Urgensi Pembentukan TGPF: Jangan Ada Dusta di Antara Kita!
Hendardi. (Foto: dpr.go.id/setara institute)
Oleh Hendardi *)
Setelah enam lembaga nasional HAM (LNHAM), yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komite Nasional Disabilitas (KND), dan Ombudsman RI membentuk Tim Independen Pencari Fakta peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan Agustus-September 2025, Pemerintah RI melalui Menko Hukum Yusril Ihza Mahendra menganggap tidak penting pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Adapun pernyataan dari saya sebagai berikut. Pertama, pembentukan TGPF oleh Presiden RI akan memiliki otoritas sekaligus daya tagih publik yang lebih kuat. Jangan mendustai fakta bahwa hasil investigasi dan penyelidikan dari organ-organ yang tidak berangkat dari kehendak politik (political will) dan otoritas Presiden RI, cenderung diabaikan oleh Negara dan Presiden sebagai Kepala Negara.
Dengan legitimasi otoritatif yang kuat, Kepala Negara bisa mendorong TGPF untuk membuka tabir “huru-hara Agustus” seterang-terangnya. Di sisi lain, publik juga bisa menagih Kepala Negara untuk menjamin hak publik untuk tahu (right to know), hak publik untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang (principle of non-repetition), dan pemberian hukuman yang memberikan efek jera bagi para dalang dan pelaku intelektual di balik huru-hara.
Kedua, bukti-bukti permulaan mengenai dalang, pola operasi, dan aktor-aktor lapangan yang terlatih sudah sangat benderang untuk menyatakan bahwa “huru-hara akhir Agustus” merupakan sebuah peristiwa luar biasa (extra ordinary). Jangan mendustai fakta-fakta permulaan tersebut bahwa huru-hara yang mengorbankan nyawa warga negara, merusak fasilitas umum, merugikan kepentingan bersama, dan menjarah properti individu diduga dilakukan oleh orang-orang terlatih, diorganisasi dan dimobilisasi untuk kepentingan dan agenda terselubung tertentu.
TGPF merupakan wahana yang tepat untuk mengungkap peristiwa seterang-terangnya dan lembaga-lembaga HAM nasional bisa menjadi bagian di dalam TGPF tersebut.
Ketiga, pembentukan TGPF akan menyampaikan pesan kepada seluruh pihak dan terutama seluruh rakyat bahwa negara hadir untuk mewujudkan tujuan pemerintahan negara. Pemerintah jangan mendustai pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa pemerintahan Negara bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Keengganan untuk membentuk TGPF menggambarkan lemahnya politik negara untuk melindungi warganya dengan mengorbankan mereka menjadi objek dari agenda dan kepentingan terselubung pihak-pihak tertentu.
Keempat, TGPF akan meng-clear-kan begitu banyak kesimpangsiuran dan memosisikan Presiden RI berada dalam posisi netral di tengah kompleksitas relasi aparatur negara pada sektor keamanan. Keengganan Presiden RI untuk membentuk TGPF justru memperpanjang kesimpangsiuran dan berdiri tidak netral dalam kompleksitas relasi TNI-Polri.
Antusiasme Presiden RI untuk membentuk Komisi Reformasi Kepolisian dan sama sekali tidak antusias membentuk TGPF justru menunjukkan bahwa Presiden tidak netral sebagai Kepala Negara, melindungi ‘kelompok terlatih’ dalam “huru-hara Agustus” dan memuluskan agenda-agenda militerisasi di sektor-sektor sipil, termasuk sektor keamanan.
Kelima, pernyataan Menko Hukum yang berubah-ubah mengenai TGPF patut dipersoalkan oleh publik, apakah pernyataan Yusril merepresentasikan sikap politik resmi Presiden RI sebagai Kepala Negara atau pernyataan pribadi yang di ruang publik berusaha untuk mengarahkan sikap Presiden. Menko sebaiknya menahan diri untuk tidak memberikan pernyataan politik yang tidak konsisten mengenai urgensi pembentukan TGPF.
Jakarta, 19 September 2025
*) Ketua Dewan Nasional SETARA Institute
Post a Comment