Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapinya

Prof Agus Pramusinto. (foto: gebrak.id)

Oleh Prof Agus Pramusinto *)

Berbicara soal ideologi sebagai nilai yang dijunjung tinggi, saya kira setiap negara memilikinya. Kita punya Pancasila dengan tema-tema besar: “Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial”.

Singapura punya “Openness, Multiculturalism, Self-determination”, walaupun tidak dirumuskan sebagai ideologi negara dengan sebutan Tigasila. Amerika Serikat: “Independence, Equality, Individualism, Privacy, Democracy, Nationalism, Work Ethics, Directness, Innovation, Consumerism, Time, Informality, Adjusting to American values” (ada 13 tema besar).

Tiap negara juga dihadapkan pada pekerjaan rumah (PR) bagaimana bisa menjaga nilai-nilai tersebut agar tidak merusak sendi-sendi kehidupan bangsa di negara masing-masing. Indonesia harus mempertahankan Pancasila agar tidak mengalami perpecahan baik kedaerahan maupun antarkelompok. Singapura harus kerja keras menjaga multikulturalisme agar tidak terulang racial riot antara Malay versus Chinese tahun 1964 (misal multikulturalisme dalam pengisian posisi: birokrasi, polisi, pendidik, politisi, dll).

Atau Amerika tidak mau mengulang peristiwa kerusuhan ras yang terus terjadi baik peristiwa Martin Luther King Jr (Memphis, Tennesee, 1968), Miami (1980), Rodney King (Los Angeles, 1992), dan belakangan kasus George Floyd (Minnesota, 2020), dll.

Bagaimana di Indonesia? Dengan Pancasila, kita mampu merawat Indonesia yang merupakan negara besar dengan kebhinekaan yang luar biasa: suku, agama, ras, budaya, bahasa, dll. Penduduk 280 juta lebih menyebar dari Sabang sampai Merauke. Sampai detik ini kita masih mampu menjaga dan merawatnya dengan baik walaupun berbagai peristiwa mengkhawatirkan beberapa kali terjadi.

Gerakan upaya menggantikan Pancasila; baik yang kelompok komunisme dan agama pernah terjadi. Peristiwa Madiun, Pemberontakan untuk membentuk Negara Islam dan di Papua, Maluku, Aceh, gerakan-gerakan lainnya.

Kontestasi ideologi Pancasila versus ideologi lainnya tidak berhenti. Di pertengahan 1980-an saya sudah merasakan gerakan yang menawarkan sistem baru. Saya masuk ke sana tanpa sengaja karena yang ditawarkan adalah program pesantren Ramadhan. Ternyata isinya ceramah kelompok radikal walaupun di sana-sini ada penceramah moderat seperti Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, dan Adabi Darban.

Kelompok radikal menyusup ke anak-anak muda dan mencuci otak dengan gagasan yang sering bertentangan dengan pesan agama itu sendiri. Misalnya, menjadi pegawai negeri sipil (PNS) itu haram, menghormati bendera haram, dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi juga haram sampai pengeboman Candi Borobudur (lihat juga kasus Bali dll). Saat itu, hanya 50 persen peserta yang mampu bertahan. Selebihnya, tidak kuat dan mengundurkan diri dari kegiatan (tiap hari didoktrin satu per satu oleh beberapa orang yang memanggil peserta ke ruangannya).

Era 1980-an gerakan keagamaan mungkin berbeda dengan sekarang. Dulu teman kuliah saya hanya satu yang menggunakan hijab dari 75 orang. Sekarang yang tidak berhijab menjadi minoritas. Tapi gerakan saat itu sudah banyak yang keras.  

Tahun 2006-2016 ketika saya memimpin program magister, saya sering mendengarkan diskusi anak-anak muda. Sebagian dari mereka mempertanyakan soal sistem yang kita bangun apakah mampu menjawab kesejahteraan? Dengan kekecewaan yang mereka rasakan, mereka memberikan jawabannya: Agama dari Tuhan dan sistemnya yang akan menyelesaikan. Artinya, masih ada kelompok yang mencoba mencari jalan lain karena realitas yang dihadapi dianggap mengecewakan.

Ada orang-orang yang berpandangan dualistik di mana agama dan Pancasila selalu dihadap-hadapkan berada di sisi yang berbeda. Pancasila dan UUD dihadapkan dengan Al Quran dan Hadits. Yang kemudian membius untuk tidak mempercayai buatan manusia. Tantangan kita: Bagaimana membuat pandangan mereka bahwa mereka yang menganut agama (apapun) sekaligus adalah pengamal Pancasila yang baik, sebaliknya, mereka yang menjalankan Pancasila adalah penganut agama yang baik.

Masih ada dua kelompok: mereka yang menggunakan agama sebagai label di mana sistem ‘agama x” harus menjadi sistem pemerintahan, dan ada yang menggunakan agama sebagai value yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan (jujur, amanah, akuntabel, transparan, berkeadilan, dll) tanpa harus menyebut label agamanya. Bagaimana anak muda bisa memahami bahwa nilai-nilai agama bisa menjadi basis penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan kemudian menyejahterakan warga.

Mereka masih ada yang percaya kalau tidak menyebut “sistem agama” maka seluruh turunannya menjadi haram. Padahal, agama sebagai sebuah sistem nilai ada yang sudah menawarkan hal operasional (hukum waris, hukum pernikahan?), dan ada yang perlu diterjemahkan lagi yang lebih kongkrit melalu UU, PP, aturan teknis, dan instrumen lain lain. Agama memberikan nilai agar penyelenggaraan pemerintahan harus akuntabel. Bagaimana caranya akuntabel bisa dengan berbagai instrument: harus ada laporan kepada publik; penggunaan teknologi yang memungkinan warga ikut mengawasi; perlu lembaga pengawasan independen; kebijakannya harus diuji publik lebih dahulu dll (Di sini tidak ada petunjuk teknis di kitab suci manapun)

Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membumikan sila-sila Pancasila dalam kehidupan bernegara dan kehidupan sehari-hari. Ada inkonsistensi dan paradox. Masih banyak yang teriak Pancasila tapi perilakunya tidak mencerminkan Pancasila. Penegak hukum yang membelokkan hukum, pejabat diberi kekuasaan tapi korup, hakim yang tidak adil, pembuat kebijakan yang tunduk pada pemilik modal dan eksploitatif pada rakyat kecil, ada ketimpangan, diskriminasi, ketidakadilan, dan lain-lain. Hal-hal ini yang kemudian mendelegitimasikan Pancasila sebagai panduan way of life bangsa.

Pancasila belum menjadi working ideology: diakui kebenarannya, dimengerti, dipahami, dihayati, dan dipraktikkan. Dan di sini tantangannya: apakah seluruh sistem yang kita bangun mempraktikkan nilai-niai Pancasila (sistem ekonomi, sistem hukum, sistem politik, sistem bisnis, sistem pemerintahan, sistem birokrasi). Kita sudah jelas menolak ide komunisme, tetapi jangan-jangan kita mempraktikkan kapitalisme yang tidak berpihak pada rakyat kecil.

Kita jangan sampai salah kalau mengkhawatirkan para generasi muda, padahal problemnya di generasi kita yang tidak mempraktikkan Pancasila. Anak muda mungkin hopeless lihat pertunjukkan kita-kita yang jauh dari praktik baik.

Kita tidak ingin Indonesia jadi melting pot untuk asimilasi yang cenderung didominasi oleh mayoritas (bubur yang tidak bisa dilihat lagi ada santan, kecap, saos, kecuali unsur beras yang dominan). Kita ingin Indonesia jadi salad bowl di mana masing-masing masih nampak karakteristik yang berbeda, tetapi ada pengikatnya. Sukunya tetap ada: Aceh, Batak, Jawa, Madura, Bali, Makassar, Ambon, Papua, China, Arab, India  dlll. Agama tetap ada: Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu dan lainnya. Diperlukan sebuah pengikat dari perbedaan yang diterima semua pihak tanpa kehilangan identitas aslinya.

Kita harus belajar dari era Orde Baru di mana diseminasi Pancasila yang doktriner tanpa ruang dialog justru menimbulkan resistensi dan perlawanan dari sebagian kelompok masyarakat. Pancasila harusnya menjadi ideologi terbuka yang dinamis dengan nilai-nilai yang berkembang.

Berbicara terkait dengan ideologi dengan CPNS yang rata-rata milenial memang tidak mudah. Banyak kalangan milenial yang tidak mengenal sejarah. Yang mereka pahami adalah zaman kini saja. Lingkungan menawarkan banyak hal yang mungkin lebih menarik. Amerika maju dengan sistemnya sendiri, Arab Saudi kaya dengan sistemnya sendiri, Jepang dan Korea juga sukses dengan sistem yang mereka pilih sendiri, China juga melejit dengan sistem yang berbeda? Lalu, mereka meloncat dengan kesimpulan: ideologi apapaun tidak masalah...Tugas berat kita adalah menjelaskan kepada mereka bagaimana ideologi yang ada untuk kita pertahankan.

Dalam berbagai diskusi, banyak anak muda yang dengan mudah menarik kesimpulan atas kegagalan kita dalam membangun selama ini untuk berpaling mencari alternatif lain. Sistem dan ideologi kita tidak menjawab masalah yang kita hadapi, kenapa kita tidak coba sistem yang baru: syariah Islam atau Kristen atau ideologi kapitalisme atau komunisme? Dalam kategori yang paling ringan: masih perlukah sebuah ideologi?

Partai yang berbasis keagamaan dan eksklusif relatif juga tidak cukup mampu menarik suara. Mungkin ini indikasi bahwa ideologi yang kita anut selama ini masih diterima oleh mayoritas bangsa kita. Agama sebagai pengganti Pancasila juga tidak menjadi tawaran yang diterima.
    
Kondisi sekarang sudah sangat berubah, bagaimana pemahaman dan penerapan Pancasila sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Bagaimana para ASN mengambil posisi ketika situasi konflik. Sangat perlu diberikan studi kasus dengan kondisi kontekstual. Contohnya kalau ada conflict of interest, kalau ada tekanan dari atasan, dll bagaimana sikap yang harus diambil oleh seorang ASN. Bagaimana nasionalisme dinilai: apakah orang bekerja di luar negeri tidak memiliki nasionalisme? (ini sering terjadi dalam pemberian beasiswa)

Tahun 2024 adalah tahun politik di mana ada pileg dan pilpres pada 14 Februari 2024, serta pemilihan kepala daerah serentak untuk 548 daerah (gubernur dan bupati/walikota). ASN sebagai perekat NKRI. Akan tetapi ada 2,034 pelanggaran pada Pilkada 9 Desember 2020. Friksi dan konflik horizontal sangat potensial. Sisa Pilkada DKI dan Pilpres 2019 seakan bersemi lagi. Konflik horisontal dengan pengelompokan cebong dan kampret harus kita lihat sebagai kenyataan politik yang mungkin akan membesar tahun depan.

UU Nomor 5/2014 sudah membangun sistem kepegawaian yang berdasarkan merit dengan mengedepankan: kompetensi, kinerja, dan integritas. Sistem ini menggantikan sistem spoil yang penuh KKN baik kesukuan, afiliasi politik, agama, kekerabatan, dan pertemanan. Harapannya, ASN tidak ikut terlibat dukung—mendukung dalam politik praktis yang membuat ASN terganggu tugasnya sebagai pelayan publik. Ketika pesta demokrasi, ASN boleh memilih di bilik suara dan setelah selesai harus solid dengan kerja-kerja pembangunan dan pelayanan.

Kalau pun bukan berbau SARA, gesekan karena pemilu akan membuat kerja pemerintah di level apapun tidak efektif. Ada distrust kepada siapapun yang menang, yang gilirannya, pemegang pemerintahan kesulitan menjalankan kebijakannya. Lihat di Facebook, Twitter, dan Instagram mulai perang antarpendukung calon presiden yang sangat keras. Di atas bisa saja Pak Jokowi dan Pak Prabowo selesai, tapi di bawah tidak bisa serta-merta dianggap mengikuti yang di istana. Persatuan mau dibawa ke mana bangsa ini? Para elite tidak boleh diam saat melihat pendukungnya sekadar membela tetapi menciptakan benturan di masyarakat.
 
Kalau soal masalah semua sudah tahu. Masih ada kelompok yang mempersoalkan Pancasila. Yang jadi pertanyaan: bagaimana cara mengatasinya? Masih cukup efektifkah cara-cara kita selama ini? Semua yang tidak puas dengan kehidupan kemudian mencoba mencari pilihan, kemudian dianggap sebagai anti-NKRI, anti-Pancasila, dan anti UUD, yang lantas dianggap sebagai penjahat yang kemudian dipenjarakan?

Bisa dicontoh di Brunei, rakyat atau tokoh yang tidak sejalan akan dirangkul dan diperlakukan dengan baik sampai kemudian mereka sendiri merasa memiliki kepercayaan kepada pemerintah.



*) Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara ASN
(disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?" yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis, 25/5/2023)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.