Saksi PT ASDP Christine: Kerja Sama Usaha PT ASDP dan PTJN Menguntungkan

Tiga terdakwa kasus korupsi PT ASDP Ferry. (Foto: X @kenhans03)


JAKARTA -- Christine Hutabarat, saksi kasus dugaan korupsi pada akuisisi PT ASDP Ferry Indonesia terhadap PT Jembatan Nusantara (JN) yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) menyampaikan bahwa kerja sama usaha (KSU) yang dilakukan kedua perusahaan itu menguntungkan. 
 
“Benar kerja sama itu menguntungkan, market share PT ASDP juga bertambah,” kata  Christine, mantan direktur Perencanaan & Pengembangan ASDP, periode 4 April 2019 - 20 Juni 2020 yang dihadirkan JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (7/8/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam perkara ini terdapat tiga terdakwa, yakni Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (2017-2024) Ira Puspadewi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP (2020-2024) Harry  Muhammad Adhi Caksono, serta Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP (2019-2024) Muhammad Yusuf Hadi. 
 
Christine juga membenarkan bahwa dirinya menganjurkan agar kerja sama itu diperpanjang. Hal tersebut tercatat dalam risalah rapat direksi April 2020. Menjawab pertanyaan JPU, Christine menambahkan bahwa “Itu sesuai misi perusahaan ASDP sebagai BUMN yang harus untung tapi juga harus menjadi agen pembangunan dengan menyediakan kapal untuk daerah 3T, daerah tertinggal, terluas, dan terdepan." 
 
Goenadi, pembela tiga mantan direksi PT ASDP yang menjadi terdakwa kasus akuisisi PT JN oleh PT ASDP, menanyakan apakah saksi ingat berapa keuntungan ASDP dari kerja sama usaha ini? Christine menjawab, “Keuntungannya adalah Rp 5 miliar.”  

Tepatnya, kata Goenadi, “Keuntungannya adalah Rp 6 miliar di tahap pertama dan  Rp 5 miliar di tahap kedua, jadi selama kerja sama dua tahun Rp 11 miliar.” 
 
Christine membenarkan bahwa pembiayaan kerja sama usaha itu berasal dari hasil penjualan tiket dari kapal yang dioperasikan oleh kedua perusahaan dan dibayarkan dengan sistem reimbursement. “ASDP tidak mengeluarkan permodalan sendiri, PT JN membiayai sendiri operasionalnya dengan sistem reimbursement,” ujar Goenadi. 
 
JPU lantas mencecar Christine soal Kerja Sama Usaha PT ASDP dan PT JN dengan berbagai pertanyaan seputar landasan kerja sama itu. Dalam kesaksianya Christine menyebutkan bahwa kerja sama itu sudah mendapatkan surat rekomendasi dari Kementerian BUMN dan Dewan Komisaris sebelum perjanjian kerja sama diteken 23 Oktober 2019. 
 
Kerja sama itu sendiri, lanjut Christine, dilakukan setelah ada kajian dari NMP Consultant dan Lembaga Manajemen FE Universitas Indonesia (UI), keduanya adalah vendor yang sering dipakai UI. Dalam kajian NMP konsultan, kerja sama itu dianggap feasible untuk kajian 7 kapal yang dimiliki oleh PT JN. 

“PT NMP Consultant itu berulang kali dipakai oleh PT ASDP untuk melakukan kajian,” kata Christine. Adapun kajian yang lebih luas, yakni keseluruhan kapal PT JN dilakukan oleh Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI. Hasilnya kerja sama itu juga feasible. 
 
“Dari hasil kajian tim internal dan konsultasi dari luar, dan hasilnya kerja sama itu layak,” kata Christine. “Kajian ini sudah komprehensif, ada kajian teknis, geografis, mitigasi risiko, analisi finansial."  
 
Hakim sempat bertanya soal kenapa ada dua perjanjian kerja sama pada 23 Agustus 2019 dan 30 Oktober 2019. Christine menjelaskan bahwa perjanjian yang pertama mengatur hal umum dan belum mengatur hal teknis seperti revenue sharing. 

“Sebelum kerja sama itu memang sudah ada follow up rapat-rapat dengan Kementerian BUMN dan sudah ada konsultasi dengan konsultan independen,” ujar Christine. "Dan baru detail teknis perjanjian dituangkan dalam perjanjian kerjasama 30 Oktober.”


(ark)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.