yang mengakui kelemahan-kelemahannya sendiri. Dalam kelemahan itu, demokrasi mencari jalan untuk memperbaiki diri.

Lalu bagaimana demokrasi di Indonesia? Sejarah mencatat, Soeharto membajak demokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya.

Tapi sejarah juga mencatat, pengganti Soeharto, yaitu BJ Habibie, justru memuliakan demokrasi dengan etika.

Ceritanya, setelah Habibie dijatuhkan MPR karena laporan pertanggungjawabannya ditolak Senayan, sejumlah politisi meminta Habibie untuk mencalonkan diri lagi sebagai Presiden RI. Saat itu, sejumlah politisi melihat rakyat masih menyukai Habibie yang telah berhasil menyelamatkan Indonesia dari resesi ekonomi dahsyat pasca kejatuhan Soeharto, tahun 1998. Tapi mayoritas politisi di Senayan telah menjatuhkan Habibie.

Lalu apa kata Habibie? Secara etis, ia menyatakan tidak bisa menyalonkan diri sebagai presiden, karena partainya, Golkar, menolak laporan pertanggungjawabannya.

Habibie yang jadi idola rakyat pun, akhirnya tidak mau menyalonkan diri sebagai presiden karena alasan etika. Di sini, Habibie --kata pengamat politik Eep Saifulloh Fatah-- telah menunjukkan kenegarawannya sebagai seorang pemimpin.

Serupa dengan Habibie, Mandela, Presiden Afrika Selatan (Afsel) tidak mau menyalonkan diri lagi sebagai presiden untuk kedua kali, meski kesempatan untuk menang dalam pilpres sangat besar. Mandela lebih mengutamakan generasi muda untuk memimpin Afsel.

Yang menarik, Mandela berujar: "Menjadi rakyat pun tetap mulia dan bisa berperan memperbaiki bangsa dan negara. Ini selaras dengan konsep kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa sikap rakyat sangat mempengaruhi baik buruknya suatu pemerintahan."

Dua contoh tersebut menunjukkan, betapa demokrasi harus dibarengi dengan etika. Jadi bukan sekadar --pinjam istilah Gibran Rakabuming Raka, wali kota Solo-- demokrasi adalah pilihan rakyat.

Menurut Eep Saifulloh Fatah, demokrasi bukan hanya harus tergambar dari pilihan rakyat, tapi juga harus tergambar dari proses dan tahapannya. Seseorang yang dicalonkan jadi presiden secara demokratis, kata Eep, harus melalui tiga tahapan.

Pertama tahapan seleksi. Ini tahapan awal pemilihan calon presiden. Apakah tahapan seleksi sudah memenuhi prinsip demokrasi? Jika tidak, berarti demokrasi itu cacat.

Kedua tahapan delivery, yang di dalamnya ada kontestasi atau kampanye dengan segala atributnya. Ketiga, tahapan eleksi. Ini tahapan pencoblosan di bilik suara.  

Apakah dalam tahapan delivery dan eleksi sudah memenuhi asas demokrasi? Jika tidak, berarti pilpres itu berlangsung tidak demokratis. Dengan kata lain, cacat dari aspek demokrasi dan hukum.

Dari perspektif inilah, kita bisa menilai apakah pilpres di Indonesia berlangsung secara demokratis atau tidak.

Anda pasti bisa menjawabnya sendiri. Masalah keputusan MK Nomor 90 Tahun 2023 adalah jawaban, apakah pilpres di Indonesia berlangsung demokratis atau tidak.


Surakarta, 9 Desember 2023

*)  Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.