Izinkan Aku Tinggal di Penjara

Mila Muzakkar saat mengajar di Lapas Anak. (Foto: Istimewa)
Oleh Mila Muzakkar *)
(Puisi esai ini dibuat untuk merespons seorang narapidana yang viral karena menolak bebas dari penjara, dan dikembangkan dari pengalaman penulis mengajar remaja di Lapas Salemba tahun 2017–2018.)
***
Di matanya, ada getir yang seperti tak selesai dicuci air mata.
Tangannya diremas-remas, seolah sedang menggenggam sisa-sisa harapan yang hampir punah.
“Aku tidak mau bebas, Pak. Aku mau di sini saja.”
Kalimat itu meluncur lirih, separuh memohon, separuh pasrah pada nasib.
Rohim, penghuni Lapas Kelas IIA Kotabumi, Lampung Utara (1), memilih tinggal di penjara ketimbang pulang ke dunia luar yang tak menjanjikan cinta.
“Aku bingung mau ke mana. Orang tua sudah tak ada. Adik perempuanku sudah menikah, tak mungkin aku tinggal bersamanya dan suaminya. Izinkan aku untuk tetap di penjara ini.” Nada-nada pilu mengalun dari bibirnya.
Bagi Rohim, dunia luar bukan kebebasan. Ia adalah luka yang menunggu untuk kembali menganga.
Di luar, hidup adalah labirin tanpa petunjuk arah.
Di penjara, setidaknya ia tahu pukul berapa harus bangun, ke mana harus melangkah, apa yang harus dikerjakan.
Makan tempe dan tahu lebih menenteramkan daripada kenyataan bahwa dunia di luar sana bisa saja membiarkannya kelaparan.
Tidur berhimpitan di lantai yang dingin rasanya lebih aman daripada menatap langit luas tanpa tahu harus menuju ke mana.
Setiap pagi, penghuni lapas berhamburan mengikuti apel. Olah fisik. Bersih-bersih lingkungan.
Lalu pembinaan rohani-ibadah bersama dan mendengar ceramah-dan pelatihan keterampilan, yang katanya “modal hidup setelah bebas”.
Ironis.
Hidup di antara jeruji besi kadang tampak lebih teratur daripada hidup di luar, di mana kerasnya persaingan pekerjaan menunggu bagai harimau lapar.
Indonesia mencatat sebanyak 7,46 juta pengangguran di tahun 2025 (2). Kebanyakan adalah mereka yang sudah belajar 12 tahun tapi tetap dibiarkan bingung menghidupi diri.
Lalu bagaimana dengan mereka yang menyandang status “mantan narapidana”?
Stigma itu seperti palung yang menelan masa depan mereka bulat-bulat. Masyarakat sering ingin menjadi Tuhan. Dengan beringas memvonis manusia lainnya.
***
Tumpukan skill tak pernah menjamin terbukanya peluang kerja, terlebih bagi para mantan narapida.
Bukan hanya karena lapangan kerja yang tak tersedia, tapi juga otak-otak manusia di luar sana yang belum terdidik dengan benar.
Di luar sana, para mantan narapidana dipandang sebagai jiwa-jiwa rusak. Tak bermoral, tak layak, tak suci. Sampah masyarakat, katanya.
Anton, salah satu remaja yang pernah kudampingi, berkata: “Untuk apa saya belajar? Keluar nanti juga nggak ada yang mau terima.”
Baginya, masa depan adalah serpihan kaca yang tak bisa ia rekatkan kembali. Kalah oleh stigma.
Kalah oleh “Tuhan-Tuhan kecil” yang menghakimi lebih cepat daripada memahami.
Remaja lain berkata dengan wajah polos: “Cita-cita saya pengen kayak Freddy Budiman. Hidupnya enak, cuma duduk di penjara, tapi uangnya ngalir terus.”
Kalimat itu menamparku seperti angin dingin di malam panjang. Betapa para remaja ini kehilangan sosok yang layak dicontoh. Cita-cita mereka direbut oleh dunia yang tak pernah memberi ruang aman bagi kesalahan.
Para petugas Lapas bekerja keras, tapi seringkali lupa bahwa keterampilan hidup bukan hanya soal menjahit, menyablon, bengkel, komputer, atau mesin kopi.
Hidup jauh lebih rumit dari daftar pelatihan yang ditempel di papan pengumuman.
Dunia bergerak cepat, melampaui kereta cepat Jakarta–Bandung. Teknologi berlari tanpa menoleh ke belakang. Tapi para penghuni Lapas masih diajari berjalan pelan, tanpa diberi bekal mental untuk berlari mengejar zaman.
Yang dibutuhkan bukan sekadar disiplin dan peraturan. Peraturan memaksa orang patuh. Tetapi kesadaranlah yang membuat seseorang berubah.
Yang dibutuhkan adalah rumah kembali. Pekerjaan yang layak. Penerimaan yang tulus. Kebesaran hati dari masyarakat yang katanya terdidik.
Agar tak ada lagi Rohim-Rohim lain yang merasa dunia luar lebih menakutkan dari balik jeruji.
Agar tak ada lagi anak muda yang lebih ingin jadi bandit terkenal daripada manusia yang berjalan dalam kebenaran.
Bukan karena mereka tak mau berubah, tapi karena dunia tak pernah memberi mereka kesempatan untuk memperbaiki diri.
Agar tak ada lagi manusia yang meminta izin untuk tinggal selamanya di penjara.
Sebab jiwa mereka berhak terbang layaknya merpati. Berhak melintasi batas-batas. Berhak mengecap kebebasan yang sesungguhnya.
Dan kita, yang merasa lebih pandai, lebih suci, lebih bebas, berutang pada mereka.
Kita bertanggung jawab untuk memastikan pintu harapan tetap terbuka, bahkan untuk jiwa yang paling lelah sekalipun.
Depok, 25 November 2025
Referensi
(1) https://aceh.tribunnews.com/news/998282/viral-narapidana-di-lampung-tak-mau-bebas-dari-penjara-alasannya-bikin-pilu.
(2) https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2025/11/05/2479/tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-85-persen--rata-rata-upah-buruh-sebesar-3-33-juta-rupiah-.html
(3) cerita salah satu narapida yang penulis damping saat memfasilitasi Program Pendidikan Literasi Damai di LAPAS Salemba. Program ini diinisiasi oleh Yayasan Generasi Literat Indonesia (Generasi LIterat)
(4) cerita salah satu narapida yang penulis dampingi saat memfasilitasi Program Pendidikan Literasi Damai di LAPAS Salemba. Program ini diinisiasi oleh Yayasan Generasi Literat Indonesia
*) Founder Generasi Literat

Post a Comment