Jogja 'cen' Istimewa (7): Waduh, Judul Apa Itu?

Anif Punto Utomo.
 

Oleh Anif Punto Utomo *)

Bagi mahasiswa di Jogja yang masuk generasi milenial, tidak paham dengan judul tersebut. Apalagi Gen Z yang kehidupannya tersedot oleh layar telepon genggam.

Tapi untuk mahasiswa yang kuliah pada 1980-an, yang setiap bangun dini hari sering mendengar suara drumband, semestinya akrab dengan kalimat ‘nyeleneh’ itu, paling tidak pernah dengar satu atau dua kata. Perkecualian, mahasiswa yang masuk kategori ini: mahasiswa darah biru, mahasiswa amtenar, mahasiswa alim, atau mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang).

Pernah dengar kata ‘dagadu’? Pernah harusnya, karena itu merek kaos terkenal di Jogja karya anak-anak UGM. Kata ‘dagadu’ itu satu aliran dengan judul di atas yakni hasil olah kalimat bahasa ‘walikan’ khas Jogja.

Dalam makalah berjudul ‘Basa Walikan Slang Jawa’ yang ditulis Nur Fadly Hermawan dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahasa walikan gaya Jogja merupakan basa yang dirumuskan dari aksara Jawa.

Dulunya bahasa walikan adalah bahasa sandi yang digunakan oleh para pejuang saat di Jogja untuk berkomunikasi satu sama lain guna menyusun strategi untuk melawan agresi Belanda. Maklum saat itu banyak prajurit Belanda yang memahami bahasa Jawa sehingga jika tidak menggunakan bahasa sandi rencana bisa-bisa bocor.

Setelah Belanda kabur, bahasa walikan tak lagi bahasa sandi tetapi menjadi bahasa yang terbuka, meskipun tetap masih banyak yang tidak tahu. Ketika fenomena preman (di Jogja disebut gali--gabungan anak liar) muncul pada 1970-an, bahasa walikan digunakan sebagai sarana berkomunikasi untuk mengelabui polisi. Jadi menjadi bahasa sandi para gali.

Secara umum bahasa walikan mulai mewabah di kalangan anak-anak muda, termasuk mahasiswa pada 1980-an. Tapi karena yang mempopulerkan para gali, maka mewabahnya juga lebih ke mereka yang  ‘dolane adoh, kopine kenthel’ (anak nongkrong, banyak bergaul). Bahasa walikan menjadi identitas anak muda gaul.

Kota Malang juga punya bahasa walikan. Tetapi sangat berbeda. Walikan Malang relatif sederhana, yaitu tinggal membacanya saja secara terbalik dari belakang. Kata Malang misalnya, menjadi Ngalam. Kata arek, menjadi kera. Jadi kalau menyebut ‘arek Malang’ Bahasa gaulnya ‘kera Ngalam’.

Walikan Jogja ini istimewa sehingga harus dilestarikan. Tiga hal yang membuat istimewa. Pertama kosa kata yang digunakan sebagai walikan berbasis pada huruf Jawa kuno yakni  ‘ho no co ro ko...dst’. Kedua meskipun walikan, tetapi tidak sekadar membalik kata, melainkan memakai rumus khusus. Ketiga, secara tak langsung melestasikan aksara Jawa kuno.

Jika ingin mempraktikkan, begini tahapan dan rumusannya.

1. Pahami aksara Jawa kuno:

(1) Ha Na Ca Ra Ka
(2) Da Ta Sa Wa La
(3) Pa Dha Ja Ya Nya
(4) Ma Ga Ba Tha Nga

2. Baris (1) digandengkan dengan (3), dan baris (2) dengan (4) dan berlaku bolak-balik.

Jadinya:
Ha  Na   Ca  Ra   Ka      Da  Ta  Sa  Wa  La
 I     I       I       I      I             I       I     I     I      I
Pa  Dha  Ja  Ya  Nya     Ma  Ga Ba Tha Nga

3. Contoh ambil kata sapaan 'mas'. Kata 'mas' dalam penulisan aksara Jawa memerlukan huruf Ma dan huruf Sa. Dalam rumus itu, Mo bergandengan dengan Da, sedangkan Sa bergandengan dengan Ba. Jadi huruf ‘m’ menjadi ‘d’, dan huruf ‘s’ menjadi ‘b’. Hasilnya ‘mas’ menjadi ‘dab’.

Contoh lain Po bergandengan dengan Ha, Ra dengan Ya. Jadi bahasa walikan ‘hire’ terjemahan dari ‘piye’. ‘’Hire dab’’ sama dengan ‘’piye mas’’. Nah kalau ‘’poya mothik panyu’’ dan ‘’dagadu’’, silakan utak-utik sendiri.

Lantaran bahasa walikan ini banyak dipakai orang-orang jalanan, maka ada beberapa kata langsung mengarah pada konotasi negatif. Lodse misalnya, secara harafiah artinya 'ngombe’ (minum), bisa minum teh, kopi, air putih dan sebagainya. Tetapi karena yang memakai anak jalanan, maka lodse identik dengan minum minuman keras.

Sebetulnya bahasa slang sebagai bahasa gaul yang dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh anak muda dimiliki banyak daerah. Bahkan menjadi bagian dari budaya dan sekaligus identitas daerah. Biasanya percakapan dengan slang membuat suasana obrolan lebih santai dan akrab. Kehadiran bahasa walikan Jogja ini turut melengkapi.

Sejauh ini tampaknya belum ada publikasi kredibel yang menulis tentang siapa yang menciptakan rumus walikan tersebut. Tapi siapapun penciptanya, pastilah orang yang kecerdasannya istimewa, seistimewa Jogja.


*) Jurnalis Senior, Peneliti Moya Institute

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.